Selama menekuni bidang kehumasan, kedekatannya dengan awak media, industri dan penggiat maupun pakar telematika telah membuatnya menonjol di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Bagi media, dirinya adalah nara sumber berkompeten yang mudah dihubungi dan dimintai keterangan terkait masalah regulasi maupun kebijakan, hingga isu-isu yang berkaitan dengan kementerian yang menaunginya.
KEPIAWAIANNYA dalam berinteraksi dan berkomunikasi telah membuat Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), KRMT Roy Suryo, tertarik untuk meminangnya menjadi salah satu deputi di institusinya. Tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, Gatot S Dewa Broto yang masih menjabat Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemkominfo waktu itu, langsung menyatakan kesiapannya untuk menduduki jabatan Deputi V, Bidang Harmonisasi dan Kemitraan di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Menurut Gatot, mandat yang diterimanya tersebut merupakan sesuatu yang baru baginya. Apalagi sejak dilantik 26 Maret 2014 lalu, dirinya tidak hanya dinobatkan sebagai Deputi V yang bertanggung jawab terhadap masalah pembangunan, renovasi dari sejumlah sarana dan prasarana, tetapi juga merangkap Juru Bicara Menpora. “Selama inikan tidak ada istilah namanya juru bicara. Tetapi hal ini menjadi salah satu tugas saya di Kemenpora,” paparnya.
Merasa dirinya bukan mantan atlet ataupun aktivis kepemudaan yang paham dengan dunia olah raga dan pemuda, Gatot pun melakukan pendekatan lebih pada aspek profesional. “Bukan berarti substansi tidak penting. Itu sebabnya saya harus dengan kecepatan tinggi learning by doing. Mulai dari masalah regulasi olahraga dan kepemudaan hingga pengelolaan manajemennya,” ungkap lulusan Hubungan Internasional Fisipol, Universitas Gajah Mada ini, yang mendapatkan gelar MBA dari Central Queensland University, Australia.
Dalam melakukan pendekatan, pria kelahiran Yogyakarta, 31 Oktober 1961, mengikuti pola yang selama ini dilakukannya di Kemkominfo, yaitu berinteraksi langsung tidak hanya pada lingkungan kementerian tetapi juga secara ekternal, seperti dengan Komite Olahraga Nasional (KONI), Komite Olimpiade Indonesia (KOI), serta para pengurus cabang olahraga lainnya agar lebih cepat mengenal dunia olahraga dan pemuda.
“Interaksi ini sudah kami lakukan dengan baik sekali. Banyak masukan yang saya terima, bahkan dalam hitungan hari, saya sudah menjadi penangung jawab untuk penyerahan bonus atlet yang memperoleh mendali pada SEA Games yang berlangsung tahun lalu di Myanmar,” jelas bapak dari satu putra ini.
Tidak hanya itu, warna Kemkominfo pun dibawanya saat Menpora melakukan sosialisasi event Piala Dunia 2014 dengan memfasilitasi nonton bareng (nobar) dengan sarana video converence agar terhubung antara kantor Kemenpora di Jakarta dengan yang menonton dari lapangan Hasanuddin, Makassar.
Di nobar ini, Menpora tidak hanya menikmati pertandingan Piala Dunia tetapi disamping itu juga berinteraksi dengan sejumlah mantan tim pemain nasional yang di undang untuk membahas mengenai permasalahan persepakbolaan dalam negeri secara video conference.
“Pengaruh Komkominfo sangat kental sekali dalam kehidupan saya, sehingga bisa diibaratkan sudah khatam dengan dunia telematika. Jadi, tampaknya saya akan banyak membawa warna-warna Teknologi Informasi (TI) kedalam Kemenpora,” jelas penghobi renang dan aerobik ini.
Lebih lanjut, berikut ini wawancara BISKOM dengan Gatot S Dewa Broto yang memulai karirnya di Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi pada pertengahan tahun 1989 dan sempat menduduki beberapa jabatan seperti Kepala Seksi Giro, Kepala Seksi Tarif, Kepala Humas pada 2002-2003 di Ditjen Postel, kemudian 2008 sebagai Kepala Pusat Informasi dan Kemkominfo, hingga akhirnya menjadi Deputi Menpora di 2014 ini.
Apakah ada kendala selama beberapa bulan ini Anda menjabat sebagai Deputi V di Kemenpora?
Alhamdulillah tidak ada kendala yang berarti, tetapi saya akui di sini memulainya dari nol sekali. Meskipun tadinya tidak tahu dan lingkup pengetahuan yang terbatas tetapi secara manajerial bisa saya kelola dengan baik tugas dan tanggung jawab saya.
Apa saja target Anda berkaitan dengan jabatan sekarang ini di Kemenpora?
Ada 5 hal yang ingin saya lakukan. Pertama pembenahan masalah pemberian bantuan terhadap pembangunan sarana dan prasarana olahraga dan kepemudaan. Kedua, ini lebih banyak kaitannya dengan masalah komunikasi publik. Sejak peristiwa Hambalang 2012, ada semacam esprit de corps di Kemenpora yang agak cenderung turun. Nah saya akan berinteraksi dengan rekan-rekan wartawan, bahwa Kemenpora itu banyak kerjaannya tiap hari.
Ketiga, menyelesaikan sejumlah regulasi terkait dengan standarisasi sarana olahraga seperti ukuran stadium bola maupun kolam renang berdasarakan standar internasional. Keempat, yang tidak kalah pentingnya adalah masalah penghargaan. Karena selama ini banyak peraih medali emas yang hidupnya terlantar. Nah, disini akan ada tradisi pemberian bonus atlet dan hal ini sudah diatur dalam peraturan presiden yang keluar pada bulan Juni.
Kelima, ingin meningkatkan kepedulian pemerintah khususnya pemerintah yang baru saja terpilih agar pemuda dan olahraga menjadi target yang lebih priority. Bila selama ini olahraga diperingkat 14 untuk prioritas pembangunan, inginnya bisa naik keperingkat lebih atas. Bila anggaran naik, maka pembinaan untuk olah raga ini bisa terangkat.
Secara lebih luas, dengan cara apa Anda memperjuangkan perkembangan TI saat ini?
Banyak tentunya. Misalnya saat ini, sistem scoring sudah menggunakan cara digital. Misalnya, pada pertandingan pencak silat ataupun bela diri lainnya, saat ada pukulan masuk ke lawan secara otomatis akan terbaca sistem dan memberikan nilai. Jadi wasit tidak bisa bermain mata dengan wasit yang di samping. Sebetulnya itu sudah ada beberapa tahun lalu, jadi kami tinggal menyempurnakannya saja. Namun sekarang, kami berfikir agar ini tidak hanya diadakan di pusat saja tetapi juga di daerah.
Selain itu, inginnya media center di Kemenpora modelnya media center yang profesional. Saya pernah menjadi penanggung jawab media center di KTT Asean 2011 dan KTT APEC di Bali 2013. Dimana lebih dari 2500 wartawan di KTT Asean dan 6000 lebih di KTT APEC yang harus saya jamu dengan menyediakan bandwidth yang besar untuk memudahkan para awak media mengirim dan berbagi berita ke negaranya.
Hal ini ingin saya replikasikan pada media center yang ada Kemenpora. Mungkin tidak sebesar pada saat KTT cukup yang ukuran mini agar wartawan bisa dengan cepat mengakses berita dan melakukan video converence.
Banyak kalangan telematika yang menyayangkan kepindahan Anda ke Kemenpora. Apa alasan Anda melakuakan hal ini?
Terus terang, saya juga mendengar hal ini, khususnya menjelang dan paska pelantikan. Bahkan di Twitter sempat menjadi trending topic yang kemudian media-media online ikut mengangkat hal ini. Jujur saya akui, inginnya karir naik tetapi karena di Kemkominfo belum ada kesempatan bagi saya untuk naik ke Eselon 1, sementara Kemenpora menawarkan, tentunya saya mengambil kesempatan ini.
Perlu diketahui, sebetulnya penawaran ini sudah sejak setahun lalu. Tiga hari setelah Pak Roy Suryo dilantik menjadi Menpora, beliau menelpon saya untuk bergabung dengannya. Tetapi waktu itu Pak Tifatul (Menkominfo -red) belum mengijinkan kepindahan saya dengan alasan belum ada orang yang menggantikan posisi saya.
Pada akhir 2013 Menpora kembali mengajukan surat kepada Pak Tifatul yang akhirnya diproses dan kemudian saya pindah. Jadi perpindahan ini bukan saya yang meminta. Saya memahami banyak kalangan yang menyayangkan kepindahan saya, tetapi di sisi lain ini dilakukan untuk sama-sama memajukan republik ini.
Lalu, apa tanggapan Anda terkait munculnya nama Anda sebagai calon Menkominfo untuk kabinet Presiden terpilih saat ini, Joko Widodo?
Sebetulnya isu tersebut sudah berkembang sejak bulan Juni. Kalau tidak salah, sebuah media online mengangkat nama saya yang kemudian diikuti media-media lain. Saya siap saja menerima amanat tersebut, karena sudah tahu persis permasalahan di Kemkominfo itu seperti apa, istilahnya kalau Al Quran sudah khatam. Tapi bukan berarti saya yang terbaik, mungkin teman-teman yang ada disana seperti Dirjen-nya lebih pintar dari saya.
Meski demikian, perkembangan komunitas kan bukan semata-mata karena pintarnya tetapi mungkin mereka punya pertimbangan lain. Seperti diketahui, di Kemkominfo banyak pekerjaan rumah yang selama ini belum terselesaikan, seperti telepon masuk pedesaan dan mengenai industri kreatif. Saya tahu persis bagaimana cara mengatasinya.
Ada satu hal baru dari Jokowi yang menjadi trend yaitu istilah e-Blusukan. Untuk mendukung ini, sebetulnya di tempat Presiden SBY ada yang namanya situation room seperti Pentagon di White House. Presiden dalam hitungan detik atau menit bisa mengetahui komoditi atau cuaca di suatu daerah hanya dengan sekali klik. Dengan hal ini, Presiden bisa menentukan atau memutuskan hal-hal tertentu terkait pengembangan desa ataupun hal lainnya. Permasalahannya, bagaimana bila presiden melakukan kunjungan keluar kota? Tentunya perlu dibuat seperti mini situation room yang bisa digunakan pada mobil kepresidenan, ataupun di pesawat kepresidenan. Jadi meskipun sedang berpergian tetap bisa dipantau atau dikontrol oleh presiden.
Jika jadi Menkominfo, apakah Anda akan melanjutkan tradisi pemblokiran?
Pemblokiran harus dilihat terlebih dahulu konteknya. Selama Undang-undang (UU) masih menyatakan hal itu dilarang berarti harus dilaksanakan tetapi jangan by request, seperti kasus Vimeo dan ISIS.
Setelah kasus ini ramai kepermukaan baru dilakukan pemblokiran. Seharusnya itu bisa by design dan roadmap-nya sudah tahu kira-kira yang mau difilter itu apa saja, karena kalau bebas-bebas sekali juga tidak bagus. Perlu diperhatikan juga masalah regulasinya yang semakin banyak out of date. Sebut saja UU Telekomunikasi produk 1999 dan UU ITE produk 2008, masalah penyiaran juga begitu. Jadi sudah tidak sesuai lagi dengan jaman dan harus diselesaikan dengan cepat.
Jika bisa memilih, di posisi mana Anda berharap dapat ikut berkontribusi untuk negara yang lebih baik?
Sekali lagi, saya menikmati jabatan sekarang ini. Tetapi kalau saya harus memilih dan merupakan keinginan komunitas dan masyarakat untuk di Kemkominfo, maka saya akan menjalankan amanat tersebut. Tidak harus menjadi Menteri, menjabat sebagai Dirjen pun saya siap.
Bapak Jokowi menyatakan komitmennya untuk menggunakan TI buatan anak bangsa di pemerintahannya kelak. Bagaimana Anda melihat kemampuan dan karya anak Indonesia dalam hal ini?
Karya-karyanya sudah sangat bagus. Kita sudah sering mendengar bahwa anak-anak kita dapat medali emas di olimpiade Fisika, Matematika maupun penghargaan di bidang TI dan robot. Itu sebetulnya dasarnya satu, tinggal ngelink saja dengan bidang TI. Dan harusnya Menkominfo di sini tidak sendiri, tetapi ada lintas menteri, yaitu misalnya dengan Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan untuk mengangkat karya anak bangsa ini.
Potensinya sudah ada, tinggal kita taruh mereka-mereka itu di perusahaan-perusahaan. Kalau tidak, maka jangan kaget kalau nanti diambil perusahaan asing. Sudah banyak kejadiannya, contohnya pembuat film anak Upin dan Ipin yang diambil Malaysia.
Apa saja kendala dan tantangan terbesar bagi Indonesia agar nantinya menjadi negara produsen, dan tidak lagi hanya menjadi negara konsumen TI?
Sebetulnya tergantung pada niat dan kemauan pemerintah itu sendiri. Peraturannya sudah ada tetapi tidak di-breakdown pada anak-anak peraturan. Misalnya, masalah Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Pada saat tender 3G di tahun 2006 sudah diatur TKDN. Seharusnya setiap tahun ada peningkatan untuk penggunaan TKDN tetapi faktanya, kontrolnya saja lemah.
Memang laporan dari operator mereka sudah menggunakan TKDN sesuai aturan. Tapi siapa melakukan kontrol tersebut. Jadi kembali ke awal, kalau pemerintah ada kemauan maka harus duduk bareng dengan lintas kementerian dan mitra kerja. Setelah itu membentuk tim kecil membahas apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Leading sector-nya tetap di Kemkominfo. Kalau sudah, maka nanti akan ketahuan kira-kira apa saja yang perlu dilakukan dan mindframe-nya harus ketat juga.
Jangan sampai tertunda-tunda hanya untuk membuat peraturan menteri. Pola lama juga harus dilakukan, yaitu uji publik dan sosialisasi ke masyarakat. Operator juga harus dipaksa karena selama ini sudah merasa keenakan membeli barang murah dari luar. Berapa rupiah uang kita harus lari keluar, capital flight kita? Besar sekali.
Anda baru saja meluncurkan buku “The PR 2”, sebagai lanjutan dari suksesor “The PR 1”. Bisa diceritakan mengenai buku ini?
Buku ini merupakan kelanjutan dari buku pertama dengan isi yang berbeda tetapi tetap terkait dengan masalah public relation (PR). Rencana sebetulnya saat selesai ditulis pada bulan Maret 2013 ingin dijadikan satu. Namun terlihat terlalu tebal dengan lebih dari 900 halaman dan dibawanya pun tidak akan nyaman. Akhirnya dibuat dua edisi, buku pertama diterbitkan oleh Gramedia di awal tahun ini dan buku kedua diterbitkan oleh Media Bisnis Telematika di bulan Juni.
Buku pertama The PR lebih mengedepankan berbagai masalah benturan-benturan implementasi regulasi dan kebijakan telekomunikasi domestik yang harus dikomunikasikan pada media. Sedangkan buku ke dua atau The PR2, lebih mengedepankan persoalan benturan asing versus domestik, kegalauan pelaksanaan UU Keterbukaan Informasi Publik, strategi menghadapi tekanan, dan sikap apresiasinya pada media.
Hal-hal apa saja yang bisa dipetik oleh para Public Relation di dunia dengan membaca buku ini?
Ada tiga hal, pertama agar pandangan mereka lebih luas lagi. Sebagai Public Relation atau Humas itu tidak semata-mata hanya membantu Menteri atau Dirjen untuk protokoler dan mengadakan jumpa pers maupun membagi siaran pers. Tetapi terkadang bisa berada di tempat berbahaya dan menantang. Seperti yang saya alami, saya membuat siaran pers di wilayah Gunung Merapi.
Kedua, orang Humas itu seperti tentara yang harus bisa mengendalikan kerjaan dari tempat yang kadang-kadang remove. Seperti yang saya lakukan saat mengatur pelaksanaan video converence Presiden terkait peristiwa Merapi, hanya dari gerbong kereta yang berhenti total di daerah Subang karena ada kereta anjlok sebelumnya. Ketiga, jangan menjadi Humas jika hanya sebatas dari anggaran saja. Tetapi harus ada niatan untuk menjalin hubungan baik dengan siapapun.
Apa saja hal yang harus dipersiapkan untuk menjadi Public Relation yang tangguh?
Kompetensi nomor 1. Saya bukan seorang sarjana komunikasi, tetapi Hubungan Internasional (HI). Saya sadar bahwa bahwa teori ilmu komunikasi saya masih lemah, makanya saya selalu belajar dan membaca buku tentang ilmu komunikasi dan sebagainya. Kedua, jujur. Seorang Humas tidak boleh berbicara bohong. Ketiga, seorang Humas harus seperti sebuah iklan softdrink jaman dulu: kapan saja dimana saja bisa dihubungi.
Apa cita-cita Anda yang saat ini belum terwujud?
Dulu inginnya menjadi seorang Diplomat. Kebetulan ada basic HI dan menguasai tiga bahasa, yaitu Inggris, Jerman dan Perancis. Saya juga sudah mengunjungi banyak negara, yaitu 30 negara. Tapi takdir mengharuskan saya jadi seorang Humas, dan saya mensyukuri semua ini. •ANDRI/M. TAUFIK (foto)