Prof. Philipus Harjon sedang dicecar pertanyaan dari Penggugat, didepan majelis hakim PTUN Jakarta.

Jakarta, BISKOM – Sidang lanjutan gugatan Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Babel, Dr. Binsar Gultom, di PTUN  Jakarta melawan Komisi Yudisial selaku Tergugat yang digelar hari Senin 18 Maret 2019, dengan Kuasa Hukum ahli Tata Negara Dr. Irmanputra Sidin, S.H., M.H. dkk menghadirkan 2 orang ahli, yakni mantan Ketua MK Hamdan Zoelva dan Prof. Philipus Hardjon.

Menurut Ahli dari KY Prof. Philipus Hadjon (ahli administrasi), apa yang menjadi objek gugatan dari Penggugat bukanlah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), karena sifatnya hanya berbentuk pengumuman (pemberitahhuan) semata. Ketika ditanya oleh Kuasa Hukum Penggugat, tapi Pengumuman itu telah dinyatakan Tergugat bersifat final dan tidak boleh diganggu-gugat dan berdampak  telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat (perorangan) termasuk para hakim karier  dibawah naungan MA sesuai menurut Pasal 1 angka 9 jo pasal 53 UU No.9/2004 tentang  PTUN merupakan obyek TUN, namun ahli tetap berkeras mengatakan yang menjadi objek KTUN dari Penggugat, ialah pemberhentian pegawai yang dilakukan oleh Ketua KY.

Ketika ditanya kuasa hukum Penggugat bagaimana dengan ketentuan Pasal 87  UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan? Ahli enggan menjawab dan justru ia tidak setuju akan keberadaan UU Administrasi Pemerintahan itu. Ketika ditanya apakah dimengerti putusan MK No. 53/2016 dalam kaitannnya dengan obyek gugatan Penggugat, prof. Hardjon menjawab tidak tahu, sehingga Penggugat tidak merasa perlu lagi lebih banyak bertanya kepada ahli yang tidak mengerti obyek gugatan aquo.

Berbeda lagi menurut ahli Hamdan Zoelva selaku mantan ketua Mahkamah Konstitusi mestinya bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat, khususnya kepada KY, justeru Hamdan  berpendapat keterkaitan antara pertimbangan hukum (ratio recidendi) dan amar putusan MK No. 53/2016 membingungkan. Menurut Hamdan antara amar dan pertimbangan hukum itu berbeda, tidak merupakan kesatuan yang mengikat. Pertimbangan itu tidak wajib dilaksanakan, apalagi pasal pokok yang di uji telah ditolak.

Hamdan Zoelva selaku ahli dari Tergugat pada sidang lanjutan gugatan Hakim Dr. Binsar M. Gultom di PTUN.

Jadi, inti dari putusan itu amarnya lah yang mengikat bukan pertimbangan hukum dan itulah hukum, kata Hamdan. Ketika ditanya oleh Penggugat sejauhmana kekuatan mengikat putusan MK, dijawab Hamdan sama dengan UU mengikat harus dilaksanakan KY. Tapi putusan MK no. 53 tersebut dalam pertimbangannya sudah meminta supaya KY mempedomani Kebutuhan hakim agung dari MA sebagai pengguna, karena menurut amar putusan MK tersebut mengatakan: “CHA dari non karier itu harus mempunyai keahlian khusus dibidang hukum tertentu, dan keahlian itu dibutuhkan oleh MA, namun KY tetap saja nekat meloloskan CHA dari non karier yang tidak dibutuhkan oleh MA kecuali untuk kamar TUN, ibarat MA selaku user meminta kursi ke KY, lalu KY memberi Meja kepada MA, itu diperbolehkan? Ahli menjawab yah boleh.

Secara sontak Penggugat dan pengunjung sidang heran dan bingung  kepada bekas ketua MK tersebut. Menurut Hamdan karena menurut UU KY diberikan kewenangan mengusulkan CHA secara mandiri. Penggugat prinsipal akhirnya menandaskan kepada bekas ketua MK tersebut, tapi dengan berlakunya Putusan MK tersebut, sesuai pendapat ahli Penggugat Dr. Margarito Kemis, Prof. Pantja Astawa dan mantan hakim agung Dr. Hp. Panggabean,  maka kewenangan KY menerima CHA dari non karier menjadi terbatas sepanjang mempunyai keahlian khusus dan dibituhkan oleh MA, lalu dijawab oleh Hamdan, kembali ini merupakan jawaban ulangan katanya, tanpa merinci kembali jawabannya yang sudah terdesak tersebut.

Sidang diakhiri dan akan dilanjukan pada Selasa mendatang tanggal, 26 Maret 2019 pukul 10.00 wib dengan agenda masih mendengarkan keterangan Ahli dari Tergugat KY. (Hoky)