Jakarta, BISKOM – Untuk menangkal serangan di dunia cyber yang dapat mengganggu kedaulatan dan pertahanan negara, Indonesia perlu segera membentuk satuan khusus tentara cyber.
TINGKAT kejahatan di dunia maya atau cyber crime di Indonesia sudah mencapai tahap memprihatinkan. Bukan tidak jarang, ada perusahaan yang sistem informasinya mendapat serangan dari hacker sehingga tidak berfungsi. Akibatnya, perusahaan mengalami kerugian hingga miliaran.
Begitupun, cukup banyak laporan masyarakat yang menjadi korban penipuan online, bahkan pemerintahan berkali-kali mendapatkan ancaman atau teror yang berpotensi merusak keamanan negara. Melihat kondisi tersebut, sudah saatnya pemerintah mengantisipasi permasalahan cyber security dengan menerapkan organisasi security yang end to end dan dipimpin langsung oleh Presiden. Organisasi security ini nantinya melibatkan multi departemen, mulai dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, hingga stakeholder terkait lainnya.
Marsda TNI Agus Barnas, Deputi VII Menko Polhukam Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi, dan Aparatur (Kominfotur) kepada BISKOM (13/11) mengatakan, “Perlu dibentuk badan khusus bahkan badan tersendiri yang dipimpin langsung oleh Presiden, seperti yang sudah dilakukan Amerika Serikat, China, Australia, dan Israel.”
Berbicara soal keamanan sekarang ini, lanjut Agus, bukan soal keamanan sosial atau ekonomi semata, sudah harus dipikirkan pula tentang keamanan cyber. “Jika kita harus mulai mempersiapkan badan atau satuan khusus dari sekarang. Sebenarnya sejak April 2014 kita sudah membentuk suatu desk ketahanan informasi. Desk inilah yang nantinya akan menjadi cikal bakal badan tersebut,” ungkap Agus.
Berikut kutipan wawancara BISKOM selengkapya.
Bisa diceritakan lebih lanjut mengenai konsep cyber security yang ditawarkan Menko Polhukam?
Sebenarnya sejak April 2014, kami sudah membentuk sebuah desk ketahanan informasi yang disebut Center of Cyber yang mengacu pada Permenko Polhukam yang menilai Menko Polhukam perlu mengkordinir semua stakeholder terkait ketahanan cyber.
Keanggotaan desk ini pun ada beberapa stakeholder, seperti Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII), Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), Pengelola Nama Domain Indonesia (Pandi), Masyarakat Telematika (Mastel), serta kalangan bisnis dan akademisi yang menyadari bahwa sudah saatnya kita memiliki suatu organisasi yang mampu mengkoordinir masalah ketanahan cyber nasional. Pemikiran ini juga merupakan hasil seminar dan kajian panjang, baik di lembaga pemerintahan maupun perguruan tinggi.
Bagaimana koordinasi keamanan antar kementerian di bawah Kemenko Polhukam sejauh ini?
Setiap hari kami berkoordinasi terkait keamanan. Misalnya dengan Kemenkominfo setiap saat kami berkomunikasi dengan semua Dirjen atau Sekjen terkait seperti Direktorat Jenderal (Ditjen) Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Ditjen Penyiaran (PPI), atau Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI), juga dengan semua pemangku kepentingan lainnya seperti Kementrian Luar Negeri (Kemenlu), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkum HAM).
Di Kemenko Polhukam sendiri, kami terus berkoordinasi dengan Sekretariat Menko Polhukam (Sesmenko Polhukam), dan Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Kalkhar Bakorkamla). Sedangkan di Deputi VII Polhukam, kami menangani masalah komunikasi, informasi publik yang berkaitan dengan teknologi informasi, dan aparatur pemerintah.
Bagaimana kondisi keamanan cyber kita saat ini?
Kondisinya di negara kita sendiri, budaya masyarakat kita tampaknya belum mengikuti perkembangan teknologi informasi (TI), terutama masalah etika, seperti soal pencemaran nama baik lewat media sosial, sehingga hukum, budaya dan etika kita harus disesuaikan, perlu di-update sesuai kemajuan TI.
Dari sisi penanganan keamanan cyber, kita masih berjalan dengan baik. Akan tetapi, negara kita masih begitu rawan terhadap gangguan keamanan cyber. Artinya, kita jangan menunggu sampai terjadi suatu gangguan keamanan cyber, baru kita bereaksi. Sebab paradigma perang sekarang bukan lagi phisycal contact, tapi sudah mulai bergeser ke perang cyber.
Bisa disebutkan contoh-contoh perang dunia maya atau cyber warfare di dunia, sehingga kita perlu waspada terhadap serangan cyber?
Pernah terjadi di Eropa Timur yang distribusi listriknya diatur oleh TI sedemikian rupa, tapi tiba-tiba di-hack dan sempat jebol. Begitu pula di Ukraina sebelum Rusia menyerang dengan operasi militer secara fisik ke Ukraina, yang diserang terlebih dahulu oleh Rusia adalah keamanan cyber Ukraina oleh para hacker.
Koneksi internet Korea Selatan juga sempat diputus selama 20 hari karena ada serangan dari hackers sehingga roda perekonomian, bursa saham, distribusi bahan bakar pangan semuanya kacau. Hal-hal seperti ini lah yag harus kita lindungi. Kita harus tahan terhadap ancaman-ancaman cyber. Karena itu kita mulai menjalin kerjasama dengan Korea, Amerika, Belanda, untuk belajar, bertukar informasi dan pengetahuan karena semua negara menghadapi masalah dan ancaman serupa dan perlu membangun ketahanan cyber dan menjaga keamanan cyber.
Apakah sudah ada regulasi yang mendukung pembentukan cyber defence dan cyber army?
Sebetulnya kami sudah menyiapkan suatu rancangan regulasi yang akan kami serahkan ke pemerintah. Termasuk naskah akademiknya tentang kenapa kami menyarankan negara perlu membentuk badan yang khusus menangani keamanan cyber ini. Tentunya kita juga perlu payung hukum untuk badan tersebut nantinya.
Kami juga sudah mempersiapkan produk kajian yang menyarankan pentingnya dibentuk suatu badan atau organisasi di bawah kementerian yang khusus menangani keamanan cyber nasional. Memang, produk hukum yang ada saat ini agak ketinggalan dibanding dengan kemajuan TI, seperti pengaturan penggunaan frekuensi, dalam Undang-undang Informasi dan Transaski Elektronik (UU ITE) terkait cyber crime juga ada pasal yang perlu direvisi lagi untuk mengikuti perkembangan TI yang begitu pesat.
Selain regulasi, peningkatan dan penambahan SDM cyber defence atau cyber army dengan membekali soft power dan smart power, apa lagi sarana prasarana penunjang untuk cyber defence ini? Misalnya dari sisi hardware, seperti halnya pembelian satelit?
Memang sudah saatnya Indonesia punya sistem sendiri yang bisa menangkal ancaman cyber dari luar maupun dalam, khususnya terhadap institusi penting dan strategis, apakah bentuknya nanti semacam badan koordinasi keamanan dan lain sebagainya. Sudah saatnya juga kita punya satu perangkat seperti super komputer maupun satelit dan suatu ruang yang bisa memonitor ancaman tersebut.
Jadi memang, perlu suatu badan yang melindungi kepentingan nasional dari ancaman yang berpotensi mengganggu cyberspace kita. Sebab ketahanan cyber merupakan bagian penting dalam kehidupan kita, bukan lagi sekadar ketahanan energi, pangan, dan air.
Kapan kira-kira badan khusus keamanan cyber itu bisa diwujudkan?
Kami berharap tahun 2015 sudah ada pemikiran ke situ. Kami sudah berikan informasi ke instansi-instansi terkait seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Memang ini masih perlu kajian lebih lanjut, misalnya apakah nanti badannya masih menempel di Kemenko Polhukan seperti Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) atau badan khusus bahkan badan tersendiri yang dipimpin langsung oleh presiden, seperti yang sudah dilakukan Amerika Serikat, China, Australia, dan Israel.
Sebab bagaimana pun, seiring perkembangan teknologi yang begitu pesat, perlu suatu badan institusi di bawah satu kementerian. Sebab berbicara soal keamanan sekarang ini bukan soal keamanan sosial atau ekonomi saja, sudah harus dipikirkan tentang keamanan cyber. Sehingga jika kita mulai siapkan badan khusus dari sekarang, mulai 2015 bisa jadi sudah ada suatu badan atau wadah atau desk atau unit khusus keamanan cyber. Desk inilah yang nantinya akan menjadi cikal bakal badan tersebut. • Hoky/ANDRI/M. TAUFIK (foto)