Kasus IM2 bermula saat Indosat mendapat ‘jatah’ jaringan frekuensi 3G. Indosat memasarkan frekuensi itu melalui anak usahanya IM2. Lantas dilakukan perjanjian kerjasama dengan Indosat untuk penggunaan bersama frekuensi 2,1 GHz selama periode 2006 sampai 2012. Penggunaan bersama frekuensi tersebut membuat PT IM2 tak membayar biaya pemakaian frekuensi, sehingga dianggap merugikan negara.

SIDANG PERDANA INDOSATDUGAAN kecurangan ini dilaporkan Ketua Umum Konsumen Telekomunikasi Indonesia, Denny Andrian Kusdayat, ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada 6 Oktober 2011. Tapi belum lama ini Denny menegaskan bahwa dirinya bukanlah pelapor kasus korupsi yang merugikan negara Rp. 1,3 triliun tersebut.

Dalam laporannya, Denny menuduh IM2 memakai frekuensi radio 2,1 GHz tanpa tender sejak 2006. Menurut Denny, karena memakai frekuensi yang tendernya didapat Indosat induk perusahaan IM2 lolos dari kewajiban membayar biaya awal (upfront fee) dan biaya hak penggunaan frekuensi tahunan. Akibatnya negara dirugikan sekitar Rp. 3,8 triliun.

Kejaksaan Tinggi Jawa Barat lantas memeriksa sejumlah pejabat IM2, Indosat, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta perusahaan operator seluler lain. Tapi, pada 13 Januari 2012, Kejaksaan Agung mengambil alih kasus itu. Tak lama kemudian jaksa menetapkan Indar Atmanto sebagai tersangka hingga berstatus terdakwa korupsi di Pengadilan Tipikor. Sejak itu pula jabatannya sebagai Presiden Direktur IM2 dicopot.

Untuk menghitung kerugian negara dalam kerjasama Indosat-IM2 ini, pada 31 Januari 2012 Kejagung meminta bantuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Deputi BPKP Kepala Bidang Investigasi, Eddy Mulyadi Soepardi, lantas membentuk tim beranggota empat auditor. Tim ini bolak-balik ke kejaksaan, tapi tak pernah menyambangi kantor Indosat atau IM2.

Hingga menghasilkan temuan audit BPKP dan menyebutkan negara telah dirugikan sekitar Rp1,3 triliun. Sebab IM2 dianggap tidak membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Atas dasar bukti itu, Kejaksaan Agung menganggap kerja sama Indosat dengan IM2 menyalahi aturan sebab IM2 telah memanfaatkan jaringan frekuensi 3G tanpa izin resmi dari pemerintah. Apalagi IM2 dianggap tidak pernah mengikuti seleksi pelelangan pita jaringan pada frekuensi tersebut.

Sewaktu kasus ini diusut Kejagung, pada 20 April 2012, polisi menangkap Denny, si pelapor, di Plaza Indonesia, Jakarta. Menurut polisi, Denny berusaha memeras Indosat hingga Rp. 30 miliar dalam kasus berbeda. Dari ruang tahanan, pria yang mengaku berprofesi sebagai pengacara itu mengaku dijebak. Pada 30 November 2012, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Denny 16 bulan penjara. Kini Denny sudah bebas.

Kejaksaan rupanya tak terpengaruh oleh penangkapan Denny. Kejaksaan kian bersemangat setelah BPKP menyelesaikan penghitungan kerugian negara pada 9 November 2012. Menurut BPKP, kerja sama Indosat-IM2 sepanjang 2006-2011 menyimpang dari aturan dan merugikan negara sekitar Rp 1,3 triliun.

Empat hari setelah audit BPKP keluar, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring, mengirim surat ke Jaksa Agung Basrief Arief. Menurut Tifatul, kerjasama Indosat dan IM2 sudah sesuai dengan aturan. Kerjasama dengan pola yang sama, menurut Kementerian Komunikasi, juga dilakukan penyelenggara jaringan dengan ratusan penyedia jasa telekomunikasi lain. Jaksa tak menggubris penjelasan Menteri Komunikasi.

Karena penyidikan jaksa terus melaju, Indar mencoba jalur melingkar. Pada 26 Desember 2012, ia menggugat Deputi Kepala BPKP Eddy Mulyadi beserta tim auditnya ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Selain meminta pelaksanaan hasil audit BPKP ditunda, Indar meminta PTUN menyatakan hasil audit itu tidak sah. Langkah Indar menggugat BPKP secara pribadi belakangan diikuti Indosat dan IM2.

Sebagai auditor internal lembaga pemerintah, menurut Indar dan kawan-kawan, BPKP tak berwenang mengaudit perusahaan swasta seperti Indosat dan IM2. Di samping itu, Indar dan rekan-rekan mempersoalkan mekanisme audit BPKP yang tak pernah memeriksa langsung Indosat dan IM2.

Perlawanan Indar membuat jaksa justru bergerak lebih jauh. Pada 5 Januari 2013, Kejagung mengumumkan Indosat dan IM2 sebagai tersangka. Ini untuk pertama kalinya Kejaksaan menetapkan korporasi sebagai tersangka kasus korupsi.

Menurut Direktur Penyidikan Kejagung, Adi Toegarisman, jaksa menjadikan Indosat dan IM2 sebagai tersangka karena hasil perbuatan Indar dan kawan-kawan telah menguntungkan kedua perusahaan itu.

Berkas penyidikan Indar juga lebih awal dilimpahkan ke pengadilan. Pada 14 Januari 2013, Indar menjalani sidang perdana sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam sidang yang diwarnai unjuk rasa ratusan karyawan Indosat dan IM2 itu, jaksa mendakwa Indar memperkaya diri dan korporasi dengan cara melawan hukum serta menyalahgunakan kewenangan. Jaksa menjerat Indar dengan Pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara.

Menurut jaksa, Indar melanggar aturan bersama tiga mantan Presiden Direktur Indosat: Johnny, Kaizad B. Herzee, dan Harry Sasongko. Jejak Indar terlacak dari sejumlah perjanjian kerja sama Indosat dan IM2 beserta amendemennya. Adapun tiga lainnya meneken surat perjanjian, mewakili Indosat, sesuai dengan periode jabatan mereka.

Pengacara yang ditunjuk Indosat dan IM2, Luhut M.P. Pangaribuan menilai, tuduhan jaksa kepada kliennya salah alamat. Kejaksaan, misalnya, menyebutkan IM2 menggunakan frekuensi secara bersama dengan Indosat. Padahal, dari kacamata hukum telekomunikasi, IM2 hanya memakai jaringan milik Indosat.

Menurut Luhut, kewajiban mengikuti lelang, membayar upfront fee, dan membayar biaya hak penggunaan pita frekuensi berlaku untuk Indosat sebagai penyelenggara jaringan. Adapun IM2, sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi, hanya wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi dan biaya kewajiban pelayanan universal (USO). “Indosat dan IM2 sudah melunasi kewajiban masing-masing,” kata Luhut waktu itu.

Tatkala sidang di Pengadilan Tipikor baru memasuki tahap pemeriksaan saksi, sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara memasuki tahap akhir. Pada 1 Mei 2013, majelis hakim PTUN yang dipimpin Bambang Heryanto mengabulkan sebagian tuntutan Indar, Indosat, dan IM2. Menurut hakim PTUN, surat Deputi Kepala BPKP tentang perhitungan kerugian negara itu tidak sah. Hakim pun meminta BPKP mencabut surat tersebut.

Menanggapi ini Deputi Kepala BPKP Eddy Mulyadi Sopardi saat itu malah menyatakan mengajukan permohonan banding. Menurut Eddy, BPKP bukan pertama kali membantu jaksa dalam menghitung kerugian negara. Lembaganya sudah menghitung kerugian negara dalam hampir 400 kasus korupsi. Beberapa di antaranya memang digugat ke pengadilan.

Tapi upaya BPKP kandas, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi BPKP pada 21 Juli 2014. Dengan keluarnya putusan kasasi ini, Eric S. Paat, kuasa hukum Tata Usaha Negara (TUN) mantan Dirut IM2 Indar Atmanto, mendesak kliennya itu segera dikeluarkan dari LP Sukamiskin, Bandung. Jika sudah bebas, nama baiknya pun harus segera direhabilitasi.

Saat peluncuran buku Indar Atmanto berjudul “Kerikil Tajam Telekomunikasi Indonesia: Mimpi Mewujudkan Masyarakat Cerdas Berbasis Digital”, Indar sendiri mengaku ada kesalahan penentuan dalam subjek hukum. Namun demikian hal itu menurutnya merupakan kenyataan yang perlu dihadapi.

“Buku ini memberikan pencerahan dalam penggunaan internet. Saya tak ingin menyaksikan anak bangsa lainnya harus terseret kasus seperti yang saya alami karena kesalahan dalam memahami aturan telekomunikasi di Indonesia,” kata Indar waktu itu. Buku itu menurutnya bisa menjadi buku putih dari cita-cita awal mewujudkan masyarakat cerdas berbasis digital. •IWA

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.