Ada banyak alasan mengapa Indonesia harus menggunakan sistem operasi open source. Pertama adalah untuk meningkatkan interoperabilitas, kemudian menghindari adanya vendor lock-in, menurunkan biaya peneluaran untuk royalti, mengendalikan kompetisi developer software, memungkinkan adanya substitutiability, dan terakhir menciptakan kebebasan memilih aplikasi software.
Sukses menggelar Konferensi Open Source (OS) Asia-Afrika pada 18 November 2008 lalu, Indonesia kembali menyatakan kesiapan sebagai tuan rumah World Summit on Open Source pada November 2009 mendatang. Ini adalah sebuah perhelatan akbar bagi para penggiat Open Source di seluruh dunia.
Staf Ahli Menteri Bidang TI Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Engkos Koswara Natakusumah mengatakan, selain untuk sharing pengetahuan, acara ini sekaligus bertujuan untuk mempererat kerjasama multilateral di bidang OS. “Beberapa negara barat juga tertarik untuk hadir, diantaranya Amerika Serikat, Austria dan Jerman. Mereka akan menjadi guest speaker,” ujar kelahiran Bandung yang meraih gelar Ph.D dari University of Salford, Inggris ini .
Sejumlah topik yang bakal dibahas dalam kegiatan ini antara lain seputar kebijakan OS, aksesibilitas, dampak terhadap pertumbuhan ekonomi hingga penerapan dalam industri bisnis. Para audiens pun dipilih dari kalangan terkait dengan topik-topik di atas, mulai dari akademisi, pebisnis, komunitas, pemerintah hingga lembaga penelitian. Berikut kutipan wawancara BISKOM dengan Engkos, medio Januari lalu di ruang kerjanya.
Kabarnya Indonesia Go Open Source! (IGOS) siap melakukan kampanye besar-besaran tahun ini dengan menggelar World Summit on Open Source?
Kami memang sedang mempersiapkan open source summit sedunia, rencana pelaksanaannya sekitar Oktober-November nanti di Bali. Di situ ada pertukaran informasi peneltian di bidang OS dengan mengundang banyak universitas, lembaga penelitian, termasuk institusi pemerintah. Kemudian kegiatan ini akan kami sinkronkan dengan banyak kementerian, selain Kementerian Negara Riset dan Teknologi (Kemenristek), Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) juga dengan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sehingga kita bisa menghasilkan sinergi yang bermanfaat. Harapannya nanti dunia akan berkumpul dan ada pertukaran informasi seputar pengembangan industri OS.
Apa yang melatarbelakangi diselenggarakannya OS Summit ini?
Sudah sejak lama kami melihat kenapa Indonesia tidak maju-maju di bidang TI, dan kenapa tidak seperti India? Makanya kami mencoba membangun IGOS yang awalnya dirintis lima kementerian pada tahun 2004, dan terus dikembangkan pada 2005. Pada saat Asian Ministry Meeting pada 2006 lalu, para menteri negara lain terkesan dan menganggap Indonesia lebih maju di bidang OS.
Sejak 2006 dibentuklah Asian OS, hingga 2007 lalu Asian OS ini mengadakan workshop dan training yang diikuti negara-negara Asia yang ingin mengangani OS, salah satunya Vietnam. Mereka belajar di Jembrana, Bali sebagai salah satu tempat mereka belajar. Dari situ kami kembangkan lagi menjadi Asia-Afrika OS Workshop. Dari kesuksean workshop dan pelatihan itulah, kita kembangkan lagi menjadi Konferensi OS se-Asia Afrika, November 2008, hingga kita siapkan World Summit on OS ini. Karenanya summit ini bisa dikatakan sebagai langkah besar kemajuan OS dalam skala internasional.
Bagaimana perkembangan IGOS sendiri hingga saat ini?
Implementasi IGOS di Kemenristek sudah mencapai 90%. Harapannya yang 10% lagi rampung pertengahan 2009. Permintaan dari luar seperti LIPI sudah ada, tapi kami konsentrasi ke dalam dulu untuk melihat permasalahan-permasalahan yang ada. Itu yang kami alami sekarang dan menjadi modal bagi kita untuk implementasi di tempat lainnya.
Kendala apa saja yang dihadapi Kemenristek selama mengimplementasikan IGOS?
Pada tahap awal yang sulit adalah mengubah kebiasaan orang dalam menggunakan sistem operasi baru dari sistem operasi lama yang sudah dikenal. Setelah mencoba biasanya mereka kembali ke sistem yang lama. Oleh karena itu kami sediakan dual booth. Untuk pekerjaan sehari-hari, dapat menggunakan sistem operasi yang lama sambil kita belajar yang baru. Kendala lainnya adalah kurangnya support, misalnya untuk animasi. Kendala seperti ini yang membuat sosialisasi IGOS berjalan lambat.
Jika implementasi di Kemenristek sudah selesai, bagaimana rencana untuk menggarap instansi lainnya?
Target kami, setelah di Kemenristek, kami membidik LPND (Lembaga Pemerintah Non Departemen) dan lima kementrian deklarator. Itu saja dulu, setelah itu baru yang lainnya.
Sudah dilakukan upaya pendekatan dengan instansi-instansi tersebut?
Kami sudah bertemu dengan beberapa instansi lain seperti LIPI, BATAN, BPPT, dan BSN. Sementara Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal) sudah mulai untuk network, dan untuk desktop instansi tersebut rencananya akan menggunakan IGOS secara bertahap. Kami pernah melakukan Training of Trainer (ToT) untuk instansi-instansi pemerintah lainnya. Mereka dilatih dengan harapan dapat menginstal sendiri di masing-masing instansinya. Namun perkembangannya kurang bagus karena online slots belum dilakukan secara intens, sehingga ketika ada masalah-masalah yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan cepat. Kami juga akan mengumpulkan kembali lima deklarator IGOS yang ketiga kalinya bulan Juni atau Juli 2009 untuk mengetahui apa yang sudah mereka lakukan berkaitan dengan komitmen mereka untuk mendukung IGOS.
Apakah semua instansi pemerintah diharuskan menggunakan sistem operasi OS yang dibangun oleh IGOS?
Kami tidak bisa memaksakan semua departemen untuk menggunakan OS. Yang penting legal. Open source yang digunakan pun tidak harus IGOS Desktop. Misalnya, di BPPT saat ini masih ada yang menggunakan Red Hat, walaupun ada rencana untuk migrasi seluruhnya ke IGOS.
Beberapa waktu lalu, IGOS membentuk tiga konsorsium yang salah satunya adalah konsorsium yang menjalankan business model IGOS, apakah ini dimaksudkan untuk mempertahankan IGOS?
Betul, selama ini beberapa piranti lunak OS yang telah dikembangkan mati dengan sendirinya karena tidak ada model bisnis yang jelas. Business model yang dijalankan PT INTI sebagai konsorsium ditujukan untuk enterprise. Menurut informasi, PT Telkom telah memakai 1000 lisensi. Tahun 2009 ini akan menambah lagi 2000 lisensi sehingga ada 3000 lisensi yang digunakan di PT Telkom. Kemudian ada beberapa perusahaan lainnya yang akan menggunakannya juga.
Ada subsidi khusus untuk pengembangan IGOS?
Pada tahun 2004-2005, terus terang kami tidak ada dana sama sekali. Baru pada tahun 2006, dikucurkan dana sebesar Rp. 500 juta, itu pun dipakai untuk pameran dan open house. Kalau lihat dari sisi itu masih kurang sekali. Makanya, kalau gaungnya nasional harusnya bareng-bareng lah, tidak hanya dari Kemenristek. Sementara ini kami banyak melakukan kerjasama dengan vendor-vendor TI. Misalnya, Sun mendirikan laboratorium Java Competicy Center berbasis OS di ITB dan LIPI Jakarta. Intel juga akan bantu di national helpdesk. Dengan IBM kami bekerjasama untuk mengembangkan aplikasi PASIR (Program Arsitektur Sistem Interoperabilitas) menggunakan Eclipse, salah satu tools OS milik IBM.
Bagaimana keterlibatan komunitas TI lainnya?
Kami akan libatkan mereka untuk membangun helpdesk OS nasional yang nantinya menjadi tempat bagi komunitas OS untuk keluar masuk, menjadi wadah sharing informasi untuk mentransfer ilmunya.
Selain OS, apa lagi yang tengah dikembangkan Kemenristek tahun ini?
Saat ini Kemeristek tengah mengembangkan Wimax di area Puspitek. Menara Wimax-nya sudah kami bangun dengan harapan ke depannya Puspitek bisa jadi tempat penelitian atau research and development teknologi maju.