Semarang, BISKOM – Segala sesuatu disebut berhasil atau sukses sangat ditentukan oleh tepat tidaknya momentum. Rencana pembentukan kabinet baru (2019-2024) harus menjadi momentum tepat untuk melakukan perbaikan atas 5 “kehilangan” dalam dunia pendidikan kita, siapa pun menterinya kelak. Ada pun lima 5 hal substansial yang hilang itu meliputi (1) penegakan disiplin, (2) aspek pengajaran, utamanya tatap muka, (3) konsistensi terhadap tumbuh-kembangnya cita-cita, (4) pengembangan rasa percaya diri, dan (5) spiritualitas individual. “Pilihan diksi hilang atau kehilangan merujuk pada adanya kecenderungan-kecenderungan degradatif dan jika tidak segera diatasi mengancam keutuhan nilai-nilai substansial pendidikan,” kata JC Tukiman Taruno Sayoga Ph.D.
Taruno mengatakan, sejumlah lembaga pendidikan dan satuan pendidikan (sekolah), -termasuk di dalamnya pendidikan tinggi-, memang tetap memegang teguh dan menegakkan nilai-nilai disiplin dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikannya. Namun, jumlah pihak-pihak yang seperti itu sangat sedikit dibandingkan dengan lembaga pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang bersikap abai dan longgar (untuk tidak mengatakan tidak peduli) terhadap penegakan disiplin bagi siapa pun.
“Tuntutan disiplin pasti tidak hanya untuk peserta didik (termasuk mahasiswa), tetapi yang utama justru untuk tenaga pendidik dan kependidikan. Sikap abai dan/atau tidak peduli terhadap penegakan disiplin bahkan telah mengindikasikan betapa lembaga pendidikan dan/atau satuan pendidikan itu sudah kewalahan dan angkat tangan dengan berbagai dalih. Banyak tenaga pendidik dan/atau kependidikan mengeluh betapa sulitnya anak-anak jaman sekarang diajak disiplin; dan dari keluhan-keluhan seperti itu tumbuh sikap tutup mata atas berbagai jenis ketidakdisiplinan. Guru pun tidak disiplin masuk ke ruang kelas padahal seharusnya telah harus berada di depan kelas sesuai jadwalnya. Terlambat 5 menit, 10 menit, 15 menit bahkan lebih dari itu dewasa ini dipersepsi sebagai hal biasa, bukan suatu keterlambatan,” jelas Taruno yang juga merupakan dosen di Unika Soegijapranata Semarang ini.
Akibat tidak bersikap tegak terhadap disiplin, aspek pengajaran (tatap muka dan berada di dalam kelas) semakin terdegradasi. Guru dan dosen tidak lagi merasa nyaman dan senang berdiri di depan kelas belajar bersama peserta didik/mahasiswa. Memberi tugas kepada peserta didik menjadi andalan para guru, apa pun tugasnya itu. Ekstrimnya, guru/dosen semakin tidak menjalankan kewajiban mengajarnya penuh disiplin waktu; sehingga kualitas pengajaran dalam arti sempit tatap muka semakin turun. Dan dalam hal seperti ini guru/dosen pada intinya “tidak memberikan apa-apa” selama kurun waktu jam pelajaran sebagaimana sudah tersusun dalam jadwal.
“Karena tatap muka tidak intens dan berkualitas, guru/dosen tidak utuh memberikan motivasi apalagi memberikan dorongan-dorongan agar peserta didik bercita-cita (tinggi). Guru/dosen kehilangan jati dirinya di hadapan peserta didik, terdegradasi figurnya sebagai pendidik, dan dalam banyak kasus terjadilah hilangnya rasa hormat/segan peserta didik terhadap gurunya. Di sana ada guru dicekik kerah bajunya oleh seorang murid, di tempat lain guru ditantang berkelahi oleh siswa di dalam kelas, dan sebagainya,” ujar Taruno yang prihatin terhadap kondisi pendidikan di Indonesia saat ini.
Penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan disebut berhasil apabila tertanam pada setiap individu peserta didik rasa percaya diri (PD). Aspek PD inilah barangkali merupakan titik terlemah kehilangan itu. Peserta didik didekati secara massal, kurang pendekatan individual; dan ironisnya sangat banyak guru/dosen bahkan tidak hafal terhadap siswa/mahasiswanya.
“Alasan yang sering dikemukakan karena jumlahnya banyak. Sentuhan pribadi (individual) terhadap siswa/mahasiswa sangat kurang, dan dari sinilah rasa PD itu terpupus kurang tumbuh optimal. Apalah artinya menempuh pendidikan bertahun-tahun kalau secara individual tidak tumbuh (dan semakin berkembang) rasa percaya diri? Model pembelajaran paling disenangi oleh guru/dosen adalah klasikal, dan karena klasikal lalu penuh ceramah. Model seperti ini hanya menumbuhkan rasa percaya diri bagi peserta didik yang pintar, berani, lincah apalagi merasa dekat dengan guru/dosennya. Peserta didik lainnya? Lewat!!!!” papar pria yang juga aktif di Komisi Kerawam (PK4AS) Keuskupan Agung Semarang.
Lebih lanjut Taruna menjelaskan, empat kehilangan yang diuraikan di atas berdampak pada kemungkinan besar hilangnya spiritualitas individual, baik menimpa pada guru/dosen maupun kepada peserta didik. Inti spiritualitas adalah nilai dan semangat kerohanian individual dalam menjalankan kewajibannya baik sebagai pendidik maupun terdidik. Spiritualitas tidak selalu terkait langsung dengan agama dan penghayatannya. Dalam diri setiap individu ada “roh” ada spirit dan semangat yang seharusnya semakin berkobar lewat pembelajaran yang dialaminya. Wujud konkritnya ada pada semangat mengajar dan semangat belajar. Dan semangat semacam inilah yang hilang perlahan namun pasti.
“Inilah momentum terbaik bagi Menteri Pendidikan periode 2019-2024: Selama lima tahun harus berhasil menemukan kembali substansi yang hilang tadi,” ungkapnya. (Vincent)