Sejak bergulirnya reformasi, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang terbuka (open government) mensyaratkan adanya akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat pada setiap proses pembuatan kebijakan publik. Dengan keterbukaan informasi publik, negara dapat mewujudkan demokratisasi dan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik.
Di era keterbukaan informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mempunyai jurus yang jitu untuk menyiapkan berbagai informasi yang bersifat edukatif sekaligus mengedepankan pencerahan kepada masyarakat yaitu dengan cara intensifikasi dan eksistensifikasi.
Apalagi kini, pemerintah tidak memiliki kewenangan mengontrol konten media terutama penyiaran karena fungsi pengawasannya ada pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers.
“Sebagai konsekwensi dari era demokrasi Indonesia, kita tidak mengenal lagi era sensor, ataupun pembatasan dan juga pembredeilan, sehingga masyarakat mau tidak mau, suka tidak suka harus menjadi masyarakat yang cerdas yaitu cerdas memilih. Tidak fair kalau mereka hanya disuguhkan informasi yang sifatnya komsumtif, menyesatkan dan untuk kepentingan sesaat,” kata Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo, Freddy Tulung.
Karena itu, lanjut Freddy, harus terjadi keseimbangan antara informasi yang relatif berkualitas serta informasi yang 3E+1N, yaitu konten-konten tersebut harus Enlightment (mencerahkan) Empowering (memberdayakan) Education (mendidik) dan Nationalism.
Hanya saja, untuk menciptakan era keterbukaan informasi publik, ada beberapa kendala yang dihadapi negara. Yakni sulit dan mahal. Hal itu, papar Freddy, dikarenakan informasi yang bersifat edukatif, menyejukkan, mencerdaskan dan mencerahkan bangsa membutuhkan kemasan tertentu. Sementara keterampilan dan network pemerintah sangat terbatas.
“Sudah saatnya kita harus lebih banyak lagi menyiapkan informasi yang edukatif sehingga masyarakat bisa cerdas memilih,” kata Freddy.
Kepada BISKOM, Freddy memaparkan beberapa pendapat dan kebijakan pemerintah mengenai keterbukaan informasi publik, baru-baru ini. Berikut petikan wawancaranya.
Menteri Kominfo baru saja melantik beberapa pejabat Eselon I dan mengganti beberapa Dirjen. Apa tugas yang diemban Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo?
Di Kemkominfo, ada tiga tugas yakni pertama, communication infrastructure yaitu menyiapkan sarana komunikasi melalui telekomunikasi, communication technology yaitu menyiapkan semua kepentingan pengembangan teknologi informasi (TI) di Indonesia, dan yang ketiga adalah communication content.
Prinsip dasarnya, konten itu tunduk pada hukum pasar termasuk konten media. Tetapi tugas saya adalah menyiapkan konten yang terkait dengan kebijakan publik. Jadi, kalau saya sederhanakan lagi, tugas saya ada tiga yakni memenuhi hak informasi masyarakat, mengakomodasi kepentingan kebutuhan masyarakat melalui saluran yang kami miliki ke elit yang terkait, dan ketiga adalah pencitraan lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Target apa yang ingin dicapai Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo di tahun ini?
Saat ini kami sudah menyusun suatu strategi pelayanan informasi dan komunikasi publik. Sebenarnya informasi tidak pernah kurang tapi kenapa masyarakat seperti terasa kurang informasi? Ada tiga permasalahan utama, yaitu pertama informasi yang tidak sinergis, akses informasi yang terbatas, dan ketiga adalah sudah terjadi penilaian negatif atau apriori sehingga konten-konten yang seharusnya menjadi hak milik masyarakat bisa disampaikan dengan tidak baik, jusru tidak tersampaikan atau salah disampaikan. Nah, tugas kami ada tiga hal, seperti yang saya sebutkan tadi.
Lantas, bagaimana caranya?
Ada enam media yang kami identifikasi sangat efektif yakni media luar ruang, media tradisional, media cetak, media penyiaran, media tatap muka dan media jejaring sosial sebagai media modern.
Menghadpi era yang semakin terbuka, tidak ada pilihan bagi kami, hanya satu cara untuk menyiapkan masyarakat yaitu dengan intensifikasi dan eksistensifikasi berbagai informasi yang dikaitkan dengan edukasi publik. Sebab, sebagai konsekwensi dari era demokrasi Indonesia, kita tidak lagi mengenal sensor. Karena itu, harus terjadi keseimbangan antara informasi yang relatif berkualitas dengan informasi yang 3E+1N, yakni Enlightment, Empowering, Education dan Nationalism.
Apa kendalanya dalam menyiapkan informasi yang 3E+1N?
Sulit dan mahal karena membutuhkan kemasan tertentu, sedangkan ketrampilan dan network pemerintah terbatas sehingga kalau dikaitkan dengan konteks tiga tadi (memenuhi hak tahu, akomodasi dan pencitraan -red), maka kita harus lebih banyak lagi menyiapkan informasi edukatif sehingga masyarakat bisa cerdas memilih.
Kami terus terang memiliki kegalauan mengingat televisi atau media lain kan hidup dari iklan. Dari data survei, kami melihat porsi iklan di media penyiaran Rp. 60 triliun di tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan 23 persen. Cukup signifikan tetapi kita memiliki hampir 250 stasiun televisi dan 2500 stasiun radio.
Komposisinya dari Rp. 60 triliun, sebanyak 90 persen iklan dikuasai televisi dan 10 persen oleh radio. Tapi, dari 250 TV, hanya 20 TV yang menikmati iklan tersebut. Sementara, kompetisi semakin tinggi dan ditentukan oleh lembaga rating.
Rating sendiri merupakan market refund yaitu seks, kekerasan, mistik dan gosip. Dan yang mengerikan, jam nonton tertinggi anak-anak Indonesia yakni 4,5 jam, Malaysia 4,3 jam, dan Singapura 2,7 jam. Itu karena masyarakat di negara lain menghabiskan waktu untuk berkompetisi. Padahal, konten televisi kebanyakan menayangkan seks, kekerasan, mistik dan gosip. Bisa dibayangkan seperti apa bangsa ini. Karena itu, kita hanya bisa mendorong dengan intensifikasi dan eksistensifikasi, karena tayangan-tayangan seperti ini sangat sulit disensor. Untuk konten-konten yang edukatif, perlu adanya peran media cetak seperti BISKOM, misalnya. Kami sangat mengharapkan itu, karena bangsa ini membutuhkan kebersamaan.
Apa indikator keberhasilan keterbukaan informasi publik?
Keterbukaan informasi publik adalah salah satu pilar yang digunakan untuk menggiring menuju demokrasi Indonesia. Tiga indikator demokrasi Indonesia yaitu pertama keterbukaan. Dengan adanya keterbukaan akan memunculkan yang kedua yakni partisipasi publik. Dan, dengan adanya partisipasi publik akan muncul ukuran ketiga yaitu akuntabilitas.
Ada dua macam akuntabilitas yakni akutabilitas masyarakat di dalam kontibusi mereka terhadap perumusan kebijakan publik dan yang kedua, kami sebagai pejabat publik juga dituntut akuntabel menyelenggarakan tugas dan kewenangan kami.
Saat ini, sudah sejauh mana kita sudah mencapai tingkat keterbukaan?
Dari data yang kami miliki sementara, kelihatannya keterbukaan saat ini hanya untuk ‘ketelanjangan’, dan belum mengarah kepada peningkatan partisipasi. Contohnya, isu kebohongan publik. Sebenarnya kebohongan publik terjadi karena ada gap antara ekpektasi masyarakat dengan kebijakan publik yang ada.
Umumnya, kebijakan publik yang dirumuskan berdasarkan pemilihan umum (pemilu) belum sesuai dengan aspirasi. Seharusnya pada waktu elit masuk menjadi pemenang, dia bisa merealisir janji yang dikaitkan dengan ekpektasi publik. Dan, hal ini membutuhkan keterbukaan sehingga dengan keterbukaan masyarakat menjadi tahu dan kepentingannya terwakili sehingga bisa berpartisipasi secara aktif. Hal ini lah yang memunculkan akuntabilitas.
Jadi kalau ditanya sudah sampai sejauh mana, saya jawab kita sudah mencapai tingkat keterbukaan. Tetapi apakah keterbukaan telah menggiring ke partisipasi publik, itu yang belum.
Apa kendala untuk mencapai hal tersebut, terutama jika dikaitkan dengan luas wilayah Indonesia yang terpisah antara pulau-pulau dan adanya kesenjangan digital?
Kalau berbicara kesenjangan digital menjadi relatif. Saya beri contoh iklan dimana orang Papua memakai koteka lagi internetan. Ini kan menarik, karena sudah mengenal teknologi. Contoh lainnya , saat ini masing-masing orang pastinya mempunyai dua ponsel. Dari kedua contoh ini, saya ingin mengatakan bahwa masyarakat kini telah realtime, tapi di sisi lain kita juga melakukan pemborosan dengan memiliki dua ponsel tadi. Nah, tugas kita adalah merubah kesenjangan digital menjadi kesetaraan digital.
Sebenarnya konsep perubahan mendasar bukan karena kita mampu atau gaptek tapi merubah mindset. Itu jauh lebih sulit. Bagaimana merubah teknologi yang kita gunakan menjadi berkah bagi kehidupan bersama. Yang saya khawatirkan dari apa yang terjadi sekarang adalah kita menjadi sangat konsumtif terhadap teknologi. Contohnya di dalam keluarga, masing-masing anggota keluarga asyik dengan gadgetnya masing-masing. Itu artinya high-tech yang kita kenal ternyata memang membawa konsekwensi kurangnya keterikatan sosial alias low touch. Karena itu, high-tech harus diimbangi dengan high-touch.
Terkait konten-konten negatif, apa pendapat Bapak mengenai filtering dalam akses informasi publik? Sejauh mana kita dapat memfilternya?
Sebenarnya filter terbaik adalah ukuran moral kita. Filtering teknologi memang bisa dilakukan karena setiap vaksin yang diciptakan untuk memproteksi, selalu dibarengi dengan hacker yang menciptakan virus baru lagi.
Menurut saya, filter yang paling baik adalah berangkat dari dirimu sendiri dan yang kedua adalah peran keluarga sangat menentukan. Sementara filter terbaik ketiga dan keempat adalah ulama dan teknologi, sementara filter terbaik kelima adalah law enforcement.
Kita memiliki pilihan untuk mem-filter konten dengan kemampuan teknologi. Terkait dengan program pemerintah, yakni Internet Sehat, sudah efektifkah program ini?
Menyangkut pornogafi, hal yang kita lakukan adalah usaha untuk mengurangi. Program Internet Sehat itu memang salah satu bentuk untuk mem-filter. Tapi, bagi saya, kalau hanya mengandalkan hal itu, tentu saja belum efektif.
Bagaimana perkembangan standar prosedur dan kriteria yang terkait dengan informasi dan komunikasi publik?
Kami sudah menyiapkan manajemen komunikasi publik yang di dalamnya ada strategi pelayanan dan kedua, tata kelola pelayanan informasi dan komunikasi publik. Konsepnya sederhana sekali mesti ada dua tahap yang harus dilalui, yakni pertama penetapan agenda setting berdasarkan perkembangan terbaru kemudian melakukan analisis dengan data-data yang ada. Ini semua untuk menghindari pemerintah agar jangan sampai terjebak masuk kedalam agenda setting yang berkembang di masyarakat. Contohnya, ada rumor juru bicara Presiden dianggap juru bantah. Ini yang sekarang kami coba kembangkan, jadi ada mekanisme penetapan agenda setting.
Tahap kedua adalah mekanisme desiminasi yang dilakukan melalui berbagai macam pola dengan me-link seluruh website yang ada di kalangan intansi pemerintah. Dan, masih dalam proses yakni menyusun bagaimana interface konektivitas dengan kehumasan BUMN (144 BUMN) dan pemerintah daerah (33 provinsi dan 475 pemerintahan kota/kabupaten).
Saat ini, kami sedang mengembangkan penguatan kelembagaan informasi dan komunikasi di tingkat Pemerintah Daerah melalui bantuan media center yang terdiri perangkat keras dan piranti lunak termasuk bimbingan teknisnya. Kemudian ini diperluas kepada lembaga kemasyarakatan strategis yang cukup kredibel seperti Pramuka, Karang Taruna, ormas dan lain sebagainya.
Selain itu, kami juga mengembangkan pola kemitraan dengan lembaga strategis lainnya agar menjadi suatu kendaraan komunikasi. Meski belum efektif tapi minimal telah memiliki mekanisme jaringan.
informasi yang seperti ini sangat baik n baik dan mohon perlu ada panduan untuk pemerintahan kabupaten/kotamadya untuk mendukung kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat cq kemkominfo harus bagaimana n bagaimana supaya sinergi ok