Mantan Hakim Agung Dr. HP. Panggabean, SH, MH sedang mengucapkan sumpah sumpah sebelum memberikan keterangan sebagai ahli dipersidangan PTUN Jakarta.

Jakarta, BISKOM – Sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Senin,  4 Maret 2019 menghadirkan dua orang Ahli dari Penggugat, yakni Dr. HP Panggabean, SH, MH (mantan hakim agung) dan akademisi Hukum Administrasi Negara Prof. Dr. I Gde Patja Astawa, S.H.M.H.,.

Menurut kedua ahli tersebut pada prinsipnya Ahli menyatakan bahwa proses seleksi CHA yang dilakukan oleh KY pasca putusan MK No. 53/2016 tidak sesuai dengan kebutuhan MA, oleh karenanya KTUN administrasi dan KTUN kualitas cacat hukum.

Menurut mantan hakim agung Dr. Hp. Panggabean, sesuai penelitian disertasinya menyangkut peranan hakim agung karier di MA, alasan MA membutuhkan hakim karier, karena hakim jalur karier itu sangat profesional dalam hal membuat putusan. Untuk diketahui Tergugat, MA tetap membutuhkan non karier, tetapi harus, sekali lagi saya katakan keahliannya harus dibutuhkan oleh MA selaku pengguna. Jika keahlian non karier yang tidak dibutuhkan MA, akan menjadi beban kepada MA, karena mereka masih harus belajar untuk menyesuaikan diri bagaimana membuat putusan yang berkualitas.

Ditambahkan ahli Dr. HP. Panggabean yang sudah banyak membuat berbagai buku karyanya sebagai pedoman kepada aparat penegak hukum, putusan hakim MK itu bersifat konstitusional, yuridis normatif dan sosiologis. Jadi apapun isi putusan dan pertimbangan hukum MK, karena bersifat final and binding dan setara dengan UU, maka KY harus mengikuti putusan MK tersebut.

Kuasa hukum Dr. Irman Putrasidin dan rekan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

Jika KY selaku Tergugat tidak melaksanakan perintah putusan MK yang diejawantahkan dengan permintaan kebutuhan hakim agung yang diminta oleh MA selaku pengguna, maka KY telah melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang harus dibatalkan oleh PTUN Jakarta.

Ketika Tergugat mempersoalkan legal standing (kedudukan hukum) menggugat KY yang seharusnya dilakukan oleh MA, secara spontan mantan hakim agung ini balik bertanya apakah saudara tau ketentuan UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Pasal 1 angka 9 jo Passl 53 ayat UU No. 9/2004 tentang PTUN mengatakan: jika keputusan pejabat TUN seperti Keputusan KY) ini menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum, karena pengusulan CHA non karier dapat digolongkan sebagai putusan pejabat TUN yang menimbulkan akibat dihilangkannya kebutuhan CHA dari jalur karier.

Jadi penggugat ini secara pribadi sangat tepat menggugat proses sekeksi CHA yang sangat merugikan dirinya selaku hakim karier, sekaligus membela memperjuangkan nasib koleganya hakim karier, tegasnya menjawab pertanyaan Tergugat ini.

Oleh karena itulah menurut Ahli Tata Negara Prof. Pantja Astawa yang diamini oleh ahli Dr. HP. Panggabean meminta supaya CHA yang dikirimkan KY kepada DPR tertanggal 10 Januari 2019 haruslah dilakukan penundaan proses seleksi di DPR, mengingat bilamana tahapan awal bertentangan secara hukum, maka secara otomatis CHA yang telah di usulkan KY selaku Tergugat kepada DPR menjadi tidak sah secara hukum dan harus dibatalkan PTUN, namun menurut mantan hakim agung Dr. Hp. Panggabean ini semuanya terpulang kepada keputusan Majelis hakim TUN.

Ketika kuasa hukum Penggugat Melky Sidhek mempertanyakan “asas bahwa hakim dilarang mengadili perkara yang diajukan atau berkaitan dengan dirinya sendiri (nemo judex in causa sua), Prof. Pantja berpendapat, siapapun dia, termasuk hakim berhak untuk menggugat dan membawanya ke pengadilan, dalam kasus ini pula jelas ini merupakan kewenangan absolut dari PTUN. Mau tidak mau majelis TUN tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya. Kalau bukan dibawa ke PTUN lalu di bawa kemana?. Jadi komentar diluar itu tak usah ditanggapi, karena dia kurang paham hukum, tandasnya mengingatkan.

Majelis Hakim mendengarkan keterangan ahli Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH, MH dipersidangan PTUN Jakarta.

Penggugat Hakim Tinggi Bangka Belitung Dr. Binsar M. Gultom yang dikuasakan kepada ahli tata negara Dr. Irman Putrasidin yang didampingi oleh anggotanya Melky Sidhek, Alungsyah dan Kurniawan mempertanyakan kepada Guru Besar UNPAD Bandung ini, terkait dengan Putusan MK yang memiliki kedudukan setara dengan UU. Menurut ahli Prof. Pantja, Putusan MK juga tidak bisa dilihat secara parsial, yang  memaknainya secara sepengal-sepenggal. Antara pertimbangan hukum (ratio decidendi) dan amar putusan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karenanya haruslah ditaati dan dilaksanakan oleh KY selaku Tergugat.

Hal ini juga sekaligus membantah dan meluruskan pemahaman Tergugat (KY) yang keliru selama ini, karena menurut pemahaman KY antara pertimbangan hukum dan amar putusan MK berdiri sendiri, ini kan namanya penafsiran yang salah. Jadi apapun alasan Tergugat meloloskan CHA yang tidak dibutuhkan MA adalah keliru besar dan salah secara hukum.

Ibarat MA meminta kursi kepada KY, tetapi KY mengirimkan meja kepada MA, ya jelas ditolak MA. Dan pengiriman CHA yang tidak dibutuhkan MA alias cacat hukum ini harus menjadi dasar bagi DPR untuk menolak atau menerima usulan CHA dari KY ini, karena hal ini juga diatur secara tegas di halaman 88 pertimbangan putusan MK No. 53/2016 tersebut, ucapnya tegas.

Ditambahkan Prof. Pantja, jika KTUN tahap administrasi dan KTUN tahap Kualitas di awal telah bertentangan dan tidak sesuai dengan  kebutuhan MA dan Putusan MK, maka patutlah kiranya DPR  membatalkan CHA yang di usulkan oleh KY tersebut;

Diakhir penundaan sidang ini, Ketua majelis yang dipimpin oleh Nelvy Christine, SH, MH meminta tambahan bukti surat Pengiriman 4 CHA kepada DPR yang tidak bersifat Pengumuman resmi seperti pengumuman seleksi tahap administrasi, tahap II kualitas, tahap III kesehatan dan kepribadian. Sidang berikutnya diagendakan Selasa 12/3/2019 pukul 10.00 mendengarkan 3 orang saksi fakta dari Komisi Yudisial. (Redaksi)