Jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter kini mendapat sorotan Badan Intelijen Negara (BIN). Belum jelas benar apakah ini ada kaitannya atau tidak, dengan berbagai teror bom dalam bentuk kiriman paket buku yang terjadi belakangan ini di sejumlah tempat di wilayah Jakarta.
Kemungkinan bahwa media jejaring sosial telah dimanfaatkan oleh sekelompok orang tertentu untuk mengganggu ketenteraman warga dan mengancam stabilitas pemerintahan bisa saja terjadi. Kepala BIN, Sutanto menyatakan bahwa sosial media pada dasarnya sarana untuk masyarakat berkomunikasi, tapi tentu mesti disikapi dengan arif, karena bisa juga dimanfaatkan pihak tertentu (detikinet.com 22/3/11). Pernyataan ini mengindikasi-kan bahwa pemerintah makin serius mengikuti aktifitas komunikasi masyarakat melalui media jejaring sosial.
Bukanlah hal yang aneh kalau badan yang khusus mengintai gerakan-gerakan makar dan subversif ini ikut mengawasi akun-akun jejaring sosial yang dicurigai menebar teror dan membangun persepsi antipati terhadap pemerintah hingga dapat mengganggu stabilitas roda pemerintahan dan keamanan negara. Masalahnya apakah tindakan pemantauan atau pengawasan ini dapat menjamin kebebasan warga untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dan terbuka?
Ada kekhawatiran bahwa upaya BIN mengintai account Facebook dan Twitter ini akan membungkam suara rakyat di dunia maya. Setidaknya ini tampak dari para aktifis hak asasi manusia yang kontra dengan upaya pemantauan oleh BIN tersebut. Mekanisme pemantauannya juga belum jelas seperti apa sehingga makin menimbulkan tanda tanya besar bagi sebagian kalangan yang kurang setuju itu. Lantas mengapa BIN juga perlu masuk ke dalam ranah maya? Apa karena lembaga-lembaga yang terkait dengan aktifitas dunia maya belum menjalankan fungsi kontrolnya dengan baik sehingga perlu ada pemantauan seksama dari lembaga intelijen negara? Tampaknya ini masih perlu penjelasan lebih detail sehingga masyarakat tidak salah memahami langkah apa yang akan dilakukan oleh BIN untuk mengintai para pelaku teror dan penebar kebencian di jejaring sosial.
Langkah Keamanan
Sebenarnya langkah semacam ini bukanlah hal yang baru. Pemerintah di berbagai negara sudah lebih dulu melakukan hal serupa. Contohnya adalah Amerika Serikat. Seperti dilaporkan media CBS, sebuah dokumen dari Departemen Kehakiman menunjukkan bagaimana Amerika Serikat memakai Facebook, MySpace, Linkedin sampai Twitter untuk melakukan investigasi.
Misalnya mengumpulkan bukti dan menelisik informasi personal orang-orang yang diincar pemerintah. Berbagai metode pun dilakukan, contohnya agen intelijen membuat profil online palsu sebagai upaya untuk berhubungan dengan tersangka. Beberapa petunjuk juga dikulik, misalnya mencocokkan apakah seorang tersangka sungguh berada di suatu tempat dengan melihat apakah dia menulis tweet tentang lokasinya pada saat itu.
Nah, aksi tersebut sempat dipermasalahkan oleh beberapa organisasi di negeri Paman Sam, seperti Electronic Frontier Foundation. Hal ini karena tidak jelas bagaimana pemerintah menggunakan jejaring sosial untuk kepentingannya. Tidak disebutkan pula bagaimana batas penggunaan media tersebut oleh otoritas. Terkadang, pemerintah Amerika Serikat juga minta izin untuk mengakses account seseorang. Dalam dokumen itu, disebutkan bahwa Facebook, MySpace dan Twitter kadang dihubungi untuk membuka suatu account dan biasanya mereka cukup kooperatif. Khusus Twitter dinyatakan cukup ketat sebelum mau membuka akun, misalnya meminta surat perintah. Hal yang sama juga dilakukan pemerintah di negeri kerajaan Inggris. Mereka pernah diberitakan akan membuat aturan dimana situs jejaring seperti Facebook harus memberikan beberapa detail pengguna jika diminta oleh pemerintah, dalam upaya melawan terorisme.
Upaya pemerintah Inggris itu juga mendapat protes, antara lain dari lembaga UK Open Rights Group. Pada intinya, kekhawatiran berpusat pada bagaimana privasi pengguna jejaring sosial diperlakukan oleh pemerintah yang mengawasi jejaring sosial (Detikinet.com 22/3/11).
Sejak muncul pertama kali, situs jejaring sosial memang sudah menjadi incaran orang-orang iseng yang ingin memanfaatan situs-situs tersebut untuk tujuan-tujuan negatif. Padahal sejatinya fungsi situs jejaring sosial itu adalah untuk menjalin pertemanan antar manusia di berbagai belahan dunia.
Dalam perkembangannya, situs-situs tersebut selalu disalahgunakan oleh satu atau sekelompok individu untuk meraup keuntungan atau kepentingan tertentu. Media informasi dan komunikasi yang tergolong canggih ini menjadi sarana yang efektif bagi mereka untuk menjalankan aksi-aksi kejahatan.
Banyak kejahatan yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. Sebut saja penipuan, penculikan, propaganda, menjelek-jelekkan orang lain, fitnah, membangun opini buruk, perjudian, pronografi dan sebagainya. Celakanya, para pengguna Facebook dan Twitter kurang menyadari bahwa data pribadi mereka dapat dimanfaatkan oleh pejahat dunia maya itu. Rasa aman dan nyaman menggunakan situs-situs pertemanan makin tipis hingga membuat orang berpikir ulang untuk menggunakannya. Bahkan munculnya aksi-aksi teror di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia belakangan ini juga disinyalir dilakukan melalui media informasi elektronik ini.
Yang terakhir ini mungkin yang membuat lembaga intelijen negara beraksi melakukan pemantauan. Boleh jadi karena aksi menebar teror dan kebencian apalagi yang dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan ini bisa mengarah kepada tindakan makar atau subversif. Pertanyaannya, apakah BIN akan melakukan pemantauan seperti yang dilakukan oleh pemerintah Amerika atau Inggris? Hal yang dikhawatirkan adalah apabila pengintaian dilakukan tanpa mekanisme yang jelas, maka masyarakat akan semakin ragu untuk mengekspresikan pendapat dan aspirasi secara bebas. Ini bisa mengarah kepada upaya membungkam hak-hak rakyat untuk berdemokrasi lewat saluran media sosial elektronik tersebut. Jangankan untuk pengintaian Facebook atau Twitter, penyadapan pun belum mendapatkan lampu hijau dari DPR. Sejauh ini, penyadapan masih menjadi kewenangan lembaga pengadilan. Usulan kewenangan menyadap komunikasi oleh BIN kini sedang dibahas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen Negara.
Dalam kaitannya dengan pengumpulan data dan informasi melalui media jejaring sosial khususnya untuk penanganan terorisme, BIN hendaknya tidak masuk dalam wilayah kewenangan kepolisian. Misalnya melakukan penangkapan atau interogasi langsung terhadap akun-akun pengguna yang dicurigai bagian dari jaringan terorisme. Hal ini agar BIN tidak keluar dari koridor Undang-Undang yang berlaku. Jejaring sosial itu adalah media terbuka dan bebas. Oleh karena itu, sah-sah saja jika BIN melakukan pengawasan di situs pertemanan tersebut sepanjang itu dilakukan masih dalam batas kewenangan, fungsi dan tanggung jawabnya.
Dalam hal ini, BIN berhak menyampaikan data dan informasi tersebut kepada lembaga-lembaga terkait, misalnya kementerian komunikasi dan informasi atau lembaga kepolisian untuk menindaklanjutinya sesuai fungsinya. Penulis hanya mewanti-wanti jangan sampai upaya pengawasan atau pengintaian oleh BIN ini mematikan opini seseorang atau membuat orang ragu untuk bersuara secara bebas dan terbuka di dunia maya. Para pengguna Facebook atau Twitter harusnya juga lebih berhati-hati untuk mengumbar data diri dan foto-foto pribadi secara terbuka karena di luar sana masih ada orang-orang iseng kalau tidak dikatakan penjahat, yang suka memanfaatkan data tersebut untuk menjalankan aksi kejahatannya.
Terlepas dari semua itu, baik dan buruknya media jejaring sosial tersebut tetap kembali pada setiap orang untuk menyikapinya dengan bijak. Semoga bermanfaat.
Ditulis Oleh :
Muhamad Jafar Elly ( Pranata Komputer Muda LIPI, Praktisi dan Pengamat Teknologi )