Jakarta, Biskom –  Kongres Teknologi Nasional (KTN) ke-4 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) , fokuskan 4  bidang  yaitu kebencanaan, transportasi perkeretaapian, Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik atau SPBE, dan kewirausahaan bidang teknologi (technopreneur).

“Hasil KTN tahun ini diarahkan sebagai bahan masukan kebijakan teknologi kepada pemerintah dalam penyusunan rancangan teknokratis Rencana Pembangunan Jangka Menengah ke-4,” ujar Kepala BPPT Hammam Riza dalam pembukaan KTN 2019 di Jakarta, Rabu (20/3).Hadir dalam kesempatan  tersebut Menteri PAN RB Syafruddin dan  Menteri Pariwisata Arief Yahya.

Lebih lanjut Hammam membandingkan Indonesia dengan Korea Selatan dan Tiongkok yang awal 1960an ketiganya memiliki kondisi perekonomian yang hampir sama. “GDP  perkapita Korsel sejak 1973 mulai meninggalkan GDP perkapita Indonesia dan Tiongkok, dan terus melesat sehingga menembus 12.000 dolar pada 1995 atau kategori negara maju,” ujarnya.

Selanjutnya pada 1978,  GDP perkapita Indonesia selalu sedikit lebih tinggi dibandingkan GDP perkapita Tiongkok. “Namun sejak krisis ekonomi 1998, GDP perkapita Indonesia turun drastis di bawah GDP perkapita Tiongkok, bahkan menjadi tertinggal jauh,” ungkapnya.

Saat ini, GDP perkapita Tiongkok tercatat mencapai lebih dari US$8.000. “Sementara Indonesia masih stagnan pada level di bawah 4.000 dolar sejak tahun 2010,” ujar Hammam.

Hammam mengungkapkan salah satu kunci keberhasilan Korsel dan Tiongkok dengan membangun kemampuan industri manufakturnya melalui technological learning (belajar dari pihak luar) dan technological development (mengembangkan indigenous technology).

“Saat GDP per capita Indonesia mulai berada di atas Tiongkok pada 1978, karena didorong program transformasi industri yang diinisiasi BJ Habibie. Namun program-program industri strategis dihentikan oleh IMF sejak 1998,” tukasnya.

Kendati demikian, Hammam menegaskan BPPT akan terus meningkatkan peran inovasi teknologi sehingga mampu mendongkrak peningkatan perekonomian Indonesia secara signifikan. Salah satu indikatornya, yaitu pertumbuhan TFP (Total Factor Productivity)

Tercatat inovasi dan layanan teknologi BPPT memiliki nilai TFP rentang 2015-2017 sebesar 2,53 persen, atau lebih tinggi dari nilai rata-rata pertumbuhan TFP nasional sebesar 0,9%.

Berdasarkan skenario pertumbuhan potensial pada 2020 -2024, rata-rata pertumbuhan TFP nasional pada akhir tahun 2024 ditargetkan mencapai 1,5% dari pertumbuhan ekonomi nasional. “Target BPPT rata-rata pertumbuhan TFP BPPT pada 2024 harus mampu capai nilai sebesar 4,21 persen,” tegas Hammam.

Hilirisasi Produk Nasional

BPPT juga akan menghilirasikan semua produk-produk nasional yang sudah menjadi prioritas nasional yang ditetapkan oleh Kementerian Ristekdikti

Disebutkan, dalam koordinasi dengan LPNK, Menristekdikti sudah menyampaikan bahwa kita harus bisa menghasilkan 40 produk nasional. Karenanya, BPPT harus mengkontribusikan, flakshipnya (program unggulannya) ke dalam pencapaian produk-produk tersebut.

Menurutnya, BPPT ingin mengedepankan 8 flakship plus satu layanan teknologi. Bidang-bidangnya itu antara lain mulai dari bidang pangan, kesehatan, energi, TIK, teknopreneur, dan transportasi. “Ini semua akan kita koordinasikan, dengan LPNK, dikolaborasikan dan diharmonisasikan,” terangnya.

Karenanya dalam program BPPT 2020-2024, pihaknya akan mengejar jumlah doktor di BPPT menjadi 15 persen dari jumlah sebelumnya yang hanya 5 persen saja. Langkah-langkah untuk mengejar jumlah doktor tersebut, BPPT akan menyiapkan beasiswa.

Dia menambahkan, SDM milineal BPPT harus punya kompetensi, sehingga lembaga kaji terap ini harus dijaga eksistensinya, kemudian flakship programnya itu harus dicapai dengan cepat. “Kita menginginkan, kalau kita menghasilkan sebuah produk inovasi, kita tidak menunggu lima tahun, dalam waktu dua tahun itu sudah bisa tercapai supaya daya ungkit ekonomi,” katanya. (red/ju)