Mulai dari SMS Premium, SMS Masal Hingga Kartel SMS
Dewasa ini tren konvergensi layanan data, suara maupun gambar dapat dinikmati oleh konsumen melalui berbagai piranti genggam yang digunakannya. Piranti telekomunikasi bergerak semakin berperan dalam meningkatkan produktifitas kehidupan penggunanya. Salah satu layanan dasar telekomunikasi yang digemari masyarakat saat ini adalah SMS.
Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI) mencatat kontribusi SMS bagi total pendapatan operator berkisar antara 20% hingga 30%. Nilai sebesar itu tentunya tidak bisa dianggap remeh bagi operator telekomunikasi di Indonesia karena SMS telah menjadi revenue generator disamping layanan suara tentunya yang memberikan kontribusi terbesar.
Apalagi tercatat saat ini setidaknya terdapat sekitar 80 juta nomor selular aktif di Indonesia. Sayangnya, potensi sebesar itu masih belum dimanfaatkan secara positif, beberapa pihak masih terlihat melakukan usaha yang merugikan konsumen.
SMS Premium yang Sedot Pulsa Pelanggan
Kegemaran konsumen telekomunikasi di Indonesia dalam hal penggunaan SMS merupakan peluang terbuka yang segera disambut oleh Content Provider (CP). Saat ini setidaknya terdapat sekitar 300-an perusahaan yang bergerak di bidang content provider. Secara umum, mayoritas CP mengandalkan SMS Premium sebagai bisnis utamanya. SMS Premium menerapkan harga yang jauh diatas tarif SMS pada umumnya dengan biaya bervariasi mulai dari Rp. 500 sampai Rp. 2.000.
Sayangnya, pertumbuhan bisnis SMS dan peningkatan jumlah CP tersebut tak segera diantisipasi dengan tersedianya regulasi yang tegas dan jelas dari Pemerintah. Akibatnya, banyak konsumen yang merasa dirugikan dengan layanan SMS Premium karena menyedot pulsa dalam jumlah yang cukup besar. Menurut Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BKPN), setidaknya ada 3 hal yang kerap dikeluhkan oleh konsumen atas penggunaan layanan SMS. Pertama, tersedotnya pulsa seluler tanpa keinginan konsumen sepenuhnya. Kedua, ketidaktahuan atau kesulitan memahami/menghentikan layanan konten dengan tarif SMS Premium. Ketiga, penipuan berkedok undian berhadiah melalui SMS.
IDTUG melakukan survey terhadap 100 pelanggan selular, hasilnya membuktikan 25% pengguna mengganti nomor HP sebagai akibat dari susahnya UNREG layanan premium. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa haram mengenai SMS berhadiah yang mengandung unsur perjudian, namun nampaknya SMS judi tersebut masih banyak yang tetap berjalan.
Sebenarnya, saat ini juga sudah ada peraturan, yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No. 24 Tahun 2005 tentang Fitur Berbayar. Peraturan itu menegaskan bahwa segala layanan yang sifatnya berbayar atas jasa telekomunikasi haruslah mendapat persetujuan dari konsumen sebelumnya. Tetapi prakteknya ternyata lain, konsumen merasa rugi dan terjebak ketika dalam sehari menerima SMS Premium bertubi-tubi yang tentunya memotong jumlah pulsa secara signifikan. Sementara pihak CP berdalih bahwa dirinya telah menerapkan aturan lantaran telah mendapatkan persetujuan konsumen melalui proses registrasi SMS.
Namun, ada sejumlah CP yang tidak menyediakan mekanisme untuk melakukan pembatalan (unreg) pada suatu program yang diikuti.
Bukan tanpa alasa, ternyata penyebab CP tersebut melakukan tindakan sedemikian rupa salah satunya karena dikejar untuk memenuhi target tertentu. Seperti dikutip dari Detikinet, A. Haryawirasma, Ketua Indonesia Mobile & Online Content Association (IMOCA) mengatakan, hal itu terjadi salah satunya akibat dari adanya tekanan target setoran dari operator sehingga membuatnya dituntut untuk kreatif.
“Para CP selalu membuat kreativitas untuk mamasarkan layanannya. Namun, terkadang kreativitas yang dibuatnya terlalu kreatif,” ujarnya pada diskusi panel ‘Business Guidance of Mobile Content: Now or Never…!’ di Jakarta.
Sementara itu menurut Judy Natasatria Adhitianto, anggota Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), target yang dimaksud tersebut adalah ukuran kuota yang diukur dari revenue yang didapat para CP dari pelanggannya. Judi memberi contoh salah satu operator telekomunikasi yaitu Indosat yang memiliki tiga kategori kerja sama bagi para CP. “Untuk tingkat C yang paling rendah, CP dipatok target revenue Rp 50 juta setiap bulannya dengan kompensasi pembagian 50-50. Artinya, jika CP tersebut suatu saat tidak mencapai targetnya dalam satu bulan, mereka tetap diwajibkan menyetor pembagian yang sudah ditetapkan operator,” ujarnya. Masalah SMS Premium tersebut tentunya akan terus berlanjut jika tidak segera ditangani dan kerjasama dari berbagai pihak.
SMS Masal yang Menjengkelkan
Bukan hanya itu, ada kasus lain yang berhubungan dengan SMS yaitu ada sejumlah perusahaan berlangganan SMS masal (bulk) yang dimanfaatkan untuk kepentingan promosi produk dan jasanya. Perusahaan tersebut tanpa segan-segan akan mengirimkan SMS berisi berbagai pesan promosi ke pengguna telekomunikasi tanpa ada persetujuan dari pemilik nomor ponsel. Hal ini tentu akan membuat jengkel pengguna ponsel karena mendapat SMS ‘sampah’.
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) beranggapan bahwa SMS sampah tersebut termasuk hal yang melanggar Undang-Undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Pasal yang bisa ditarik untuk menjerat pelaku SMS sampah tersebut adalah Pasal 21 yang menyebutkan bahwa penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum. Sayangnya, hingga kini UU tersebut seakan menjadi tidak berkutik menghadapi gempuran para pelaku tindak pengiriman SMS masal tersebut.
Dugaan Kartel SMS
Apapun kartu operator yang Anda gunakan, berapa tarif untuk SMS ke operator lain? Rata-rata operator telekomunikasi di Indonesia menetapkan tarif Rp. 300 – 350 per SMS. Tarif segitu memang terasa mahal. Kirim SMS 10 kali saja pulsa yang berkurang menjadi banyak. Konsumen sering mengeluh, namun tidak bisa berbuat apa-apa dan terpaksa tetap menggunakan layanan tersebut karena memang memerlukan. Lagi-lagi konsumen yang merasa dirugikan, namun tidak berdaya.
Pemberian tarif SMS yang mahal dan hampir semua operator memberikan tarif yang sama ini akhirnya dicurigai oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Lembaga tersebut mengindikasikan adanya kesepakatan antara operator untuk bersama-sama menetapkan tarif SMS pada angka tertentu atau disebut kartel SMS. Menurut BRTI, biaya SMS untuk untuk sesama operator sekitar Rp. 34, sedangkan biaya SMS lintas operator sekitar Rp. 73-75. Padahal sekarang tarif SMS lintas operator rata-rata Rp. 300-350, berarti operator mengambil untung sekitar 400 persen lebih mahal dari biaya sebenarnya.
Seperti dikutip dari TempoInteraktif, menurut Erwin Syahrial, anggota Majelis Pemeriksa KPPU, pemeriksaan awal dilakukan sebelum KPPU menjatuhkan putusan terhadap Tamasek dalam kasus kepemilikan silang di dua operator selular Indonesia. Tapi, ia merahasiakan siapa yang melaporkan kasus dugaan kartel ini. Sementara itu, KPPU juga memutuskan ada bukti kartel sehingga pemeriksaan diteruskan yang akan dilakukan pemanggilan mulai Januari 2008.
Tak hanya para operator, KPPU pun akan memeriksa sejumlah saksi, saksi ahli, dan lembaga swadaya masyarakat, seperti Masyarakat Telematika Indonesia, Indonesia Telecomunication User Group, dan YLKI. Pemeriksaan dokumen terus dilakukan, informasi dari dokumen akan dicek silang dan dikonfirmasi kepada operator.
Pemberian tarif mahal sampai mengambil keuntungan berlipat-lipat seperti itu memang memungkinkan jika terjadi monopoli. Kenyataannya, pasar telekomunikasi di Indonesia tidak terjadi monopoli karena ada 8 operator GSM dan CDMA yang bermain di situ. Kalau bukan monopoli, berarti dugaan yang kuat adalah para operator melakukan kesepakatan bersama. Tentunya ini adalah persaingan usaha yang tidak sehat.
Ini baru seputar SMS saja sudah menimbulkan beberapa masalah, belum lagi berbagai masalah lain yang berkaitan dengan telekomunikasi di Indonesia. Kapankah telekomunikasi di Indonesia bisa sehat dimana konsumen bisa bebas berkomunikasi tanpa khawatir merasa dirugikan dan operator juga tidak merugi? Asalkan semua pihak yang berhubungan dengan masalah tersebut mau serius berbenah diri untuk menciptakan iklim telekomunikasi yang kondusif, tentunya tidak membutuhkan waktu yang lama. (Bambang)