Semarang, BISKOM – Presiden Jokowi dalam sejumlah kesempatan mengatakan bahwa fokus untuk kepemimpinanya di periode kedua adalah pembangunan SDM. Segudang program yang berhubungan dengan rakyat kecil sudah dikantongi dan siap diluncurkan pemerintah pada periode berikutnya. Program tersebut antara lain Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk mahasiswa, program kartu sembako murah untuk memperkuat Program Keluarga Harapan (PKH), dan program kartu prakerja.
Pembangunan SDM tidak lepas dari peran penting pendidikan. Baik pendidikan di tingkat dasar maupun tinggi. Akademisi dari Unika Soegijapranata Semarang, JC Tukiman Taruno Sayoga Ph.D. mengungkapkan sejumlah tantangan pendidikan nasional yang sampai sekarang belum terpecahkan.
Pertama, adalah akses pendidikan yang merata dan berkualitas di seluruh wilayah negeri. Sekolah-sekolah negeri berkualitas masih terkonsentrasi di kota-kota di Jawa saja, belum menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Jadi, penciptaan pemerataan pendidikan dasar dan menengah yang berkualitas adalah tantangan pertama yang harus dipecahkan. Termasuk memberdayakan sekolah swasta.
Kedua, jumlah penduduk makin bertambah, berarti permintaan sekolah meningkat, tetapi sumber daya ekonomi pemerintah makin terbatas karena ekspor non migas stagnan, pajak juga stagnan, dan kita justru impor migas. Ini tantangan berat untuk memenuhi 8 SNP khususnya bidang sarpras, serta pemenuhan tenaga guru yang berkualitas.
Ketiga, praksis pendidikan khususnya di sekolah-sekolah negeri menghadapi tantangan besar terkait dengan kecenderungan agamanisasi sekolah-sekolah negeri, padahal sekolah negeri semestinya menjadi pilihan pertama bagi warga untuk menyekolahkan anaknya tanpa mengalami hambatan: agama, ideologi, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dan keempat, mampu menasionalkan praksis pendidikan nasional agar tidak melahirkan generasi yang tersegregasi atas dasar agama, suku, budaya, strata ekonomi dan sosial. Mereka yang merasakan model pendidikan sebelum 2000-an dapat memahami apa yang di maksudkan di sini. Sekolah-sekolah negeri semestinya menjadi ladang persemaian tumbuhnya sikap-sikap yang multi kultur dan multi agama.
Taruno bersama dua rekannya, Trias Kuncahyono dan Agus Wahyudi memaparkan setidaknya terdapat 10 kriteria untuk Mendikbud yang akan datang. “Pertama, harus memahami persoalan pendidikan dasar dan menengah secara utuh, baik dalam skop sekolah maupun madrasah. Kedua, memiliki kemampuan manajerial yang baik (dapat terlihat dari rekam jejak kepemimpinannya). Ketiga, berpikiran dan bersikap progresif, punya ide kreatif, inovatif, dan berani mengekekusi,” jelas Taruno didampingi Trias dan Agus.
Selanjutnya, mampu membangun kerjasama dengan stakeholder lain (minimum menghadapi DPR, Pemprov, dan Pemkot). “Sebaiknya tidak menjadi aktivis Parpol (non partisan) supaya lebih independen dalam proses pengambilan keputusan. Tidak hanya itu, penting juga Mendikbud yang akan datang ini memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan pendidikan dasar dan menengah, baik yang berbasis madrasah maupun sekolah sehingga dapat menghilangkan dikotomi antara sekolah versus madrasah,” ungkap Taruno yang sejak tahun 2000 menjadi konsultan UNESCO dan UNICEF untuk mengembangkan dan mengimplementasi konsep MBS.
“Kriteria selanjutnya adalah memiliki wawasan kebangsaan yang kuat, tetapi juga bukan orang sekuler, karena kalau sekuler gampang di-bully sebagai orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa, sehingga kebijakan-kebijakannya akan selalu dipatahkan. Tetapi juga bukan orang yang agamis. Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu sosok seorang yang kuat agamanya, tapi wawasan kebangsaannya sangat tinggi. Bukan hanya punya wawasan kebangsaan saja, namun juga menggunakan kecerdasan dan keberanian menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang mengancam kebangsaan dan radikalisme yang marak di sekolah-sekolah. Mendikbud yang baru harus berani mengembalikan sekolah-sekolah negeri menjadi sekolah publik, baik dari aspek ideologi, ekonomi, sosial, dan budaya,” papar Trias Kuncahyono.
Yang terakhir dan tidak kalah penting adalah mau mendengarkan masukan semua pihak. “Ini penting supaya setiap kebijakan yang akan dikeluarkan digodok lebih dulu agar tidak menimbulkan resistensi di masyarakat. Perlu dihindari terjadinya kebijakan yang sedang dikeluarkan langsung di revisi karena menimbulkan kontroversi akibat minimnya partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan,” ujar Agus Wahyudi. (Vincent)