Air sebagai sumber kehidupan merupakan material yang paling berlimpah di dunia. Namun bila keberadaannya tidak dikelola dengan baik maka kedepannya akan dihadapkan pada kelangkaan air yang berdampak pada keberlangsungan makhluk hidup yang ada, termasuk manusia yang paling banyak berperan terhadap perusakan atau pencemaran terhadap satu-satunya sumber daya alam yang tidak bisa tergantikan ini.
PERMUKAAN bumi yang 2/3-nya diliputi air hanya sekitar 0,009% yang menyediakan air tawar karena 97,6% dari total air di bumi adalah air asin yang ada di laut. Sekitar 87% dari yang tidak asin, 2,4% berupa cadangan air tawar (fresh water) yang tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh manusia karena berada dalam fasa padat berupa gunung-gunung es yang ada di kutub utara dan selatan bumi serta berupa salju yang ada di puncak-puncak gunung tinggi atau di wilayah yang sedang dilanda musim dingin. Dari total 2,4% air tawar tersebut, 95% nya merupakan air tanah yg berfungsi sebagai pengisi pori-pori tanah agar tanah tidak ambles seperti kejadian bencana Lumpur Sidoarjo atau Lapindo di Jawa Timur kerena air dalam tanah sebagai penopang hidrolis muka tanah disamping sebagai cadangan sumber air bersih
Dengan kondisi tersebut, bisa dibayangkan ketersediaan air tawar yang ada saat ini diperebutkan sejumlah 7,3 milyar populasi bumi dan akan menjadi 9,5 milyar sebelum 2050. Sementara jumlah air tawar yg tersedia dan sedang diperebutkan cenderung menurun drastis akibat tercemar oleh limbah dan terganggunya pola dan intensitas hujan akibat dampak dari perubahan iklim.
Pemerhati lingkungan, pendiri dan sekaligus Ketua Indonesia Water Institute (IWI), Firdaus Ali, melihat telah terjadi ketidakseimbangan antara meningkat tajamnya kebutuhan dengan penurunan ketersediaan supply yang belakangan ini terus memicu terjadinya krisis air di banyak tempat di muka bumi, termasuk di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
“Indonesia dengan kondisi geografis negara kepulauan yang dikelilingi air punya persoalan utama pada pola penyebaran penduduk yang 56% terkonsentrasi di pulau Jawa yang luasnya tidak lebih dari 7% dari luas daratan Indonesia. Namun potensi cadangan air tawar yang dipunyai oleh pulau ini tidak lebih 4,5% dari total nasional. Berbeda dengan cadangan air tawar yang berlimpah di pulau Kalimantan, Papua dan Sumatera justru beban populasi yang membutuhkannnya jauh lebih sedikit,” ujar Firdaus yang mulai tertarik dengan dunia air sejak berkuliah di Insitut Teknologi Bandung (ITB), Jurusan Teknik Lingkungan ini.
Kondisi tersebut diperburuk lagi oleh semakin rusaknya daerah hulu atau resapan akibat pembangunan dan peggundulan serta kebakaran hutan dan sangat minimnya infrastruktur penyimpan air yang sekaligus sebagai pengendali banjir. Dimana Indonesia baru mempunyai 284 bendungan kecil, sedang, dan besar yang 170 buah diantaranya berada di pulau Jawa.
“Hal ini cukup memperihatinkan, seharusnya pemerintah berkaca pada negara-negara lain yang sudah menjamin katahanan air (water security) di negaranya dengan membangun banyak bendungan yang juga berfungsi sebagai sarana pengendali banjir,” jelas pria bergelar Doctor, dari Department of Civil and Enviromental Engineering, University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat.
Dicontohkannya, India yang sudah mempunyai bendungan sebanyak 1.500 buah, Jepang 3.000 buah, Amerika Serikat 6.000 buah dan China sekitar 20.000 buah.
“Ketahanan air tidak kalah pentingnya dengan masalah ketahanan pangan dan energi yang sekarang banyak dibicarakan saat suasana Pilpres ini. Justru masalah yang paling krusial adalah masalah ketahanan air karena jangan pernah bermimpi akan punya ketahanan pangan dan energi jika kita tidak mempunyai ketahanan air, karena air sangat menentukan dua ketahanan tersebut. Bisa dipastikan, tantangan besar yang sedang dan akan dihadapi oleh sisa peradaban ini adalah pada ketahanan air, pangan dan energi,” papar pakar air kelahiran Pasir Pangiraian, Riau, 21 April 1962 ini.
Sebagai peneliti dan staf pengajar pada Program Studi Teknik Lingkungan di Departemen Teknik Sipil-FTUI, Firdaus banyak bergelut pada permasalahan air dan lingkungannya. Karena dedikasinya, beliaupun dipercaya oleh Pemda DKI Jakarta untuk menjadi Tim Teknis dalam rencana pembangunan infrastruktur tanggul laut di Teluk Jakarta yang dikenal dengan Proyek Giant Sea Wall (GSW) yang merupakan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang dimaksudkan tidak saja untuk mengamankan ancaman bencana air rob tetapi juga sebagai alternatif sumber air baku dalam bentuk reservoir air tawar atau bendungan lepas pantai terbesar di dunia nantinya.
Berikut wawancara BISKOM dengan Firdaus Ali yang juga disibukkan dengan profesinya sebagai Dewan Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta, Kemitraan Air Indonesia, dan di Majelis Pimpinan Pusat Asosiasi Dosen Indonesia.
Negara kita kerap mengalami banjir di saat musim hujan, dan mengalami kekeringan di musim kemarau. Begitu pula dengan wilayah Timur Indonesia dikabarkan langka air, sementara di Jakarta malah kebanjiran. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah ada hubungannya dengan pemasanasan global?
Hal ini terjadi karena rusaknya daerah hulu, sangat kurangnya infrastruktur sumber daya air, rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat, lemahnya penegakan peraturan (law enforcement) dan semakin terbatasnya ruang, khususnya di daerah perkotaan. Jadi tidak heran bila sekarang dan kedepan akan selalu ditemani oleh kondisi krisis air yang berkepanjangan setiap tahun.
Krisis air tersebut berupa kekurangan air ketika musim tidak hujan sehingga menyebabkan kekurangan pasokan air bersih dan air untuk irigasi pertanian. Krisis air akibat tidak bisa mengendalikan air limpasan hujan yang tidak kalah serius ketika musim hujan datang adalah ancaman bencana banjir, genangan dan tanah longsor yang dari tahun ke tahun semakin parah. Seperti yang terjadi di Jakarta yang selalu dihantui oleh genangan dan banjir pada saat hujan dengan intensitas sedang saja, baik di dalam wilayah kota maupun di hulu dari 13 DAS yg melewati ibukota. Disaat hampir bersamaan kita juga diancam oleh masuknya air laut ke wilayah daratan yang kita kenal dengan istilah rob atau naiknya muka air laut yang diakibatkan siklus pasang yang semakin diperburuk oleh kenaikan rata-rata muka air laut 6 mm/tahun sebagai dampak dari pemanasan global.
Sejauhmana dampak rob menghantui wilayah ibukota?
Rob akan semakin sering dan bahkan permanen di ibukota ini lebih dipicu oleh penurunan muka tanah terutama akibat pengambilan berlebihan (over extraction) dari air tanah, khususnya air tanah dalam (deep groundwater) yang tidak diisi kembali (recharge). Laju turun muka tanah di Jakarta pada beberapa kawasan bahkan mendekat 30 cm/tahun dengan laju turun rata-rata sebesar 10 cm. Jakarta menempati urutan pertama untuk kota besar dengan laju turun muka tanah (land subsidence rate) di dunia dewasa ini.
Akibat laju turun muka tanah yang sangat ekstrim ini upaya pengaliran air hujan dengan sistem jaringan drainase yang ada saat ini semakin sulit. Sehingga jangan heran jika hujan dengan intensitas sedang saja di ibukota, sistem jaringan drainase kita sudah tidak mampu lagi mengalirkan air di saluran-saluran yang juga sudah mengalami penyempitan dan pendangkalan. Belum lagi yang tersumbat sampah dan pipa atau kabel-kabel utilitas yang ditanam secara tambal sulam karena tidak adanya perencanaan dan pengaturan yang benar.
Adakah solusi mengatasi hal ini?
Tentu saja. Karena kota-kota besar di luar negeri dulu juga dihadapkan pada kondisi yang sama yaitu menurunnya daya tampung dan daya dukung lingkungannya akibat kota tumbuh dengan pesat sekali. Negeri ini allhamdulillah punya banyak orang pintar hanya saja pemerintah tidak memanfaatkan mereka karena rendahnya kesadaran dan komitmen pemerintah pusat maupun daerah.
Secara teknologi kami punya solusi, secara sosial seharusnya bisa mendidik dan memberdayakan masyarakat, secara finansial walaupun ini masih merupakan tantangan tetapi sesungguhnya ada solusi, dan secara regulasi sudah punya perangkat peraturan. Yang kurang hanyalah keseriusan dan komitmen.
Dibandingkan dengan negara lain, bagaimana kondisi air di Indonesia?
Dibandingkan dengan negara lain, misalkan dengan negara tetangga saja seperti Singapura, Malaysia dan mungkin Vietnam mungkin kita tertinggal jauh dalam masalah ini. Ketertinggalan kita hampir dalam segala hal, mulai dari kesadaran dan partisipasi masyarakat, penegakan hukum, komitmen atau keseriusan pemerintah, hingga sangat minimnya infrastruktur sumber daya air kita. Celakanya, jumlah populasi kita jauh diatas mereka sementara kita selalu tidak siap dalam mengantisipasi segala kemungkinan buruk, sehingga jika suatu terjadi bencana terkait air dan cuaca yang dikenal dengan istilah bencana hidrometeorologi akan ada korban jiwa.
Daerah mana di Indonesia yang cadangan airnya lebih banyak? Dan daerah mana yang menjadi contoh terbaik pengelolaan airnya?
Daerah yang cadangan air tawarnya berlimpah adalah Kalimantan, Papua, Sumatera, dan Sulawesi. NTT pengelolaannya baik karena secara alami curah hujannya rendah dan memang tidak memiliki potensi/cadangan air tawar yang sangat minim karena jumlah penduduknya kecil sehingga tidak terlalu terasakan dampaknya, namun secara ekonomi daerah tersebut mengalami hambatan untuk tumbuh dan berkembang.
Sementara pulau Jawa yang beban populasinya terbesar sudah barang tentu mengalami ketimpangan antara besarnya kebutuhan dengan ketersediaan. Contoh yang nyata dan ada di depan mata adalah krisis air yang selalu terjadi di ibukota NKRI ini.
Dikaitkan dengan teknologi, teknologi apakah yang bisa digunakan untuk mengatasi permasalahan air di Indonesia?
Untuk mengatasi krisis tersebut, teknologi yang bisa digunakan adalah teknologi penyimpanan yaitu membangun sebanyak mungkin reservoir berupa waduk atau dam. Serta dalam saat bersamaan melakukan penghematan pemakaiaan air dalam semua sektor karena hampir semua sektor dan aktifitas kehidupan, ekonomi, industri, tambang, dan pertanian terlihat sangat boros air.
Dalam sekala individu maupun komunitas harusnya sudah mengembangkan teknologi memanen air hujan (rainwater harvesting) yang banyak diterapkan di Australia, China, Jepang, Amerika Serikat dan di Eropa. Dalam sekala masif untuk tujuan strategis seharusnya sudah mulai menerapkan teknologi daur ulang air limbah atua used water di daerah perkotaan yang rawan air seperti Jakarta. Singapura sudah melakukannya dalam 10 tahun terakhir dan terbukti dari sebelumnya adalah termasuk dalam 10 negara yang buruk ketahanan airnya sekarang sudah menjadi negara dengan tingkat ketahanan air terbaik di dunia.
Apakah ada semacam teknologi daur ulang yang bisa dilakukan terhadap air karena sebenarnya kita mempunyai sumber-sumber air yang kini telah terkontaminasi?
Ada. Saat ini sudah berkembang pesat teknologi biomembran untuk mengolah air limbah/bekas untuk menjadi air bersih yang memenuhi standard kualitas air minum. Saat ini ada setidaknya 37 gedung atau bangunan tinggi di ibukota yang sudah memanfaatkan teknologi ini untuk mengolah air bekas mereka sehingga bisa menekan biaya pembelian air PAM dan sekaligus untuk tujuan konservasi air tanah dalam di ibukota.
Seperti halnya bencana Tsunami, bencana banjir juga sangat menghawatirkan. Apakah diperlukan teknologi semacam early warning system?
Memang kita butuh sekali intervensi teknologi informasi (TI) dengan bantuan satelit seperti sistem SCADA (Supervisory Control And Data Acquisition) untuk bisa mengendalikan bencana banjir dan dengan infrastruktur sumber daya air yang dikelola dari bencana menjadi berkah atau manfaat. Termasuk dengan bantuan teknologi early warning system akan bisa mencegah terjadinya resiko korban bencana hidrometeorologi yang masif seperti yang terjadi selama ini.
Nama Bapak kembali muncul setelah Pemprov DKI Jakarta membutuhkan pemikiran jitu Anda mengenai pembangunan terowongan multifungsi. Apa sebenarnya manfaat terowongan ini?
Manfaat dari Terowongan Multi Fungsi atau dikenal sebagai Jakarta Multi purpose Deep Tunnel (MPDT) sesuai dengan namanya adalah suatu sistem terowongan bawah tanah yang didisain memiliki lima fungsi. Sebagai saluran pengendali banjir ketika musim hujan/banjir, sebagai jalan tol bawah tanah dalam keadaan tidak banjir, sebagai saluran air baku untuk PAM, sebagai saluran air limbah, dan sebagai saringan utilitas terpadu bawah tanah untuk pipa air minum, gas, FO, kabel PLN, dan kabel komunikasi.
Kelebihannya jelas tidak terkendala dengan masalah pembebasan lahan yang masif seperti yang selalu dihadapi jika menbangun kanal atau saluran seperti Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Kelebihan lain tentunya ini merupakan infrastruktur bawah tanah terpadu dengan lima fungsi pertama di dunia. Kelebihan berikutnya adalah MPDT membantu mengatasi masalah-masalah ibukota secara simultan. Keunikan lain dari MPDT adalah bisa mendatangkan pendapatan dari fee jalan toll, penjualan air baku, retribusi air limbah, dan sewa jaringan utilitas terpadu yang bisa diproyeksikan untuk pengembalian investasi dan mendapatkan keuntungan (profit) bagi investor.
Seberapa besar investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan MPDT? Dan apakah sebanding nantinya dengan manfaat yang bisa kita peroleh?
Perkiraan biaya capex MPDT dengan disain rute yang baru dari hasil kaji cepat Kementrian PU pada awal 2013 lalu adalah sekitar USD 2,7 milyar. Kerugian dari banjir 2002, 2007, dan 2013 (belum termasuk banjir 2014) kerugian finansial kita sudah mencapai Rp. 37,8 triliun. Kerugian akibat kemacetan di ibukota saja menurut Bank Dunia sudah mencapai Rp. 43 triliun/tahun. Belum kerugian lain akibat kelangkaan air baku, dan biaya gali dan timbun jalan yg selalu beruntun dilakukan oleh pemilik jaringan utilitas. Dengan membandingkan angka kerugian dan biaya capex MPDT dan manfaat yang akan kita peroleh jelas terlihat baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Jangan lupa Jakarta adalah ibukota NKRI yang harus kita jaga dignity-nya.
Menurut Bapak, bagaimana cara terbaik untuk melakukan kampanye seputar pengelolaan dan penggunaan air yang baik? Bagaimana peran sosial media, mengingat hampir semua orang menggunakan sosial media?
Cara terbaik untuk mewujudkan kesadaran tersebut adalah dengan melakukan penyadaran dari sejak awal melalui kampanye mendidik dengan mencontohkan kepada pasangan hidup kita dan anak-anak kita serta semua orang yang bekerja disekitar kita.
Kita hidup dalam era digital dimana informasi adalah segala-galanya maka dengan mudah merubah prilaku dan cara kita berkomunikasi dengan siapapun karena hadirnya perangkat komunikasi canggih dalam hidup dan kehidupan kita. Harusnya kita juga bisa memanfaatkan perangkat dan media komunikasi termasuk sosial media yang booming belakangan ini untuk tujuan pengawasan dan pengelolaan lingkungan sehingga semakin banyak orang yang sadar dan berbuat yang terbaik demi masa depan peradaban ini.
Saya juga percaya Majalah BISKOM ini adalah salah satu media komunikasi di komunitas bisnis TI yang bisa membantu. Semoga kita menemukan hari esok yang lebih baik dan meninggalkan kebaikan untuk anak dan cucu kita. •ANDRI / M. TAUFIK (foto)
Arikel Terkait:
– TELAH TERBIT BISKOM EDISI JULI 2014
– Onno W. Purbo Masuk Dalam Calon Menteri Kabinet Jokowi
Terima kasih pada bapak Firdaus Ali atas artikel” Ketahanan Air Lebih Krusial Dibanding Pangan Dan Energi” ini, saya ingin berdiskusi lebih lanjut demi mewujudkan hal tersebut . Saat ini kami dan kawan kawan sedang merintis upaya cuci mobil tanpa air, mohon dukungan ,advis dan waktu bapak agar bersedia kami temui.
Sebagai informasi saat ini kami mulai implementasikan hasil produk Anak Bangsa Indonesia, yaitu hanya dengan 100 cc bahan organik tersebut namun telah mampu membersihkan dan membuat mengkilatkan satu unit mobil sejenis sedan atau mpv. Sedang biasanya untuk membersihkan ukuran mobil tersebut membutuhan air minimal 300 hingga 400 liter air bersih per unitnya.
Rencana kami terobosan upaya ini juga akan membuka banyak lapangan kerja baru dan menyerap banyak tenaga kerja yang sekaligus menciptakan UKM baru.
Salam hormat kami,
Ign.yt.suyanto