BERTEPATAN dengan perayaan Hari Kartini, Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jakarta, Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), dan Institut Francais Indonesia (IFI) menggelar diskusi bertema “Kondisi Perempuan di Industri Media”
AJI menilai, ada dua hal yang patut menjadi perhatian pada peringatan Hari Kartini tahun ini. Pertama, perihal pemberitaan terhadap perempuan yang dinilai masih melenceng dari kode etik dan diskriminatif. Kedua, soal pemenuhan hak-hak pekerja perempuan di media yang masih jauh dari ideal.
“Hari Kartini, 21 April menjadi momen untuk melihat nasib jurnalis perempuan di industri media,” kata Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim di Jakarta (21/4).
Menurut penelitian yang dilakukan AJI pada 2011, dengan 135 responden jurnalis perempuan disimpulkan bahwa sebanyak 6,59 persen jurnalis mengalami diskriminasi dan 14,81 persen mengalami pelecehan ketika bertugas.
“Tak jarang narasumber mengajak berkencan jurnalis perempuan. Hanya 6 persen jurnalis perempuan yang menduduki posisi sebagai redaktur atau pengambil keputusan di redaksi. Akibatnya, pengambilan kebijakan di redaksi didominasi jurnalis laki-laki,” katanya.
Penelitian tersebut juga menunjukkan jurnalis perempuan belum banyak yang mengambil jatah untuk cuti haid karena kurang populernya hak cuti haid ini. Para perempuan jurnalis yang sedang menyusui juga belum diberikan waktu khusus untuk menyusui. Masalah lainnya, 51,8 persen jurnalis perempuan belum mendapatkan fasilitas peliputan di malam hari. Padahal dengan kemajuan teknologi, jurnalis perempuan dapat menggunakan teknologi sebagai dukungan dalam bekerja. Jurnalis dapat bekerja secara remote.
Selain pekerja media, diskriminasi terhadap perempuan dalam pemberitaan juga sering terjadi. Sejumlah media dianggap masih kurang memiliki perspektif perempuan atau korban ketika memberitakan kasus kekerasan, pembunuhan, dan pemerkosaan yang menimpa perempuan.
“Media berkali-kali mengeksploitasi hal-hal terkait dengan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. Media menayangkan foto korban dan menyebutkan identitas lengkap korban perempuan,” katanya.
Padahal, kata dia, pada Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menyatakan bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Pada Pasal 8, wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Sementara pada Pasal 4, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Diskusi “Kondisi Perempuan di Industri Media” ini menghadirkan beberapa narasumber perempuan, diantaranya Enny Nuraeni (Mantan Kepala Editor Foto Reuters Indonesia) yang membahas tema “Fotografer Perempuan: Potret Kebijakan di Media Internasional”, Lasti Kurnia (Fotografer Kompas) yang membahas “Hak-Hak Pekerja Perempuan di Media Nasional dan Jenjang Karir”, juga Masruchah (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan) yang mengulas persoalan “Regulasi yang Diskriminatif Terhadap Perempuan”, Luviana (AJI Jakarta) mengetengahkan tema “Nasib Jurnalis Perempuan di Tengah Konglomerasi Media” serta Listyowati (Tim Beijing/CEDAW Working Group Indonesia) dengan tema bahasan “Perempuan Memandang Media”.
Pada kesempatan ini juga diputar film “The Beaches of Agnes”, sebuah film dokumenter oleh dan tentang Agnès Varda, salah satu director era French New Wave (Nouvelle Vague) yang masih hidup. Dokumenter mengisahkan perjalanan spiritualnya berkarya sebagai sutradara.
Banyak penggalan cerita menarik, mulai dari tema perempuan yang setia dibawa Agnès ke dalam film-filmnya sejak dulu, hingga eksplorasi gaya visualnya yang unik dan kecintaannya pada fotografi. •YULIA CH