Pasar bebas antara negara-negara Asia Tenggara yang bergabung dalam ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun depan. Pemberlakuan pasar bebas tersebut memiliki konsekuensi bahwa setiap negara yang menjadi peserta harus memiliki kompetensi dan kemampuan yang mumpuni, khususnya di bidang inovasi dan teknologi agar dapat memenangkan persaingan.
PERMASALAHAN infrastrukur dan Sumber Daya Manusia (SDM) masih menjadi kendala bagi Indonesia dalam mempersiapkan diri menyongsong ASEAN Free Trade Area (AFTA). Bukan hanya itu, kapasitas inovasi, kapabilitas teknologi serta kemampuan industri masih tergolong rendah, melirik dari hal tersebut, negeri ini perlu segera berbenah diri jika tidak ingin terlindas dalam persaingan global.
Akmadi Abbas, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, inovasi berbasis ilmu pengetahuan (Iptek) dan produktifitas merupakan kunci untuk memenangkan persaingan dalam era perdagangan bebas di ASEAN.
“Perdagangan bebas dapat dianggap sebagai suau hal positif jika pemain yang berperan di dalamnya memiliki berbagai kompetensi dan kemampuan yang mumpuni, salah satunya di bidang inovasi dan teknologi,” kata Akhmadi.
Menurutnya, Indonesia juga perlu melakukan perbaikan mendasar bila ingin menjadi pemenang dalam persaingan bebas ini. Berdasarkan riset Pusat Penelitian perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pappiptek), hanya segelintir industri nasional yang bisa menembus pasar ASEAN. Hal itu baru terjadi pada tataran ekspor serta baru pada investasi fasilitas produksi, namun belum ditemukan industri yang berinvestasi pada litbang di negara lain.
Belum lama ini, BISKOM berkesempatan berjumpa dengan Akmadi Abbas dalam suatu kesempatan di Gedung LIPI, Jakarta. Simak kutipannya.
Mengapa Indonesia perlu sekali melakukan perisapan guna menghadapi AFTA 2015 mendatang?
Pasar bebas ASEAN sebenarnya bukanlah sebuah momok yang menakutkan. Banyak hal positif yang bisa diambil dari kesempatan tersebut. Melalui perdagangan bebas, setiap pemain akan berkompetisi untuk memenangkan persaingan. Hanya tinggal bagaimana kesiapan dari industri Indonesia serta SDM kita dalam menghadapi pasar bebas tersebut
Lalu apakah Indonesia sudah siap?
Menurut saya, beberapa industri besar seperti makanan dan minuman sudah sangat siap menghadapi AFTA, dikarenakan pasar mereka tidak hanya pada pasar ASEAN melainkan sudah melakukan ekspor ke 30 negara. Berbagai inovasi juga sudah dilakukan dan mereka juga memepunyai kegiatan Litbang. Hal ini yang setidaknya patut dicontoh oleh sektor industri di bidang lain.
Berdasarkan hasil riset Pappiptek pada tahun lalu, hanya segelintir industri nasional yang bisa menembus pasar ASEAN bahkan global. Itu pun baru pada tataran ekspor atau maksimum baru pada investasi fasilitas produksi dan belum ditemukan industri yang berinvestasi pada litbang di negara lain seperti Tiongkok.
Tentu ini harus menjadi catatan tersendiri dan perlu ditanggapi segera dengan langkah-langkah yang strategis, seperti kolaborasi pengembangan Iptek dan inovasi dengan negara-negara di kawasan, serta mendorong munculnya industri berbasis iptek dan inovasi.
Strategi ke depan perlu diarahkan pada penciptaan industri dengan nilai ekonomi tinggi. Selain itu, industri harus menjadikan iptek dan inovasi sebagai strategi meningkatkan kontribusi Indonesia terhadap kemajuan ekonomi nasional dan negara-negara kawasan ASEAN..
Dari segi SDM bagaimana kesiapannya?
Saya lebih menekankan pada SDM Iptek yang harus dipersiapkan dalam persaingan-persaingan global. Saat ini Indonesia terkesan tidak terlalu serius terhadap Iptek bila dibandingkan dengan sektor lain. Tentunya mau tidak mau kita harus siap dengan persaingan AFTA pada 2015 mendatang. Jika tidak siap, pelaksanaan Litbang yang harusnya bisa kita rasakan hasilnya dan bisa kita kembangkan secara berkelanjutan, akan diambil alih oleh asing.
Saat ini kita menekankan pada Sumber Daya Bio Resources yang juga sudah kita launching ke Bapenas dan kita harapkan dapat bersaing pada AFTA 2015.
Industri kreatif saat ini sedang berkembang, apakah hal tersebut dapat menjadi daya saing tersendiri bagi Indonesia?
Tentu saja. Karena di Industri kreatif terdapat keunikan, tentunya kita juga memiliki cukup banyak industri kreatif. Banyak negara-negara lain yang menyukai hasil-hasil dari kerajinan dan industri kreatif kita, tinggal bagaimana kita menjaga dan mengawasi kegiatan ini supaya tetap berjalan dan inovasi harus terus bergerak agar tidak bisa ditiru oleh asing.
Bisa dijelaskan bagaimana peranan pemerintah dalam mengembangkan industri kreatif?
Kami selaku lembaga Litbang sudah menyampaikan kepada penduduk di daerah serta mensosialisasi,dan mungkin dari kementerian yang bersangkutan juga sudah melakukan banyak hal demi kemajuan industri kreatif seperti promosi dan lain-lain. Dari sisi litbang, salah satu hal yang kita coba sosialisasikan adalah hak kekayaan intelektual yang harus kita jaga dan kita upayakan agar tidak dijiplak oleh asing.
Apa harapan Anda terhadap pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla?
Saya berharap dengan pemerintahan baru ini, Pak Jokowi dapat merealisasikan apa saja yang dijanjikan. Harapan yang dimaksud disini yakni berupa anggaran riset yang bisa menunjang penelitian ke depannya. Hal ini diharapkan dapat mengembangkan penelitian menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Saat Pak Jokowi mengunjungi LIPI beberapa waktu lalu, beliau menjanjikan akan melipatkgandakan anggaran riset tahun ini. Seperti diketahui, anggaran riset yang diberikan pemerintah sekarang kepada Kementerian Ristek yakni sekitar 0,08 persen dari GDP. Jadi yang kami tangkap itu sekitar 0,16 persen.
Sebetulnya, peningkatan tersebut masih kurang ideal bila dibandingkan negara berkembang lainnya. Maka dari itu, diperlukan dana insentif untuk pengadaan peralatan dari pemerintah. Saat ini kan masih mengandalkan barang dari luar negeri. Kalau dibebaskan maka akan menjadi 0,2 persen. Padahal mmenurut UNESCO, anggaran Iptek suatu negara itu seharusnya 2,5 persen dari Gross Domestic Product (GDP).
Teknologi terbaru apa yang saat ini tengah dikembangkan LIPI?
Wilayah Indonesia Timur memiliki intensitas sinar matahari lebih banyak, sehingga tepat bagi kami untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya. LIPI saat ini tengah menyiapkan pilot plan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terkonsentrasi (PLTS) di Gunung Kidul, Yogyakarta.
Kalau kita lihat di Indonesia ini elektrifikasi sekitar 75 persen akan melangkah. Namun di Indonesia timur memang masih rendah. Pengembangan kawasan Indonesia Timur diupayakan dilakukan dengan memanfaatkan potensi yang ada. Riset PLTS ini sendiri sudah berjalan selama 3 tahun dan menghabiskan anggaran sebesar Rp. 1,7 miliar. Pertahun rata-rata pembangunan sollar termal ini di tahun pertama Rp. 500 juta, tahun kedua Rp. 750 juta dan tahun ketiga Rp. 500 juta.
Nantinya, teknologi ini bisa mengalirkan listrik di daerah yang belum teraliri listrik. Di mana energi matahari radiasinya ditangkap di cermin parabolik yang kemudian difokuskan di pipa panas berisi cairan lalu uap dihasilkan akan menggerakkan turbin. Tentunya, selain PLTS ini, masih banyak teknologi lain yang bermanfaat yang kami kembangkan untuk Indonesia. •ARIE/M. TAUFIK (foto)