BISKOM, Jakarta – Pertumbuhan pengguna internet di tanah air yang terus meningkat saat ini menggambarkan betapa teknologi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, banyak orang mulai ketergantungan dengan internet dalam mendukung berbagai aktifitas kesehariannya, baik itu berteman, berbisnis maupun mencari dan berbagi informasi.
Dibalik kepopulerannya sekarang ini, nyatanya akses internet masih belum dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah pelosok. Hal ini menjadi pekerjaan rumah buat pemerintah maupun institusi-institusi terkait lainnya untuk membenahi segala kekurangan dalam hal penyediaan layanan internet.
Termasuk, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang mewadahi para operator-operator jasa telekomunikasi dalam penyediaan layanan internet bagi masyarakat Indonesia, mempunyai tanggung jawab dalam memberikan layanan internet yang berkualitas ke masyarakat. Sebab, sejak terbentuk pada tanggal 15 Mei 1996, APJII mempunyai tujuan utama yaitu membantu anggota untuk menyediakan jasa internet yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Artinya, APJII memegang peranan penting dalam perkembangan internet dan turut andil dalam menciptakan pembangunan di tanah air.
Ketua Umum APJII, Sammy Pangerapan mengatakan, permasalahan internet di Indonesia saat ini masih pada pemerataan penyebaran akses internet. “Tidak semua daerah terlayani dengan baik, hanya kota-kota besar yang bisa menikmati akses internet dengan baik saat ini,” ujar lulusan Sarjana Informatika dari salah satu universitas di California ini. Untuk itu, ia mendorong pemerintah agar segera mempercepat proyek Palapa Ring sehingga seluruh kepulauan di Indonesia bisa segera tersambung dengan internet.
“Bila semua sudah terkoneksi, maka akan terjadi efisiensi investasi yang akan mendorong tarif telekomunikasi menjadi semakin murah sekaligus menciptakan percepatan pembangunan dalam sektor komunikasi serta mendorong bertumbuhnya bisnis penyelenggara jasa telekomunikasi,” papar .
Baru saja dilantik sebagai Ketua Umum APJII, pria yang menjadi CEO PT Jasnita Telekomindo ini menilai, seiring perkembangannya, internet tidak lagi bisa disebut sebagai dunia maya tetapi sebagai extended reality. Istilahnya, tambah Sammy, kalau dulu ada dunia terpisah antara dunia nyata dan internet, sekarang ini justru tidak bisa dipisahkan karena sudah menjadi bagian dari kehidupan nyata.
“Apa yang ada di dunia nyata, ada di internet. Seperti apa yang terjadi di Twitter atau Facebook, misalnya, merupakan realita yang terjadi di dunia nyata. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa itu dunia lain atau dunia maya,” jelas penggemar olah raga golf dan motor besar ini.
Sammy sendiri mulai bergabung di APJII tahun 1999 sebagai sekretaris bidang Public Relation. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Dewan Ketua selama dua periode dan Wakil Ketua Umum. Terpilihnya sebagai Ketua Umum untuk periode 2012-2015 membuat Sammy mempunyai tanggung jawab dalam meningkatkan mutu layanan kepada anggota APJII yang saat ini berjumlah 265 anggota yang berizin dan sekitar 300 anggota yang bukan operator.
Untuk lebih jauh lagi mengetahui pandangannya terhadap perkembangan internet di Indonesia, berikut ini petikan wawancara BISKOM di tempat kerjanya.
Anda baru saja terpilih sebagai Ketua APJII periode 2012-2015 pada Juli lalu. Apa saja tugas-tugas Anda ke depan?
Pastinya meningkatkan mutu layanan kepada anggota, baik itu keanggotaan itu sendiri, pendistribusian IP number maupun Indonesia Internet Exchange (IIX) sebagai data center bersama. Selain itu, melakukan kajian hukum berkaitan dengan peraturan penyelenggaran internet yang saat ini makin banyak dan komplek. Melakukan kajian mengenai permasalahan perbedaan penghitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi (BHPTel) dan Universal Service Obligation (USO). Serta melakukan research terhadap pengguna internet di Indonesia sekarang ini.
Apa yang menjadi target Anda di awal masa jabatan Anda ini untuk meningkatkan kualitas akses internet di Indonesia?
Ada tiga hal akan saya soroti, yaitu mendorong bagaimana penyebaran akses internet ini bisa merata di seluruh Indonesia sehingga menyebabkan harganya sama. Kedua, menginisiasi pemanfaaatan resources bersama kepada anggota. Jadi kami mengajak anggota untuk saling berkolaborasi dalam pemanfaatan resourches dan infrastruktur yang dimiliki anggota. Yang ketiga adalah meningkatkan reliability dan keamanan jaringan.
Menurut Anda, apa perbedaan yang mencolok di dunia internet Indonesia pada tahun-tahun lalu dibanding saat ini?
Banyak sekali, misalnya dulu kita hanya jualan unaccess dan tidak perduli dengan apa yang kita jual. Yang penting barangnya sudah laku dan kita tidak usah berpikir apa-apa lagi. Tapi sekarang semakin kompleks berserta peraturan yang kian ketat. Jadi jika permasalahannya dulu hanya teknikal, yaitu menyambungkan akses internet lalu selesai, tapi sekarang ada aturan-aturan lainnya yang juga berkaitan dengan masalah ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum dan keamanan.
Selain itu, dulu kita jualan internet pasti penggunanya juga mengerti internet. Artinya, pelanggan saya pastinya orang-orang melek internet, mereka mengerti cara men-setting dan etika berinternet sehingga bisa memproteksi dirinya sendiri. Karena internet sendiri dibangun oleh para intelektual yang mana penggunaannya sebatas email dan browsing. Dibandingkan sekarang ini, pengguna internet hanya bisa memakai tanpa tahu apa itu internet, padahal banyak sekali pengaplikasian internet sehingga diperlukan edukasi bagi para pengguna.
Apakah kecepatan internet yang ada di Indonesia saat ini sudah ideal?
Kalau berbicara ideal di era multimedia ini maunya punya koneksi 100 Mbps agar bisa menonton video dan lainnya di internet dengan cepat. Tapi fase sekarang ini kan yang terpenting adalah akses dahulu, dimana orang harus bisa masuk ke internet terlebih dahulu. Masalah kecepatan itu nanti terkaitan dengan peningkatan layanan.
Pemerintah sendiri menargetkan 50% penduduk Indonesia sudah bisa mengakses internet pada tahun 2015 nanti. Berarti ada pembangunan infrastruktur yang terjadi untuk mencapai target tersebut. Pastinya perbaikan kualitas yang akan terjadi.
Percepatan apa yang APJII bisa lakukan untuk memperbaiki infrastuktur internet di Indonesia? Bagaimana dengan program Universal Service Obligation (USO)?
Kami inginnya di frekuensi 2.4GHz dan 5.8GHz ditata ulang kembali. Sekarang inikan penggunaan frekuensi 2.4GHz jangkauannya bisa mencapai 1-2 km bahkan lebih. Bila di sisi satunya melakukan hal yang sama, ketemu di tengah maka akan saling bentrok sehingga akhirnya kualitasnya jadi rendah.
Kami inginnya 2.4GHz ini dibalikan kembali buat indoor, kalaupun outdoor jangkauannya benar-benar hanya 100 meter dengan power 100 miliwatt mengikuti standar pemerintah. Sedangkan di frekuensi 5.8GHz, kami menatanya dengan mengajak anggota saling berkolaborasi. Misalnya, bila ada yang perlu akses 5.8GHz tidak perlu membangun BTS sendiri, tetapi bekerjasamalah dengan yang sudah punya. Selanjutnya kami melakukan pendekatan-pendekatn kepada pemerintah agar program Palapa Ring ini bisa dipercepat pembangunannya. Kami juga melakukan peremajaan jaringan dari copper ke fiber dimana anggota-anggota kami sudah melihat peluang ini.
Kalau USO, kami mau kedepannya itu harus berbicara membangun akses last mile di Indonesia. Teknologi yang tepat adalah satelit untuk menjangkau tempat-tempat yang rimbun. Saat ini kami sudah berbicara di forum-forum dengan Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) atau Kementerian Komunikasi dan Informatika agar program selanjutnya adalah percepatan pengadaan satelit USO.
Sudah sejauh mana realisasi program USO ini?
Sekarang ini sudah berjalan, kalau kami lihat sudah dalam tahap penyebaran sosialisasi layanan internet. Jadi internet sudah diperkenalkan ke daerah-daerah dengan membangun Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK), Mobile-PLIK (MPlik) maupun desa dering. Ini sifatnya akses publik untuk untuk mengenal internet terlebih dahulu. Tapi nantinya, dimanapun kita tinggal, idealnya layanan internet sudah ada, yaitu menggunakan satelit itu tadi.
Bagaimana Anda melihat bisnis Penyelenggara Jasa Internet (PJI) di Indonesia? Hal seperti apa yang masih menjadi peluang bagi terbukanya lapangan usaha di bidang PJI?
Infrastruktur masih menjadi bisnis yang menjanjikan dan peluangnya cukup besar, karena seperti saya bilang tadi belum semua sektor terlayani dan penggunanya masih rendah, jadi masih bisa membangun. Begitu nanti penggunanya bertambah, yang paling berpeluang adalah bisnis turunannya, yaitu konten dan aplikasi. Diharapkan konten dan aplikasi yang berkembang adalah yang berhubungan dengan orang Indonesia. Jangan sampai kita yang membangun market-nya, tetapi tetapi yang memanfaatkan bisnisnya malah orang luar.
Inovasi apa yang harus dilakukan untuk memperluas bisnis PJI?
Sekarang inikan kita sudah masuk ke era pembangunan ekonomi kreatif dimana dunia kreatif itu unlimited. Jadi inovasi bisnisnya harus lebih kreatif lagi melihat bahwa sebenarnya banyak sekali yang bisa dijual karena apapun bisa kita lakukan di internet. Bahkan ide itu bisa diperdagangkan, makanya kita harus hati-hati bila mempunyai ide. Kalau genuine harus langsung dipatenkan, misalnya.
Tapi yang menjadi kendala di dunia kreatif saat ini kan masalah dukungan pendanaan. Oleh sebab itu menjadi kewajiban pemerintah membuat kebijakan berkaitan dengan dukungan pendanaan untuk industri kreatif ini. Pemerintah harus tegas membuat kebijakan untuk memberikan kredit sekian persen untuk industri kreatif atau teknologi informasi (TI). Bila tidak, maka industri kreatif ini akan terseok-seok perkembangannya. Akhirnya, konten-kontennya diisi oleh orang-orang yang sudah maju, bermodal dan dari luar negeri.
Bagaimana dengan regulasi, apakah cukup mendukung bisnis PJI?
Disini memang regulasinya selalu telat dengan realitas yang berkembang di masyarakat. Diperlukan ketegasan dalam pengaturan, dan kalau sudah diatur harus benar-benar diterapkan dan enforcement juga harus jalan. Dari industri mengharapkan itu. Kalau bisa, karena ini dunia internet yang sifatnya terbuka, maka kalau ada regulasi mari dibicarakan bersama. Kami perlu memberi pandangan-pandangan agar regulasinya sesuai dengan praktis yang ada di dunia internet.
Belum lama ini APJII menggandeng Nawala untuk melakukan sensor konten negatif. Seberapa efektifkah usaha ini?
Sebenarnya kami bekerjasama dengan Nawala karena memang Nawala yang saat ini menekuni, mengkoleksi dan melakukan riset terhadap website-website yang bermuatan pornografi dan perjudian. Nah, itu kami bangun sebagai tools untuk memfilter konten-konten negatif. Meskipun demikian, prinsipnya APJII tetap sama bahwa internet itu harus terbuka. Tapi kami menyadari bahwa banyak pengguna awal yang perlu mendapatkan, mempunyai alat atau tools untuk meproteksi dirinya. Makanya kami melakukan kerjasama ini dengan Nawala dengan membangun 5 server sebagai DNS. Jadi anggota-anggota yang tidak bisa membangun, bisa menggunakan tools ini. Tools ini sangat efektif pada pengguna baru agar tidak terkontaminasi oleh konten-konten negatif yang beredar.
Langkah apa yang sebenarnya paling ideal untuk mencegah maraknya konten-konten negatif?
Kalau memang keputusan negara untuk memfilter, maka idealnya kita harus benahi topologi jaringan internet kita secara menyeluruh atau bahkan di-redesign ulang. Berarti akan seperti China dengan satu gateway. Tapi kalau menurut saya, idealnya adalah seperti parental control dan sosialisasi. Karena filtering yang paling jitu adalah sosialisasi, bahwa orang harus menyadari konten tersebut akan berdampak negatif terhadap anak atau dirinya sendiri. Ini yang perlu kita edukasi dan lakukan sosialisasi. Mengingat pengguna awal terbanyak di usia 15 tahun kebawah berdasarkan survei yang kami lakukan
Diharapkan, sekolah kini tidak lagi hanya mengajarkan bagaimana cara berinternet tetapi juga bagaimana memproteksi dirinya terhadap konten-konten negatif. Dalam suatu konsep filtering yang ideal adalah semua orang harus terlibat. Pemerintah membuat peraturan yang memadai dan jelas, keterlibatan masyarakat ada, orang tua dan sekolah terlibat melakukan pendidikan berinternet. Nah, kalau butuh tools-nya sudah kami sediakan yang dari Nawala ini.
Bagaimana dengan filtering yang dilakukan oleh operator saat ini, apakah sudah sesuai?
Sebenarnya internet itu dibangun untuk saling tersambung dan terbuka. Kalau sudah melakukan filtering berarti akhirnya bukan lagi internet. Memang ada masalah berkaitan konten negatif, tetapi masalah itu bukan harus dengan filtering. Masalah bisa disikapi dengan dengan yang lain seperti pendidikan.
Di software sendiri sudah ada yang menyiapkan tools dan APJII menyiapkan DNS. Tapi jangan filtering dilakukan oleh operator karena nantinya jaringan itu tidak netral. Filtering paling ideal yang APJII harapkan adalah dilakukan oleh pengguna yang mana alatnya kita siapkan dan itu tidak terjadi distorsi di jaringan. Karena kalau filtering dilakukan operator, maka pengguna tidak tahu apa saja yang di-filter dan tidak tahu kalau saat browsing itu tengah diawasi, sehingga mengganggu privasi pengguna. Kalaupun operator melakukan filtering, harus mengumumkan apa saja yang di-filter dan bagaimana caranya pem-filter-annya kepada publik. Jadi kalau operator melakukan di luar itu, pengguna bisa menuntut.
PT Jasnita Telekomindo adalah salah satu perusahaan pemegang lisensi WiMax, bagaimana sejauh ini kesiapan Indonesia menyambut masuknya teknologi generasi keempat ini?
Saya rasa kalau secara industri dan teknologi Indonesia sudah siap. Kami sendiri bulan depan akan Uji Laik Operasi (ULO). Bila ini lulus, diharapkan tahun depan semuanya itu sudah tergelar. Tentunya bila WiMax sudah berjalan akan menambah pengguna baru lagi di internet, kami memperkirakan akan ada pertumbuhan 20% peningkatan exponential.
Bagaimana Anda berkomentar mengenai kompetisi antara WiMax dan LTE?
Inilah peperangan diteknologi, WiMax belum diluncurkan tiba-tiba LTE sudah mulai dibesarkan. Tapi memang semua teknologi yang berkembang ini nantinya memang akan bertemunya di LTE. Saya kira nantinya WiMax akan hidup begitupula LTE, karena mereka mempunyai pasar masing-masing. Dari teknologinya, WiMax E ini bisa bermigrasi ke LTE, jadi kalau pengguna mau migrasi bisa dilakukan. Sedangkan untuk WiMax sendiri tidak akan terjadi kompetisi karena konsepnya pemerintah itu dibaginya per-region.
Industri lokal penyedia perangkat WiMax diharuskan memenuhi syarat tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sesuai ketetapan pemerintah. Menggandeng pihak manakah Jasnita untuk perangkat tekologi generasi ke empat ini? Berapa nilai investasi yang ditanamkan Jasnita?
Banyak vendor yang sudah lulus TKDN-nya, kami memilih salah satu vendor tersebut yang kandungan lokalnya sudah terpenuhi. Kami sendiri untuk WiMax ini mendapatkan wilayah timur Indonesia, yaitu Sulawesi bagian Utara, Tengah dan Gorontalo. Dimana populasi yang ada sekitar 7 jutaan dan waktu kita hitung dibutuhkan sejumlah 360 BTS yang perlu dibangun untuk memenuhi persyaratan dari pemerintah. Selain BTS, kami juga memerlukan sistem, gateway, perangkat untuk mengatur trafik dan lainnya. Dengan semua ini, kita berharap semoga dunia telekomunikasi dan internet semakin membaik di masa mendatang. (Hoky)