Serangan cyber yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia menjadi perhatian serius bagi pemerintah Indonesia untuk segera merancang dan merumuskan sebuah badan yang mampu mengatasi dan mengidentifikasi berbagai serangan cyber, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri.
KASUS sang ‘whistle blower‘, Edward Snowden, yang membocorkan rahasia badan intelijen Amerika Serikat, National Security Agency (NSA), membawa trauma tersendiri bagi Indonesia. Mantan kontraktor NSA yang pernah menjadi pegawai dinas rahasia Amerika, Central Intelligence Agency (CIA) tersebut pada tahun lalu membeberkan kepada publik rekaman telepon pelanggan Verizon dan penyadapan data ke server perusahaan raksasa internet Amerika seperti Google, Facebook, Microsoft, Apple dan sebagainya.
Akibat aksi nekat Edward Snowden tersebut, hubungan kerjasama Amerika Serikat dengan negara luar seperti Jerman, Perancis, Brazil, Meksiko dan bahkan termasuk Indonesia dan sejumah negara Asia lainya, menjadi terganggu.
Pelajaran yang dipetik dari kasus ini adalah pembuktian bahwa Indonesia masih rentan terhadap aksi penyadapan dan penyusupan dari pihak luar. Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian seperti ini serta persoalan-persoalan cyber lainnya yang semakin kompleks, Deputi VII Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) sejak bulan April 2014 telah membentuk Desk Ketahanan dan Keamanan Informasi Cyber Nasional (DK2ICN).
Menurut Tedi Supardi Muslih, Bidang Komunikasi Publik & Kemitraan Strategis, DK2ICN, Kemenko Polhukam, selama ini masyarakat hanya mengetahui bahwa permasalahan keamanan informasi hanya ditangani Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) saja. Padahal, permasalahan cyber space ini kini sifatnya sudah multi stakeholder, cyber crime juga terkait dengan pelanggaran hokum hingga keamanan informasi yang berhubungan dengan informasi pertahanan negara, dan belum lagi berbicara kejahatan di industri keuangan.
“Permasalahan cyberspace ini bukan hanya menjadi tugas Kemkominfo, tetapi sudah multi stakeholder. Tidak bisa lagi ditangani secara parsial atau sendiri-sendiri. DK2ICN akan mencoba mengkoordinasikan ketika ada persoalan-persoalan cyber space yang sifatnya sudah lintas sektoral. Dengan demikian, DK2ICN akan mereduksi egosektoral dari masing-masing yang merasa permasalahan ini adalah domainnya,” ujar Tedi.
Meski begitu, tambah Tedi, bukan berarti DK2ICN mengambil kontrol semuanya. Justru akan ada koordinasi dan kerjasama untuk menghadapi ancaman bersama. “Jadi nantinya akan ada skala-skala yang ditentukan bersama. Targetnya desk ini memprioritaskan critical infrastructure dan government,” lanjutnya.
Di usianya yang baru delapan bulan, DK2ICN kegiatannya masih bersifat koordinasi dan dalam bentuk kajian. Disebutkan pria berdarah Sunda ini, Desk Cyber terlebih dahulu melihat kedalam dan mencoba menata ulang dalam desk. “Nantinya desk ini diharapkan bisa menjadi badan sehingga lebih powerful,” tandasnya.
Lebih lanjut, berikut ini petikan wawancara BISKOM dengan Tedi S.M yang melepas karirnya di industri untuk lebih fokus membangun DK2ICN.
Siapa sajakah yang terlibat dalam tim Desk Cyber ini?
Sekarang ada sekitar 67 orang dengan anggota organik Ketua Deputi VII, Wakil Ketua Deputi, dua orang Kepala Bidang dan sisanya multi stakeholder, baik itu dari komunitas, praktisi, akademisi dan bahkan hacker. Di dalamnya ada forum komunitas, staf ahli, serta ada ketuanya masing-masing. Kurang lebih ada enam bidang. Nantinya masing-masing bidang mengejawantahkannya ke Kelompok Kerja (Pokja). Ada 4 Pokja yang sekarang ini terus berjalan indexing dan monitoring.
Seperti apa peranan yang akan dijalankan desk ini?
Bila digambarkan, akan seperti masalah di laut kita yang luas dan komplek, dimana ada kapal-kapal asing, illegal fishing, penyelundupan dan hal lainnya yang rumit. Nah, dalam mengatasi hal tersebut disana ada Polisi Air dan Udara (Polairud), TNI AL, Bea Cukai dan lainnya. Biasanya dalam pengoperasian sering bersinggungan atau bertabrakan dalam masalah kewenangan dalam mengatasi suatu kejadian. Sama halnya dengan yang terjadi di cyber space itu bisa siapa saja, mulai dari individu, organisasi, pemerintah dan lainnya campur aduk. Sementara saat ini kan cyber lebih fokus ke Kemkominfo dengan regulasi UU ITE dan Telekomunikasi. Ini tentunya jadi berat untuk Kemkominfo dengan kompleksitasnya yang tidak mungkin di-handle sendiri. Sehingga desk ini akan mengkoordinasikan ketika ada persoalan-persoalan yang sifatnya lintas sektoral yang berhubungan dengan cyber space.
Jika menjadi sebuah badan, akan dinamakan apa desk ini?
Sejauh ini belum ada nomenklaturnya mengenai ketahanan informasi. Tetapi kami sedang mendorong kearah sana. Disini kami masih desk yang sifat koordinator. Jadi kalau dari segi pertahanan adalah tugasnya Kemhan, segi pornografi adalah Kemkominfo, kriminal bagiannya Polri dan lain sebagainya. Sementara tugas desk adalah memonitor itu semua bukan eksekusi. Gambaran besarnya nanti desk akan menjadi suatu helicopter view yang tahu pola serangannya seperti apa, dengan catatan sensor-sensor itu dipasang dengan berdasarkan pengertian dan komunikasi yang baik tentunya.
Bagaimana kesiapannya untuk melangkah menjadi suatu badan nantinya?
Kebetulan Menko Polhukam sekarang yakni Pak Tedjo Edhy Purdijatno telah berkomitmen untuk mewujudkannya menjadi badan. Sebab bila hanya desk tidak cukup, mengingat ini sifatnya urgent. Kemarin, bertepatan Hari Pahlawan hal ini sudah dibawa ke Komisi I DPR yang membidangi komunikasi, informasi dan intelegen. Ternyata pimpinan komisi, Pak Mahfud Shidiq dan salah satu wakilnya yakni Pak Tantowi Yahya sangat konsen dengan masalah ini. Kebetulan yang mensounding ini ke mereka adalah Pak Setyanto P. Santosa, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), yang juga merupakan Ketua Forum Komunitas di desk ini.
Selain itu, beberapa waktu lalu kami juga berkunjung ke Korea bertemu dengan Korea Internet Security Agency (KISA) untuk melakukan kerjasama dan mengetahui pengalaman mereka dalam mengatasi problema cyber security.
Seperti apa teknologi yang akan diadopsi nantinya?
Di teknologi kelihatannya bisa jumping menggunakan teknologi terbaru. Teknologi itukan terus berubah, bisa jadi kalau ini sesuatu yang bagus tentu sudah menggunakan teknologi yang paling canggih tidak perlu mulai dari nol untuk mengetahui penanganan cyber. Seperti misalnya, pengguna baru Blackberry (BB) tidak perlu membeli BB yang versi pertama untuk bisa mengunakannya tetapi bisa melakukan loncatan yang terbaru.
Terbukti waktu kami ke KISA mereka berbicara seputar Super Komputer tetapi mereka sendiri belum menggunakannya. Kita harusnya juga jumping ke super computer karena negara kita kan memiliki jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa. Jadi pengolahan datanya atau big data-nya akan menjadi luar biasa dalam menjaga keamanan nasional.
Bila sudah terbentuk badan, tentunya diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang tidak sedikit jumlahnya. Bagaimana kesiapan dari SDM sendiri?
Bila berbicara SDM tentunya sudah siap tetapi kedepannya memang harus dipertajam lagi. Sebelumnya sudah terbentuk kerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) mengenai SDM. Tapi ini bukan berarti universitas unggulan lainnya tidak akan bekerjasama, kebetulan yang memiliki inisiatif dan proaktif adalah ITB.
Apa harapan Anda kedepannya bersama tim Desk Ketahanan dan Keamanan Informasi Cyber Nasional?
Tentu harapannya desk ini segera bisa menjadi sebuah badan. Semangatnya, sejarah telah membuktikan badan-badan yang ada saat ini awalnya merupakan sebuah desk. Sebut saja, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dulunya merupakan desk anti teror dan itu juga dari Menko Polhukam. Lalu desk keamanan laut menjadi Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang akan berganti menjadi Badan Keamanan Laut (Bakamla). Jadi kedepan, kami berharap Indonesia telah benar-benar siap menghadapi permasalahan cyber space. •ANDRI