Dumai, Biskom – PT Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai berhasil memproduksi green diesel atau solar nabati D-10 dengan kandungan 87,5 persen solar minyak bumi dan 12,5 persen minyak sawit. Keberhasilan ini berkat Katalis Merah Putih yang dikembangkan Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis Institut Teknologi Bandung (TRKK ITB) dan diproduksi oleh PT Pupuk Kujang.
Percepatan inovasi dan pengembangan katalis merah-putih ini mendapat dukungan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melalui program Inovasi Perguruan Tinggi di Industri (IPTI) tahun 2017, 2018, dan 2019.
“Ternyata kita mampu (produksi green diesel). Kualitasnya juga jauh lebih baik. Pertamina baru mampu menghasilkan dua belas ribu barel per hari. Kalau sepuluh persennya dari sawit, kita hemat seribu dua ratus barel per hari. Sekarang (komposisi sawitnya) di angka 12,5 persen. Ini harus kita tingkatkan terus supaya menjadi lebih baik di angka 20 persen atau 30 persen,” ungkap Menristekdikti Mohamad Nasir saat mengunjungi Pengolahan Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) Menjadi Green Diesel atau Diesel Nabati Dengan Teknologi Co-Processing di Kilang Pertamina Refinery Unit II Dumai, Riau pada Kamis (16/5).
Dalam kesempatan ini Menristekdikti menyatakan Indonesia dapat menghemat solar dari minyak bumi yang mayoritas diimpor. Minyak bumi tersebut digantikan dengan minyak sawit yang sudah diolah hingga mencapai RBDPO atau minyak sawit tersuling, cerah, dan tak berbau.
“Misal kandungan sawitnya itu 10 persen, dalam satu tahun Indonesia bisa kurangi 10 persen dari total impor (minyak bumi) yang habiskan 17,6 miliar Dollar per tahun, bisa menghemat sepuluh persen atau 1,6 miliar Dollar per tahun atau 25 triliun Rupiah,” ungkap Menristekdikti.
Saat ini green diesel atau solar nabati yang diproduksi Pertamina sudah memiliki 12,5 persen kandungan minyak sawit, sehingga penghematan impor bahan bakar fosil yang digunakan untuk solar dapat dikurangi. Jumlah impor yang mencapai ratusan triliun Rupiah membuat Indonesia harus mencari sumber energi nabati.
“Kalau kita naikan sawitnya menjadi 12,5 persen, kita hemat di angka 31,25 triliun Rupiah. Impor kita mencapai 250 Triliun per tahun. Ini harus kita hemat. Ini yang harus kita tingkatkan kapasitas sawitnya,” harap Nasir.
Green diesel atau solar nabati yang diproduksi Pertamina dengan Katalis Merah Putih dari ITB ini tidak hanya menghemat anggaran impor bahan bakar dari fosil, tetapi juga memiliki cetane atau tingkat pembakaran diesel yang lebih bersih dengan emisi atau polusi udara yang lebih sedikit.
“Hasilnya juga dari kualitas. Kalau dengan fosil murni, cetane number-nya 51 persen. Kalau dari hasil Katalis Merah Putih ini, cetane-nya 58 persen, jauh lebih baik dan lebih bersih. Nanti pembakarannya lebih sempurna. Ini yang belum pernah ada di Indonesia, bahkan di dunia,” ungkap Nasir.
General Manager Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai Nandang Kurnaedi mengungkapkan Pertamina sedang mempertimbangkan untuk memproduksi lebih banyak greed diesel D-10.
“Ke depannya untuk swasembada energi, ini akan jadi prospek yang lebih bagus lagi. Untuk target, saya belum bisa tentukan, perlu koordinasi dengan Jakarta, tapi dengan hasil ini kemungkinan pada 2020 engineering-nya mulai,” ungkap Nandang Kurnaedi.
Katalis Merah Putih yang berhasil dimanfaatkan di Pertamina Refinery Unit II Dumai ini adalah hasil kerja sama ITB dengan Research Technology Center (RTC) Pertamina. Pertamina mendukung Katalis Merah Putih melalui pengujian Katalis Merah Putih dengan reaktor yang dimiliki RTC Pertamina selama lebih dari 10 bulan.
Kemenristekdikti telah mendukung inovasi dari ITB ini sejak 2017 melalui program Inovasi Perguruan Tinggi di Industri (IPTI). Salah satunya melalui peresmian Industri Katalis Pendidikan di Laboratorium TRKK ITB pada 11 Oktober 2018. (red/ju)