Jakarta, Biskom- Baja merupakan salah satu dari sekian produk yang beredar di pasar yang seharusnya ber-SNI. Melalui penetapan SNI baja, diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri dan perlindungan konsumen. Unsur keselamatan dan keamanan menjadi faktor utama diberlakukannya SNI baja.

Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menetapkan 57 SNI terkait baja, 13 diantaranya merupakan SNI Wajib.

SNI Wajib baja, diantaranya SNI 7614:2010 untuk baja batangan untuk keperluan umum (BjKU); SNI 2052-2017 untuk baja tulangan beton; SNI 07-0065-2002 untuk baja tulangan beton hasil canai panas ulang; SNI 07-0601-2006 untuk baja lembaran, Pelat dan Gulungan Canai Panas (Bj.P); SNI 07-3567-2006 Baja lembaran dan gulungan canai dingin (Bj.D)dan SNI 07-2053-2006 Baja lembaran lapis seng (Bj.LS).

Penetapan SNI baja tersebut, didasarkan pada perkembangan iptek serta perlindungan konsumen dari beredarnya baja yang tidak aman. Dengan kata lain, penetapan SNI dilakukan secara konsensus bersama stakeholder terdiri dari instansi, pakar, industri, dan konsumen dengan memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, keselamatan, dan lingkungan.

Deputi Bidang Akreditasi BSN, Kukuh S. Achmad mengatakan, peran BSN dalam perlindungan konsumen, dilakukan melalui perumusan SNI.  “Kewenangan kami adalah memfasiltasi stakeholder dalam merumuskan SNI yang setelah ditetapkan SNI bersifat sukarela. Kemenperin bisa mengadopsi SNI menjadi aturan wajib jika melalui analisisnya SNI tersebut benar-benar menyangkut keselamatan konsumen,” ujarnya di gedung BSN, Jakarta, Jumat (3/5).

Pada lapis lain, Kukuh menyampaikan,  bahwa BSN akan mengabolisi SNI Wajib batangan untuk keperluan umum (BjKU). Perubahan tersebut harus seiring pencabutan Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 35/ 2014 tentang Pemberlakuan SNI Wajib Baja BjKU.

“Saat ini, terdapat dua SNI terkait baja yang dianggap sulit dalam pengawasan penggunaannya di lapangan, yakni SNI 7614:2010 Baja batangan untuk keperluan umum dan SNI 2052:2017 Baja tulangan beton. Oleh karenanya, BSN akan mengabolisi SNI 7614:2010 Baja batangan untuk keperluan umum,” ujarnya.

Kukuh menambahkan, “BSN hanya melakukan uji petik sample baja di lapangan yang dilakukan setahun sekali. Hasil uji petik diserahkan pada Kementerian terkait untuk ditindaklanjuti.”

Sementara itu, Basso D. Makahanap, Sandards & Certifications IISA mengatakan pihaknya mendukung industri-industri baja menerapkan SNI. Baginya, industri baja merupakan salah satu industri hulu dalam perekonomian yang merupakan “mother of industry” atau penopang industri lainnya untuk mendukung sektor konstruksi dan pembangunan infrastruktur di Indonesia.

“Penggunaan baja untuk konstruksi mencapai 78 persen dari seluruh konsumsi baja Indonesia. Bahkan, potensi kebutuhan baja nasional sangat besar sehingga perlu penguatan struktur industri baja dalam negeri melalui kebijakan dan regulasi investasi yang berpihak kepada industri baja local,” ujarnya.

Nilai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) baja nasional, lanjut Basso, rata-rata capai 25-50 persen, sehingga mampu dan siap mendukung sektor konstruksi di proyek infrastruktur nasional. Menurut Baso, pihaknya akan mengusulkan pada pemerintah tambahan SNI Wajib Baja. “ Diharapkan sekitar lima atau enam SNI Wajib baja bisa segera direalisasikan,” ujarnya.

Berdasarkan data IISIA, konsumsi baja nasional pada 2018 sebesar 14,7 juta ton, atau meningkat sekitar 8,29 persen dari tahun sebelumnya. Namun, kata Basso, pemanfaatan kapasitas industri baja rata-rata masih rendah atau dibawah 50 persen dari konsumsi nasional. Sebagian kebutuhan pasar dalam negeri melalui mekanisme impor.

“Salah satu upaya yang saat ini sedang berjalan untuk memenuhi kebutuhan baja domestik dan dapat mensubtitusi produk impor serta memperkuat daya saing industri baja nasional, yaitu pembangunan Klaster Baja 10 juta ton di Cilegon seperti yang dilakukan oleh PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dengan POSCO Korea,” ungkapnya.

Upaya lain, adalah  mendorong pemerintah merapkan SNI Wajib baja. “Penerapan SNI wajib untuk mensinergikan pengembangan industri baja hulu dan hilir di Indonesia agar pelaku industri baja domestik dapat menghasilkan produk baja yang berdaya saing dan sesuai standar sekaligus upaya untuk membendung impor,” ujarnya.

Konsumsi baja nasional setiap tahun tercatat terus mengalami peningkatan, sejalan volume impor baja dengan pangsa pasar mencapai 52 persen. Basso menilai, volume impor baja yang tinggi membuat industri baja nasional tidak mampu bersaing sehingga menyebabkan defisitnya neraca perdagangan RI. “Industri baja nasional perlu dilindungi dari ancaman produk impor, baik dengan melalui mekanisme tariff barrier maupun non-tariff barrier, seperti penerapan SNI Wajib,” ujarnya.

Saat ini, perusahan industri baja yang tergabung dalam IISIA berjumlah 193 perusahaan. Salah satu industri baja terbesar yang telah menerapkan SNI adalah PT Krakatau Steel (Persero) Tbk yang juga merupakan Badan Usaha Milik Negara. SNI wajib yang telah diterapkan di perusahaan plat merah ini antara lain SNI 07-0601-2006 Hot Rolled Coil (HRC), SNI 07-3567-2006 Cold Rolled Coil (CRC). Sedangkan SNI 07-0053-2006 Wire Rod bersifat sukarela.

Di tempat yang sama, Yerry Idroes, Executive Director IISIA mengatakan SNI Wajib akan menciptakan “playing field” yang sama juga membangun “fair trading” bagi semua pelaku bisnis industry karena acuan bisnisnya sama. Selain itu, untuk keamanan dan keselamatan konsumen termasuk teknologi dan proses pembuatan baja harus memenuhi aturan lingkungan hidup.

Yerry  berharap selain penerapan SNI Wajib, Pemerintah juga perlu pertimbangkan mendirikan “bank konstruksi” untuk membantu pendanaan proyek-proyek instansi pemerintah. (red/ju)