Rudolf W. Matindas yang saat ini menjabat sebagai kepala Bakosurtanal mengungkapkan, tujuan pemerintah mengeluarkan software legal berbasis open source adalah untuk menghindari pembajakan. Penggunaan IGOS ini efektif untuk administrasi di perkantoran. Dengan kehadiran IGOS mereka berharap segera muncul software berbasis open source sehingga mampu menekan biaya pengeluaran bagi instansinya. Berikut ini beberapa petikan wawancara BISKOM dengan orang nomer satu di Bakorsutanal tersebut.
Bagaimana dengan rencana survey dari Menkominfo di instansi yang Anda pimpin?
Ya, memang itu kewajibannya Menkominfo. Kita sudah beberapa kali mengisi formulir dan kuesioner yang kita layangkan ke Kementerian tersebut. Survey ini artinya untuk mendapat gambaran secara utuh terutama untuk instansi-instansi pemerintah. Kan lucu kalau instansi pemerintah menggunakan software bajakan. Kita bisa dituntut oleh perusahan pemilik peranti lunak disamping nama baik pemerintah Indonesia dipertaruhkan. Kita juga inginnya bertahap dalam penggunaan piranti lunak propertary dan tentu ada korting. Bukan satu mesin satu software tapi multi mesin, mungkin juga untuk satu departemen.
Pemerintah telah mengeluarkan IGOS, apa instansi Anda telah menggunakan?
Kita pernah mencoba dan dari pengamatan kami memang ada yang bagus dan ada yang baru dikembangkan. Yang terpenting kita tahu sumbernya kalau IGOS itu berbasis open source sehingga kita bisa mengembangkan juga sesuai dengan keperluan kita. Mungkin untuk jangka panjang, dan bagi industri tertentu harus dibarengi dengan kemampuan menciptakan perangkat lunak agar penggunaan IGOS ini bisa memasyarakat. Inikan masih awal, bukan tidak ada yang bisa menciptakan software sejenis itu. Karena penggunaan IGOS ini belum menjadi gerakan nasional, Dan bangsa kita punya kemampuan dan inovatif. Seperti India banyak sekali pengembang open source, itu karena mereka tidak punya problem dalam bahasa sementara kita harus diterjemahkan dulu baru dibuat softwarenya.
Saat pertama kali menggunakan IGOS, kendala apa yang ditemukan?
Ya tentunya kita harus menyesuaikan lagi dengan software ini. Sistemnya bagaimana, cara menggunakannya gimana tapi tidak ada masalah. Memang pada software IGOS itu masih ada beberapa kendala, karena belum sempurna dikembangkan. Namun ada juga yang sudah bisa dimanfaatkan lebih luas.
Sebagai instansi yang sarat dengan penggunaan teknologi informasi, perangkat lunak propertary apa yang masih digunakan?
Untuk survey dan pemetaan kita masih menggunakan perangkat lunak propertary yang bisa menangani data-data dari berbagai sumber. Misalnya data dari citra satelit, citra ini bermacam-macam, mulai dari citra satelit menggunakan sensor optik sampai dengan sensornya radar. Tentu dari berbagai jenis citra tersebut, software yang digunakan beragam. Lalu sistem informasi geografi dimana kita bisa menfaatkan multi date dan multi source data. kemudian bagaimana bisa menggabungkan keduanya. Kalau saja dari perangkat lunak tersebut sudah ada versi yang open source, kita pasti akan menggunakan. Apalagi penggunaan open source saat ini menjadi suatu gerakan di seluruh dunia. Karena ini untuk menghindari monopoli jadi tidak tergantung satu merek saja.
Berapa harga satu software propertary yang digunakan?
Wah, harganya beragam tergantung perangkat lunaknya. Sama saja kalau kita beli sistem operasi Windows yang legal seperti Windows XP harganya mencapai 300 dolar. Semakin lengkap softwarenya bisa mencapai 1000 dolar. Dan biasanya kalau produk yang branded itu mereka punya layanan maintenance. Bila ada versi baru kita bisa dapat akses bayarnya secara lebih murah. Termasuk mereka memberikan pelatihan agar bisa menggunakan programnya dengan baik untuk yang belum pernah dipakai. Tapi kalau sudah pernah memakai, kita bisa belajar sendiri.
Itu artinya IGOS belum mampu menggantikan software propertary yang banyak dipakai instansi saat ini?
Kalau untuk sekedar keperluan administrasi, IGOS ini sudah mampu. Tetapi untuk pekerjaan teknis belum semuanya bisa digantikan oleh IGOS. Walupun sudah banyak juga perangkat lunak untuk kebutuhan teknis yang beroperasi dengan open source misalnya dari intermap dan landmark. Terpenting adalah pinter-pinternya kita dalam memilih software yang paling menguntungkan buat kita. Karena yang mengembangkan software ini juga membutuhkan riset dan pengembangan. Selama ini software teknis yang kita pakai dari berbagai negara seperti Amerika, Eropa dan Jepang. Tergantung piranti lunak yang kita butuhkan apakah khusus atau umum. Tapi yang kita ingin lihat ke depan adalah munculnya software house di Indonesia. Bagaimana TI di Indonesia ini menjadi mainstream di masyarakat. Kalau zaman dulu bagaimana semua orang bisa bikin meja, kursi. Lalu muncul motor, mobil, dimana bisa buka bengkel. Tapi kini dengan makin luasnya penggunaan komputer dan internet termasuk website tentunya kemampuan mengembangkan software mulai tumbuh.
Apa harapan Anda dengan dikeluarkannya IGOS?
Tentunya akan lebih baik jika piranti lunak itu bisa disebarkan sampai ke desa-desa. Karena kita juga ingin orang desa mengerti informasi tentang pertanahan. Mereka bisa lihat di komputer. Mungkin saja di desanya hanya ada satu komputer. Tapi bukan masalah yang penting dia bisa mendapatkan informasi itu. Kemampuan semacam ini harus didukung juga dengan kemampuan pengelolaan datanya. Koleksi data dengan format komputer. Ini bukan suatu yang tidak mungkin karena orang Indonesia itu pinter-pinter. Buktinya ponsel yang canggih gitu saja bisa dibetulkan. Seperti website luar negeri itu, terlihat bagus padahal yang membuat adalah orang Jogja.
(Rio)