Pembelajaran abad 21 untuk generasi digital atau 21st Century Learning for Digital Native, sedang jadi trending topic pada sektor pendidikan di dunia saat ini. Singapura sudah menjalankan sistem pembelajaran digital, bahkan Jepang sudah melakukan jauh sebelum Singapura.

OLYMPUS DIGITAL CAMERAJOHN Palfrey (2010) dalam bukunya berjudul “Born Digital: Understanding the First Generation of Digital Natives”, menyebutkan orang yang lahir setelah tahun 1981, sebenarnya termasuk orang generasi pertama yang disebut sebagai Digital Native. Sebaliknya orang yang lahir sebelum tahun 1981 disebut sebagai Digital Imigran. Lantas pertanyaannya, pembelajaran digital seperti apa yang seharusnya diterapkan unuk peserta didik yang lahir di tahun 1990-an?

Menurut pakar komunikasi yang juga praktisi pendidikan dari Universitas Padjajaran, Jalaludin Rakhmat, Indonesia harus sudah menyelenggarakan sistem pembelajaran menggunakan teknologi informasi ini. Sebab saat ini manusia tidak bisa dipisahkan dari teknologi. Anak-anak saat ini adalah digital native (penduduk asli digital) sementara orang dewasa hanya imigran.

Jalal menegaskan, banyak keunggulan yang diraih dengan menggunakan metode pembelajaran model ini. Apalagi keahlian dalam pembelajaran digital harus memadukan antara kreativitas, komunikasi, dan critical thinking.

“Karekteristik pembelajaran digital native adalah pertama mereka sering memegang kendali. Mereka tidak suka belajar di sekolah, tapi mereka lebih suka belajar di mana saja dengan menggunakan perangkat digital,” kata Jalal kepada BISKOM (27/6).

Karakteristik kedua adalah mereka senang pilihan. Misalnya mengerjakan tugas mereka lebih senang menggunakan teknologi. Ketiga, mereka bekerja secara sosial dan berorientasi pada kelompok. Rata-rata mereka bekerja dalam jejaring sosial dan mereka sangat berkolaboratif.

“Kebutuhan yang niscaya akan 21 st Century Learning, karena karakteristik yang sangat berbeda antara kita dengan mereka. Antara imigran dan penduduk asli digital. Maka terjadilah pergeseran pendidikan di dunia, begitu juga di Indonesia,” kata Jalal.

Menurutnya, beberapa hal yang harus dilakukan menuju pembelajaran digital. Pertama adalah metodologi, yakni guru harus berkomunikasi dan berinteraksi dengan murid. Kedua, kurikulum yang menggunakan legacy (membaca, menulis, arithmatika, berpikir logis) dan future (belajar kaitannya dengan teknologi). Ketiga adalah prasarana yang harus dilengkapi dengan TI.

Perkembangan demi perkembangan akan terlihat pada anak yang dididik dengan menggunakan pola digital learning. Apalagi karakteristik anak-anak sekarang mereka lebih senang mengerjakan tugas menggunakan perangkat teknologi.

“Ditambah mereka bekerja secara sosial dan berorientasi pada kelompok. Rata-rata mereka bekerja dalam jejaring sosial dan mereka sangat berkolaboratif,” paparnya. Dengan sistem pembelajaran digital ini, imbuh Jalal, mereka belajar bisa di mana saja dan kapan saja, tidak harus di kelas.

Direktur Pendidikan Muthahhari, Miftah Fauzi Rakhmat mengatakan, di sekolahnya sudah mengimplementasikan 21st Century Learning. “Secara bertahap sejak dari sekolah dasar kami gunakan e- Book, CD interaktif, ujian berbasis digital, disertai kurikulum yang menyenangkan membuat anak-anak lebih kreatif dan berkembang,” ungkap Miftah.

Perkembangan anak-anak zaman sekarang dikatakan Miftah sangat pintar dalam menyerap semua informasi dan teknologi. “Mereka sudah cukup mahir menggunakan perangkat digital. Dibandingkan orangtuanya sendiri, mereka lebih cepat menyerap. Penyerapan itulah kami arahkan ke sisi positif agar loncatan per kembangannya pun akan sangat terasa,” kata Miftah.

Di sekolah lainnya, Yayasan Pendidikan Al Ma’soem (YPAM)  juga mulai menerapkan inovasi baru pembelajaran berupa pengajaran Bahasa Inggris dengan memanfaatkan TI. Selain menggunakan sarana audio visual, sekolah ini juga mengimplementasikan TI berupa smart board touch screen yang dilengkapi dengan koneksi internet berkecepatan tinggi.

Direktur Pendidikan YPAM, Ganjar Kurnia mengatakan, saat ini baru dua smartboard yang digunakan yakni di kelas 1 SD Super dan laboratorium bahasa untuk siswa SMP dan SMA Al Masoem Bandung. Ganjar menjelaskan smartboard merupakan perangkat seperti papan tulis atau whiteboard, namun dengan kecanggihan TI, board tersebut didigitalisasi sehinga berfungsi sebagai layar sentuh (touch screen) seperti halnya menggunakan perangkat tablet.

Smartboard ini merupakan inovasi kurikulum di YPAM yang baru kami mulai dan akan kami kembangkan. Kalau sekarang baru disediakan di dua kelas, rencananya ke depan mau dipasang di semua kelas atau 72  kelas,” kata Ganjar.

Menurutnya, dengan metode pembelajaran seperti ini siswa pun tampak lebih antusias mengikuti pelajaran Bahasa Inggris yang diajarkan native speakes yakni Mr Yusuf Fish dan George Fish asal California, Amerika Serikat sebagai guru Bahasa Inggris mereka.

“Siswa lebih antusias belajar di kelas karena metode pengajarannya menyenangkan dan tidak membosankan. Apalagi dengan menerapkan smartboard karena siswa Al Masoem pada umumnya sangat cepat daya serapnya terhadap teknologi,” kata Ganjar.

Guru Bahasa Inggris YPAM, Yusuf Fish menambahkan, meski masih agak membingungkan dalam penerapan smartboard, namun siswanya begitu antusias mengikuti pelajaran dan cara ini terbukti efektif meningkatkan minat siswa dalam belajar.

“Yang diutamakan dalam proses belajar mengajar itu harus interaktif sehingga siswa tidak jenuh dengan hanya membaca buku paket atau hanya mendengarkan gurunya berbicara. Dengan penerapan smartboard ini antara siswa dan gurunya bisa makin interaktif sebab didukung dengan perangkat multimedia termasuk smarboard. Siswa pun bisa belajar dengan semangat dan have fun, mereka lebih aktif belajar di kelas” kata Yusuf.

Pada intinya, proses pembelajaran pun kini dapat mengadofsi perangkat digital, agar proses transfer ilmu pengetahuan menyenangkan dan terjalin emosi kreatif antara pengajar dan yang diajar (siswa). Dengan  partisipasi guru kepada murid lewat fasilitas digital, itu bisa membawa dampak besar dalam menyampaikan pengajarannya.

Sebut saja beberapa instrumen teknologi pembelajaran digital yang sering digunakan guru ketika proses pembelajaran berlangsung, seperti: notebook, gadget, display, interactive media, digital library, digital lab, internet dan masih banyak lagi. Penggunaan perangkat teknologi ini dapat melahirkan budaya “digital creative” dan “cyber atractive” di dunia pendidikan. Kongkritnya perkembangan ini menjadi salah satu pendorong penggunaan konten digital di sekolah.

Pembelajaran digital lahir untuk meneruskan cara belajar konvensional, dimana proses pembelajaran masih menggunakan alat-alat tradisional semisal papan tulis hitam, kapur, dan lain-lain. Seiring perkembangannya, proses pembelajaran seperti tadi kian hari kian berubah, dari papan tulis hitam menjadi papan tulis putih dan menggunakan spidol. Bahkan ada sebagian yang mengunakan Over Head Projector (OHP), dan menggunakan proyektor atau yang lebih dikenal dengan nama infocus. Bahkan kini sudah mulai menerapkan perangkat smart board seperti yang dilakukan di SMP/SMA Al Masoem Bandung.

Persoalan bahan ajar pun, kini sudah ada buku sekolah elektronik yang digagas pemerintah guna meminimalisasi biaya, tentunya lebih mudah didapatkan oleh siswa. Media belajar yang digunakan seperti media elektronik atau digital, salah satunya termasuk internet, intranet, satelit, cloud computing, audio/video tape, TV interaktif, dan CD-Rom. Aktivitas e-learning ini, memang tidak bisa dipisahkan dengan infrastruktur yang mempuni.

Pembelajaran digital di sekolah tentunya dapat menekan mahalnya biaya menggandakan dokumen pendukung proses belajar mengajar. Aktivitas belajar pun menjadi menyenangkan, karena siswa dan mahasiswa di negeri ini lahir pada tahun 1990-an dan 2000-an, yang otomatis merupakan generasi digital native yang telah berubah menjadi peserta didik yang kreatif. •IWA

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.