Jakarta, Biskom- Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama PT Samudera Luas Paramacitra. sukses membangun rubber air bag yang digunakan pada industri perkapalan. Perangkat itu digunakan galangan kapal ungtuk membantu proses menaikan dan menurunkan kapal di galangan.
Dengan menggunakan rubber air bag, maka dapat dilakukan penghematan waktu dan biaya. Selain itu produk rubber air bag setelah penggunaan dapat dikempiskan dan dilipat, sehingga memudahkan untuk proses pemindahan dari satu galangan ke galangan kapal lainnya.
“Sampai saat ini produk rubber air bag masih 100% diimpor dari berbagai negara. Padahal industri galangan kapal nasional sedang mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, yakni produksi kapal naik 28,33% dan industri galangan kapal dibidik tumbuh 10%,” kata Direktur Inovasi Industri, Kementerian Riset dan Teknologi Tinggi (Kemenristekdikti) Santosa Yudo Warsono saat prosesi peluncuran pengiriman pertama rubber airbag oleh PT Samudera Luas Paramacitra di Cirebon, Jawa Barat, Senin (8/4).
Rubber airbag merupakan salah satu produk inovasi Pusat Teknologi Material BPPT yang berhasil dihilirisasi dan diproduksi secara komersial oleh mitra industrinya. Pengiriman perdana ini sebanyak 10 buah rubber air bag dengan diameter 2 meter dan panjang 14 meter.
Produk rubber airbag merupakan salah satu dukungan BPPT pada program nasional, khususnya hilirisasi karet alam serta mendukung pembangunan nasional bidang kemaritiman pada program poros maritim dan tol laut. Terutama industri prasarana perkapalan.
Kegiatan ini merupakan bentuk pemanfaatan bahan baku lokal, yakni karet alam. Keberhasilan ini juga tercatat sebagai lini produksi produk rubber airbag pertama di Indonesia hasil sinergi inovasi antara perekayasa dengan industri.
Kebutuhan terhadap rubber airbag mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga diperlukan pemenuhan kebutuhan nasional dengan pengembangan produk untuk meningkatkan TKDN komoditi karet dalam negeri. “Adanya industri dalam negeri ini mampu menghasilkan produk yang berkualitas dan 10-15% lebih murah dari produk impor. Tak kalah penting adanya dukungan aftersales, garansi serta desain yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan user,” kata Direktur Industri Kimia, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Taufiek Bawazier.
Dia memuji kerja sana BPPT dengan PT Samudera Luas Paramacitra sehingga berhasil merekayasa teknologi material, melalui pengembangan teknologi pembuatan rubber airbag dengan memanfaatkan komoditi karet alam dalam negeri. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana agar produk hasil karya dalam negeri ini dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kebutuhan maritim di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Maret 2013), Indonesia memiliki kurang lebih 12.407 kapal. Kapal-kapal itu pada saatnya harus direparasi di 240 galangan kapal yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain proses reparasi tentunya juga dibutuhkan pembangunan kapal-kapal baru untuk mendukung program nasional, yakni poros maritim dan tol laut. “Apa yang dilakukan patut jadi model percontohan, sudah saatnya periset memulai penelitiannya dari industri, membuat apa yang dibutuhkan pelaku usaha,” sarannya.
Selain itu, pihaknya bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional dan Kemenristekdikti, telah berhasil menyusun SNI untuk produk rubber ;mairbag. Produk itu mengantongi sertifikasi SNI. 8549:2018 ISO 14409:2011: Bantalan Udara Peluncur Kapal.
BPPT sangat mendorong agar produk ini dapat digunakan oleh industri perkapalan baik pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, BPPT berharap ke depan dapat terbangun sinergi dari seluruh stakeholder agar kepercayaan untuk menggunakan produk rubber airbag dalam negeri ini semakin meningkat.
Sementara itu, Santosa menegaskan, keberhasilan hari ini membutuhkan komitmen dari pengusaha. “Butuh kemauan keras dari pengusaha sebagai investor untuk menjadikan produk laboratorium menjadi produk komersial. Jika ada yang investor yang berminat, caranya mudah, tinggal hubungi kami di Kemenristekdikti atau BPPT. Namun yang sulit adalah ketika bicara komitmen, karena hal ini membutuhkan biaya investasi yang tidak sedikit,” beber Santosa.
Hal ini dibenarkan oleh Kepala BPPT Hammam Riza. “Keberhasilan ini membutuhkan proses yang lama. PT Samudera Luas Paramacitra adalah perusahaan yang mau berdarah-darah membangun teknologi ini. Mereka mau berinvestasi, jadi tidak muncul dalam sekejap,” sebut Hammam.
Dia menegaskan, sebelumnya teknologi yang sama pernah digarap oleh pengusaha Jakarta dan Bandung. “Tetapi hasilnya tidak sesuai yang diinginkan, kami akhirnya gagal,” imbuhnya.
Direktur Utama PT Samudera Luas Paramacitra, Martinus Limansubroto, membenarkan itu semua. “Sudah sejak lama kami memikirkan bagaimana membangun produk ini. Lalu kami mendatangi BPPT dan membuat komitmen melalui investasi,” ungkapnya.
Produk dibangun sejak April 2017. Kemudian bulan Juli dibangun purwarupanya, di bulan Desember sudah masuk line produksi. “Untuk uji cobanya dilakukan bulan Mei dan Oktober. Dan bulan ini kami melakukan pengiriman perdana ke pemesan. Kami ingin mengurangi ketergantungan industri terhadap produk China,” katanya. (red/ju)