Hati-hati, kejahatan internet senantiasa mengintai. Bukan saja Anda para pebisnis dan pekerja kantoran, para remaja pun tak luput dari bidikan para penjahat di dunia online.
REMAJA Indonesia berusia 14-15 tahun, yang jumlahnya sekitar 8,9 juta jiwa termasuk sebagai kelompok yang paling rentan terhadap penyalahgunaan internet. Selain akses pornografi, mereka juga tidak menerapkan kehati-hatian dalam melindungi identitas pribadi, keluarga, dan lingkungan saat terhubung dengan internet. Karenanya, kelompok ini seringkali menjadi incaran para penjahat internet. Mereka juga dinilai sering melakukan komunikasi dengan orang asing, berbohong soal umur, serta menjadi kategori usia terbanyak pengakses konten yang mengandung pornografi.
Demikian hasil studi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), badan PBB UNICEF dan Berkman Center for Internet and Society, Harvard University, mengenai Perilaku Anak dan Remaja dalam Menggunakan Internet.
Survei yang dilakukan terhadap responden berjumlah 400 orang ini menggunakan teknik sampel survei, berarti hasil dari responden tersebut bisa digeneralisasi untuk menyimpulkan kondisi anak-anak dan remaja seluruh Indonesia berusia 10-19 tahun yang berjumlah 43,5 juta jiwa. Sampel berasal dari daerah perkotaan ataupun pedesaan yang tersebar di 12 provinsi.
Studi ini juga menunjukkan, dalam kelompok anak usia 14-15 tahun, sekitar 6,3 persen dari mereka mencantumkan alamat rumah serta 9,4 persen mencantumkan nomor telepon pribadi di akun media sosial.
Sementara pada anak-anak dan remaja usia 10-19 tahun ditemukan bahwa lebih dari separuh responden (52 persen) mengatakan mengetahui konten pornografi melalui iklan atau situs yang tidak mencurigakan. Dari seluruh responden, hanya 14 persen persen mengakui telah mengakses situs porno secara sukarela atau atas keinginan sendiri.
Studi ini bertujuan untuk menyediakan informasi-informasi penting tentang cara-cara kelompok usia tersebut menggunakan media sosial dan teknologi digital, motivasi mereka menggunakan media komunikasi tersebut, dan potensi risiko yang mereka hadapi dalam dunia digital.
Pengawasan Ketat Hingga Pemblokiran
Hasil studi yang berjudul “Digital Citizenship Safety among Children and Adolescents in Indonesia” (Keamanan Penggunaan Media Digital pada Anak dan Remaja di Indonesia) ini secara resmi telah dilaporkan dalam acara “Seminar Sehari Internasional Penggunaan Media Digital di Kalangan Anak dan Remaja di Indonesia” pada 18 Februari 2014 di Jakarta.
Seminar ini diselenggarakan oleh Badan Litbang SDM Kementerian Kominfo yang dipimpin Basuki Yusuf Iskandar, bekerjasama dengan UNICEF serta dihadiri oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Agum Gumelar, Kepala Perwakilan UNICEF di Indonesia, Angela Kearney, perwakilan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, perwakilan Harvard University dan perwakilan dari ITU serta sejumlah Kementerian.
Pada kesempatan tersebut, Gati Gayatri, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Literasi dan Profesi Kemkominfo mengatakan, kondisi yang meresahkan ini terjadi karena anak pada usia ini yang paling tinggi rasa ingin tahunya. Di samping itu, sifat mencoba-coba sesuatu pada anak sangat besar. Setengah dari 400 responden dalam penelitian mengaku telah melihat konten porno di internet.
“Sebagian besar anak mendapat informasi internet dari temannya. Karena itu, sudah waktunya orangtua untuk terbuka dan lebih terlibat dalam penggunaan internet anak-anaknya,” kata Gayatri.
Menurut Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Asrorun Ni’am Sholeh, kemudahan akses informasi dan kurangnya pengawasan anak dalam dunia digital berdampak rentannya anak tereksploitasi.
“Anak kadang tidak menganggap perilaku mereka di dunia digital memancing potensi eksploitasi terhadap mereka. Baik itu dari sesama remaja, orang lain ataupun mereka yang memang mencari korban baru di internet,” ujar Asrorun.
Perwakilan Unicef di Indonesia Angela Kearney menyatakan, mereka mendukung survei tersebut untuk mencari data dasar mengenai karakteristik pengguna internet di Indonesia. Dengan demikian, pemerintah bisa merumuskan kebijakan ataupun intervensi dalam menangkal dampak buruk dari internet serta mendorong penggunaan internet yang bermanfaat.
Hasil survei akan dibawa ke konferensi di Boston, Amerika Serikat, untuk dibandingkan dengan hasil survei serupa di negara lain, seperti Vietnam, Ukraina, Rusia, dan Afrika Selatan.
Mengomentari hasil riset tersebut, Menkominfo Tifatul Sembiring menyatakan, lembaganya sudah memiliki program Internet Sehat untuk membendung pengaruh buruk dari internet seperti pornografi, intimidasi, atau cyberbullying, dan perjudian. Mereka melibatkan semua pihak mulai pengajar hingga pemuka agama.
Terkait kesenjangan digital yang masih terjadi di Tanah Air, Tifatul menjelaskan bahwa kondisi infrastruktur internet di Indonesia belum merata. Kondisi tersebut diatasi sebisa mungkin melalui program internet untuk sekolah ataupun desa.
Sejauh ini, Kemkominfo juga sudah mem-block sejuta situs dengan konten negatif. Menurut Tifatul dibanding sebelum tahun 2010, saat ini pengawasan untuk pengakses internet jauh lebih baik. Sebanyak 70 persen anak-anak dan remaja mengakses internet melalui alat komunikasi bersifat mobile. Hal itulah yang menyebabkan Kemkominfo sulit untuk membendungnya.
Kemkominfo juga melakukan campaign ke sekolah-sekolah umum seperti ‘Kominfo Goes to School’ dan juga melakukan campaign di tempat umum seperti ‘Kominfo Goes to Mall’ dengan menyediakan akses internet cepat serta mengundang anak-anak dan remaja untuk datang ke sana. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan penjelasan-penjelasan tentang internet sehat. • ARIE/M. TAUFIK (foto)