Jakarta, Biskom -Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) BPPT, Hammam Riza, tinjau kesiapan teknologi untuk pengolahan emas non merkuri. Dikatakan olehnya, BPPT berupaya keras mengkaji terap teknologi yang handal, sesuai instruksi Presiden RI Joko Widodo tentang penghentian penggunaan merkuri dalam kegiatan penambangan emas rakyat.
Purwarupa reaktor teknologi pengolahan emas tanpa merkuri untuk penambang emas skala kecil (PESK) ini, mampu menghasilkan emas lebih baik tanpa merusak lingkungan.
“Kami tengah terapkan desain untuk pilot plant pengolahan emas bebas merkuri, yang ada di Wilayah Pertambangan Rakyat Kulon Progo, Yogyakarta. Pengolahan ini akan menjadi contoh untuk diterapkan secara nasional, agar tidak ada lagi pengolahan emas yang menggunakan merkuri,” ungkapnya di Desa Kalirejo, Kulon Progo, Yogyakarta, Selasa (18/12).
Metode penambangan emas tanpa merkuri menurutnya , harus dilakukan karena merkuri sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Hal inipun sejalan dengan pertemuan Second Meeting of the Conference of the Parties (COP) to the Minamata Convention on Mercury, di Jenewa, Swiss, pada tanggal 19 – 23 November 2018, yang ditujukan untuk mengimplementasikan Konvensi Minamata yang saat ini memasuki tahun ke-2 legitimasi penghapusan merkuri oleh 101 negara.
“Kita dalam hal ini Indonesia diminta untuk menghilangkan produk, memproteksi lingkungan dan perbaikan daerah yang telah terkontaminasi merkuri. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita, BPPT siap mendukung dari aspek teknologi untuk mengurangi penggunaan merkuri,” ujarnya.
Diutarakan lebih lanjut olehnya bahwa dengan teknologi BPPT ini, terbukti tanpa merkuri, emas dapat di proses dengan lebih optimal. Jadi, para penambang nantinya tidak boleh menggunakan merkuri, karena sangat berbahaya.
“Kami rekomendasikan menggunakan proses leaching dengan sianida untuk mengolah emas di pertambangan rakyat. Dengan desain dan teknologi BPPT, maka emas yang diolah hasilnya dapat lebih optimal. Serta tidak berbahaya, baik bagi tubuh, maupun lingkungan. Semoga teknologi ini dapat diterapkan lebih masif, dengan dukungan dari pemangku kepentingan terkait,” tuturnya.
Deputi Hammam lalu berharap dengan adanya fasilitas pengolahan emas non merkuri ini, para penambang rakyat dapat meninggalkan kebiasaan menggunakan metode pengolahan emas dengan merkuri. Diakui olehnya bahwa BPPT saat ini juga tengah berfokus pada upaya teknologi untuk mengatasi pencemaran lingkungan, emisi dan low carbon development, yang juga sebagai tujuan tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau sustainable development goal (SDG), khususnya pada SDG-13 perubahan iklim.
“Ayo Indonesia tinggalkan penggunaan merkuri. Jadikan merkuri sebagai sejarah lalu,” tegasnya.
Senada dengan Deputi TPSA, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kulon Progo, Arief Prastowo menyatakan pihaknya berkomitmen untuk menerapkan teknologi BPPT ini di wilayah pertambangan rakyat Desa Kalirejo.
“Dengan teknologi pengolahan emas non merkuri ini, warga Desa Kalirejo tentu akan dapat melakukan penambangan secara legal,” timpalnya.
Pada kesempatan yang sama Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Mineral BPPT, Dadan Nurjaman mengatakan bahwa secara global dinyatakan tambang emas menggunakan merkuri di Indonesia sudah melebihi ambang batas. Bahkan menjadi perhatian dunia.
“Status Indonesia adalah more insignificant. Sebanyak 195 ton merkuri dilepas ke lingkungan akibat pertambangan emas rakyat ini,” paparnya.
Untuk itu imbuhnya, BPPT telah merancang metode kimiawi sianidasi. Yakni dengan melarutkan lumpur yang mengandung emas menggunakan larutan sianida, kemudian menambahkan karbon aktif untuk menyerap emasnya.
“Sehingga tidak lagi memerlukan merkuri yang sulit didegradasi. Dalam hal ini senyawa racun sianida diubah secara kimiawi menjadi zat kimia lain yang tingkat racunnya lebih kecil dan bisa dinetralisir,” terangnya.
Dadan juga menambahkan bahwa selain berfungsi mengolah lumpur atau batuan yang mengandung emas menjadi emas bullion yang siap dijual ke penampung, reaktor pengolah emas non-merkuri tersebut juga sekaligus bisa memproses limbahnya.
Hasil penggunaan metode sianidasi imbuhnya, lebih menguntungkan, karena bisa mengolah 10 Gram bijih emas menjadi 9 Gram emas bullion.
“Sementara dengan merkuri, 10 Gram bijih emas hanya bisa menghasilkan 3 Gram atau 30 persen bullion. Jelas kan teknologi ini lebih optimal, bahkan jauh lebih aman,” katanya.
Sebagai informasi akhir tahun 2017 lalu, Presiden Jokowi telah menandatangani Undang-Undang Nomor 11 tahun 2017 Tentang pengesahan Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata Mengenai Merkuri). Untuk itu terbangunnya fasilitas pengolahan emas non merkuri ini, merupakan tindak lanjut konvensi tersebut, pun sebagai upaya agar penambang rakyat dapat terbiasa menggunakan metode pengolahan emas bebas merkuri. (Red)