SEJAK tahun 2004, tata kelola internet menjadi topik diskusi yang paling diperdebatkan pada konferensi tinggat tinggi (KTT) Dunia tentang Masyarakat Informasi atau World Summit on the Information Society (WSIS). Waktu itu, konsep tata kelola internet masih tidak jelas dan membingungkan, dan yang menjadi perdebatan ialah peranan dan tanggungjawab berbagai pihak.
Menanggapi permintaan WSIS tersebut, Sekretaris Jenderal PBB membentuk kelompok kerja yang ditugaskan untuk menyelami berbagai isu terkait dengan tata kelola internet dan untuk mengembangkan pemahaman bersama tentang berbagai peran stakeholder (pemangku kepentingan).
Tahap pertama pertemuan WSIS yang diinisiasi PBB kemudian menghasilkan dua dokumen, yaitu deklarasi prinsip-prinsip (yang memberikan pernyataan kemauan politik untuk membangun masyarakat informasi untuk semua) dan rencana aksi (yang merekomendasikan tindakan spesifik yang harus diambil). Dalam rencana aksi WSIS disebutkan, “Setiap orang semestinya mendapatkan kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami, berpartisipasi, dan merasakan manfaat dari Masyarakat Informasi (Information Society) dan Ekonomi Pengetahuan (Knowledge Economy). Rencana Aksi juga menyerukan kerjasama regional dan internasional untuk peningkatan kapasitas dengan menekankan kepada penyediaan besar-besaran akan ahli dan profesional teknologi informasi (TI).
Kelompok kerja PBB untuk WSIS mendefinisikan tata kelola Internet sebagai “pengembangan dan penerapan oleh pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, dalam peran masing-masing, prinsip-prinsip bersama, norma, aturan, prosedur pengambilan keputusan, dan program yang membentuk evolusi dan penggunaan Internet”. Dalam definisi tersebut jelas termaktub tata kelola Internet melibatkan tiga aktor, yaitu pemerintah, sektor swasta (dunia usaha atau korporasi) dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil berperan dalam proses pembuatan kebijakan, keterlibatan masyarakat sipil sangat penting agar kebijakan yang dibuat pemerintah lebih partisipatif dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Untuk pertama kalinya Indonesia mengadakan Internet Governance Forum (IGF) di Hotel Borobudur Jakarta, 1 November lalu. Dalam forum yang menghasilkan Deklarasi Tata Kelola Internet ini, hadir wakil dari tiga kelompok pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil. Selama satu hari penuh, terlihat bagaimana tiga pihak tersebut melakukan tarik menarik kepentingan dalam tata kelola internet.
Pada sesi pertama, misalnya, wakil-wakil pemerintah menunjukkan ketakutannya pada internet. Maka, bukannya menunjukkan bagaimana upaya pengembangan internet ke depan, sebagian besar pembicara lebih sibuk menunjukkan berbagai ancaman dan masalah akibat internet. Ancaman internet itu, menurut pemerintah, antara lain serangan logis, serangan sosial budaya, serta serangan fisik. Maka, negara pun berusaha mengendalikan internet agar tak mengancam kepentingan mereka.
Sementara masyarakat sipil lebih siap mengantisipasi sikap pemerintah ini. Selain rajin berkonsolidasi, mereka juga menyusun deklarasi agar nantinya internet ini tak cuma mewakili kepentingan pemerintah dan pengusaha tapi juga masyarakat sipil. Dengan demikian suara masyarakat sipil bisa lebih didengar. Hingga tercetuslah Deklarasi Tata Kelola Internet yang dibaca pada IGF tersebut. Semoga Deklarasi ini makin menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat sipil untuk turut berperan dalam menentukan kebijakan yang pro masyarakat dan bertanggung jawab. Semoga. •
Salam,
Redaksi