Dunia teknologi informasi (TI) Indonesia, khususnya dalam bidang distribusi musik digital, kembali berevolusi. Jika lebih dari dua tahun lalu aplikasi file-sharing lebih populer di luar negeri, kini aplikasi layanan semacam itu menjadi hal yang mulai digemari di Indonesia. Karenanya, pengusaha tanah air mulai melirik penjualan musik digital, dan berharap dapat mengulangi kisah sukses iTunes, online store milik Apple, yang berhasil menjual 100 juta lagu dalam waktu setahun, sejak pendiriannya.
Bicara musik dalam dunia TI, ingatan kita akan langsung merujuk pada pemusik beraliran progressive rock dan Jazz, Budi Rahardjo. Dalam band yang beranggotakan para pelaku TI, BandIT, Budi adalah lead vocal sekaligus pemain gitar. Dan sebagai pemusik, Dosen Fakultas Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) ini pun peduli akan semua hal yang berkaitan dengan musik, termasuk musik digital. Karenanya, ia mendirikan Digital Beat Store di kawasan Blitz Megaplex, Jakarta. Di toko ini, orang akan dengan mudah mencari satu atau sejumlah musik berformat MP3 yang harga per lagunya cukup murah. Mengapa bukan toko online? “Keterbatasan bandwidth untuk download lagu dan sistem pembayaran online adalah dua diantara beberapa kendala yang saat ini masih dihadapi oleh saya atau pengusaha distribusi musik online lainnya di Indonesia,” katanya.
Simak perbincangan BISKOM dengan Budi Rahardjo di kampus ITB, Bandung.
Saat ini pengguna internet semakin banyak dan berasal dari berbagai kalangan. Mengenai kontennya, pemerintah kini memberlakukan filtering. Bagaimana pendapat Anda?
Bagi saya, jika kita terlalu konsen pada filtering, kita akan losing the battle. Hasilnya pun tidak akan maksimal. Menurut saya, cara bagaimana mengedukasi masyarakat agar mau membuka konten yang positif adalah dengan memproduksi dan memperbanyak konten-konten positif, sehingga konten negatif akan menjadi minoritas dengan jumlah pengakses yang minor juga. Kalau kondisi sekarang, dimana konten sangat sedikit kemudian dibatas-batasi, maka sama saja dengan membatasi kemerdekaan mengakses informasi. Bayangkan, adakah saat ini konten khusus untuk anak-anak SD, SMP atau SMA? Padahal saat ini semua anak punya ID di instant messenger dan membuka You Tube, itu artinya sangat sulit melakukan filtering. Jika ada konten yang baik untuk anak seumur mereka, mereka akan membukanya. Apalagi sekarang trennya Frienster dan Blog, sehingga akses komunikasi anak muda lebih luas lagi, sehingga filtering sulit untuk dilakukan.
Anda adalah pakar di bidang kemananan, hal apa saja yang menjadi lingkup Anda?
Kebanyakan ke banking. Jika kita berhubungan dengan banking, misalnya transfer, maka kita berhubungan dengan pemindahan data. Di sinilah diperlukan keamanan bilamana terjadi fraud. Saya juga melakukan security terhadap telekomunikasi, meski saat ini tampaknya orang belum menyadari akan pentingnya keamanan telekomunikasi. Contohnya bagaimana menciptakan sistem billing yang aman, atau disisi user, kita harus tahu transparansi biaya yang terpotong, apakah sesuai dengan yang kita gunakan atau tidak.
Saat ini security banking lebih banyak digunakan di perkotaan, sementara masyarakat desa kebanyakan masih melakukan transaksi di kantor cabang, dibanding menggunakan internet. Kapan menurut Anda mereka mulai bisa menggunakan internet banking?
Jangan salah, saya melihat, sekarang pengguna internet banking di daerah itu adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang ingin mentrasfer langsung dananya ke sekolah anaknya, ke orang tua atau ke suaminya. Sekarang ini memang pengguna internet banking kebanyakan adalah mereka yang berada di luar negeri, namun kedepan, mereka akan menggunakan internet banking untuk banyak kepentingan, mungkin untuk mentransfer biaya sekolah anaknya di luar kota dan bahkan di luar negeri. Apalagi sekarang, bank mana sih yang tidak punya ATM? Bank-bank juga sudah melirik internet mobile yang aksesnya 24 jam, dan mereka sudah mulai memenuhi pelayanannya ke daerah-daerah.
Bisa diceritakan tentang kegemaran bermusik Anda?
Saya dulu suka dengan segala hal yang berhubungan dengan seni, namun kemudian terpaksa saya tinggal karena saya lebih banyak melakukan kegiatan engineering. Tahun-tahun terakhir ini saya melihat perubahan model dimana orang lari ke semua hal yang berupa digital, termasuk musik. Orang kini tak lagi menggunakan CD atau kaset, dan bagusnya orang kini mau membeli yang legal, sepanjang harganya terjangkau. Di luar negeri gaya distribusi musik digital seperti ini sudah banyak, misalnya iTunes. Tapi beda kasus dengan Indonesia, di luar negeri bandwidth-nya besar dan micro payment-nya sudah terbentuk. Makanya saya membuat toko namanya Digital Beat Store di Blitzmegaplex, Jakarta. Di toko tersebut orang dapat memilih lagu kesukaan mereka sendiri kemudian membayarnya ke kasir. Mirip toko kaset biasa, tapi yang dijual adalah lagu berformat digital.
CD ilegal saat ini bisa didapatkan dengan mudah. Diperlukan kesadaran orang untuk membeli musik yang legal. Apakah toko seperti Digital Beat Store seperti yang Anda miliki bisa sukses?
Memang, kuncinya itu, mudah dan murah. SMS yang dulu bertarif Rp, 350 saja orang mau menggunakan, karena caranya yang mudah. Saya dan rekan-rekan kemarin telah melakukan survei, ternyata orang mau membeli musik legal dengan harga diantara Rp. 1000 hingga Rp. 5000 per lagu, diatas itu orang sudah enggan. Itukan murah sekali? Makanya saya membuka toko tersebut untuk kemudahan download. Sebenarnya bisa saja menggunakan cara iTunes, namun diperlukan bandwidth yang besar sehingga bisa mendownload lagu dari toko maya. Selain itu, kendala lainnya yakni masalah micro payment. Beberapa perusahaan dan operator telekomuniksi saya lihat sudah mulai berupaya ke arah sana. Masyarakat juga telah mulai menggunakan sistem pembayaran seperti itu layaknya kartu kredit atau kartu ATM. Namun kendalanya, penggemar musik digital saat ini kan kebanyakan remaja, jadi micro payment baiknya juga bisa digunakan dengan mudah.
Bagaimana kemampuan masyarakat saat ini dalam membelanjakan uangnya untuk keperluan TI?
Menurut survei yang kami lakukan, ternyata orang itu membelanjakan 10 persen dari gajinya untuk biaya komunikasi atau internet. Belum termasuk belanja produk TI, seperti komputer atau ponsel. Karenanya saat ini kalau ada ponsel murah, misalnya diantara Rp. 1 juta hingga Rp. 1,5 juta, maka akan langsung booming. Begitupun ponsel 3G, dulu kurang populer tapi setelah ponsel 3G mulai dipasarkan dengan harga murah, maka laku luar biasa. Fenomena yang sama nantinya juga akan terjadi misalnya pada teknologi WiMAX dan Netbook. Bagi saya, masalahnya bukan berapa biaya yang dibelanjakan masyarakat, tetapi dengan biaya dikeluarkan tadi, apakah masyarakat bisa lebih produktif? Saya membayangkan, skala content provider di daerah bisa berkembang terus. Harapan saya banyak pada TI, khususnya di daerah. Saya juga berharap banyak bisnis di Indonesia yang bisa dikuasai oleh orang Indonesia sendiri. Namun bukan sekedar harapan, tetapi kita harus terus berupaya untuk mewujudkan keinginan kita.