Oleh : Bambang Dwi Anggono
Dalam sebuah event e-government, muncul sebuah joke “e-corruption” yang disandingkan dengan e-government. Sebuah statement yang menarik adalah: “Adakah e-government = e-corruption?”, Dari berbagai fenomena dalam pengembangan e-government di Indonesia, agaknya perlu sebuah kejujuran bahwa e-government project juga berpotensi sebagai ladang korupsi, bahkan hampir tanpa terperhatikan. Sejauh manakah peluang-peluang tersebut tercipta dan diciptakan?
Korupsi di Indonesia sudah banyak diasumsikan sebagai budaya. Tak heran Indonesia dicap peringkat kenam negara terkorup di seluruh dunia. Tapi itu masih lebih baik dibanding pada era 2000-an ketika Indonesia dicap sebagai negara terkorup di dunia. Korupsi merupakan aktivitas sistemik, sehingga sulit untuk diberantas. Antara pihak yang terlibat langsung maupun pihak pendukung saling melindungi dan hampir tidak ada aktivitas hitam di atas putih. Semua berjalan melalui sebuah konsensus yang banyak di loyali pihak-pihak yang terlibat.
Lalu dimanakah potensi korupsi pada project e-government terjadi?
- Mark Up
- High and Fever
- License Trap
- Arogansi
- Copy & Paste
- Jebakan Training
- Peran Swasta
Sebaiknya berbagai pihak mulai berpikir untuk menguatkan komitmen untuk meningkatkan penetrasi TI publik dan penguatan e-government secara komprehensif. Kalangan pemerintah bukan satu-satunya pasar potensial ketika penetrasi TI publik sudah tinggi. Dan karena pemerintah memiliki fungsi sosial dan pelayanan umum, maka subsidi (USO) supaya layanan e-gov betul-betul bisadirasakan publik secara online, sehingga mampu mendorong penetrasi TI publik. Memperkuat semboyan Do not stand in-line, get online.
(Penulis adalah pengajar di bidang TI dan bekerja di bidang infokokm dan PDE Kab. Kebumen)
Catatan : Tulisan Bambang Dwi Anggono selengkapnya bisa dibaca di Majalah BISKOM edisi Juni 2007