Jakarta, Biskom – Sebagian besar masyarakat masih menggunakan kartu kredit dan kartu debit ketimbang pemakaian payment gateway atau dompet digital untuk transaksi keuangan. Karena, transaksi ini dinilai belum memberikan keuntungan, bahkan ini dianggap dapat merugikannya lantaran sejumlah persoalan yang dialaminya.
Tiga masalah yang dianggap menghambat perkembangan transaksi lewat payment gateway yakni perilaku masyarakat, keamanan transaksi, dan infrastruktur telekomunikasi. Dari hal-hal ini tidak ada yang mendominasi kejadiannya.
Dari segi perilaku masyarakat diketahui mayoritas mereka belum biasa menggunakan pembayaran nontunai dengan cara mengisi ulang dari bank. Apalagi, sebagian besar mereka belum memunyai simpanan di bank. “Kita akan berusaha bagaimana top up dapat dilakukan secara gampang di mana saja,” kata Johnny Widodo, Direktur Ovo.
Dari data yang diperolehnya diketahui perputaran uang M1 (beredar secara umum) sebesar Rp5.700 triliun pada 2018. Dari angka itu sebesar 10% digunakan untuk pembayaran nontunai.
Transaksi digital payment hanya meraih sekitar 1% dari nilai tersebut yang diperkirakan dilakukan sebagian besar kalangan milenial. “Mereka ingin melakukan transaksi secara mudah dengan ponsel cerdasnya,” ujarnya.
Masalah keamanan keuangan yang muncul yakni bagaimana setiap transaksi tidak mengalami gangguan seperti saldo terpotong, padahal transaksinya belum terjadi sama sekali. Selain itu bagaimana penanganan saldo hilang atau tercuri tanpa penyebab secara pasti dan bagaimanan jika ponsel cerdas hilang atau nama pengguna dan kunci rahasia tercuri oleh pihak lain.
Pemain dompet digital berjanji akan mengatasi persoalan tersebut. Malahan, kejadian ini diusulkan penberian perlindungan oleh keberadaan sebuah lembaga sejenis penjamin simpanan (LPS).
Namun, kebijakan ini memerlukan kesepakatan pendapat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal yang dimaksud bahwa saldo yang tersimpan dalam dompet digital ini juga tergolong sebagai simpanan sama dengan di lembaga keuangan bank.
Ketersediaan nfrastruktur telekomunikasi juga sebagai persoalan transaksi ini akibat tidak semua warung telah mengimplementasikannya. Padahal, sebagian besar nilai ransaksi ini tidak besar lantaran produk-produk sehari-hari.
Begitupula keberadaan sinyal telekomunikasi belum merata di Tanah Air akibat keterbatasan anggaran operator untuk membangunnya. Pembangunan Palapa Ring diharapkan bisa mengatasi persolana tersebut, tapi itu juga dilakukan pemerintah secara bertahap. “Kita berharap pemerintah bisa mempercepat ini,” jelasnya.
Tidak Khawatir
Menyinggung kehadiran pemain dompet digital yang dipunyai pemerintah diperkirakan tidak akan mengurani atau merebut pasar yang sudah diperoleh pemain swasta. Karena, pasar ini dianggap masih sangat besar.
Bahkan, semakin banyak pemain dompet digital bisa memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa penggunaan ini memberikan manfaat baginya dan pemerintah. Langkah ini juga memberikan beragam pilihan bagi penggunanya.
Johnny mengemukakan jumlah pemain dompet digital yang sedikit dikhawatirkan tidak bisa melayani pasar yang masih sangat besar. Apalagi, bentuk ini masih baru di Indonesia. “Remember 1% against 99%, the market is so hughes,” tandasnya.
Strategi bisnis saling pemberian diskon bagi suatu transaksi masih dilakukan pemain dompet digital guna memancing transaksi dilakukan konsumen baru. Untuk pengguna lama diharapkan meningkatkan transaksinya.
Cuma Mitra
Saat ini Ovo dikabarkan tidak hanya dipunyai oleh Grab dan Lippo Group saja, tapi Tokopedia telah nyemplung di dalamnya. Dari hal ini Ovo diperkirakan telah menjadi perusahaan rintisan yang tergolong unicorn atau valuasi sebesar Rp1 miliar.
Namun, Ovo tidak bersedia membenarkan kepemilikan tersebut. Lippo mengungkapkan keterlibatan Tokopedia dalam Ovo hanya sebatas kemitraan bisnis saja. “Saya tidak bisa comment terkait itu,” tukasnya.
Tokopedia telah menjalin hubungan dengan Ovo sejak akhir 2018. Langkah ini diduga akibat izin operasional dompet digitalnya yang bernama Tokocash yang diajukan kepada BI belum diperoleh hingga sekarang. (M.Ade)