Jakarta, BISKOM – Pada 8-11 Agustus 2019 yang lalu, PDIP menyelenggarakan Kongres ke-V di Bali. Kongres menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum periode 2019-2024. Selain itu, Kongres menghasilkan 23 rekomendasi yang berisi sikap dan kebijakan partai serta usulan untuk pemerintahan Jokowi-Ma’ruf mendatang.

“Rekomendasi yang dibahas di lima komisi ini akan difinalisasi oleh Pusat Analisa dan Pengendali Situasi PDI Perjuangan,” ujar Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam sidang paripurna VI PDIP sekaligus penutupan Kongres V PDIP di Bali, Sabtu, 10 Agustus 2019.

Salah satu rekomendasi yang dihasilkan adalah melakukan amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) demi menjamin kesinambungan pembangunan nasional.

Mengamati rekomendasi tersebut, pakar hukum tata negara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Dr. Umbu Rauta SH., M.Hum., mengatakan amandemen sebaiknya tidak dilakukan secara parsial, namun sungguh-sungguh berbasis kebutuhan perbaikan sistem ketatanegaraan secara menyeluruh sehingga memiliki daya laku jauh ke depan (longevity). Dalam kerangka itu, keterlibatan publik secara paripurna dalam mempercakapkan gagasan amandemen merupakan sebuah kemendesakan.

Menurut Umbu, setidaknya terdapat 4 hal yang menjadi usul materi amandemen kelima UUD NRI 1945. Pertama adalah haluan negara. Haluan negara dimaknai sebagai pernyataan kehendak rakyat mengenai garis-garis besar pelaksanaan pembangunan. Selain itu, sebagai kaidah penuntun yang berisi arahan dasar mengenai cara melembagakan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 ke dalam sejumlah pranata publik.

“Oleh karenanya, meski dibutuhkan haluan negara, namun harus dipastikan bahwa haluan negara tersebut tidak persis sama dengan GBHN era orde baru. Haluan negara dapat ditetapkan oleh MPR untuk jangka menengah dan panjang, berisi pokok-pokok pikiran yang mengelaborasi tujuan bernegara yang termaktub dalam alinea kedua dan keempat Pembukaan UUD NRI 1945. Materi haluan negara tidak saja dijabarkan oleh Presiden, tetapi oleh semua lembaga/komisi negara ke dalam dokumen Haluan Pembangunan. Atas penjabaran dan pelaksanaan haluan negara, Presiden dan lembaga/komisi negara menyampaikan progres report setiap tahun, namun  tidak dapat dituntut secara politik apalagi diberhentikan hanya karena tidak menjalankan Haluan Negara secara baik, seperti halnya GBHN era orde baru,” ungkap Umbu Rauta.

Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto menganalogikan pentingnya GBHN dengan kepemimpinan Tri Rismaharini. Sebagai wali kota Surabaya sepuluh tahun, Risma dinilai berhasil mengembangkan konsep smart city dengan taman kota yang asri. Menurut Hasto, keberhasilan itu lebih disebabkan manajerial kepemimpinan Risma sebagai wali kota. “Tetapi, saat nanti Bu Risma tidak menjabat lagi, siapa yang menjamin Surabaya akan tetap asri? Nah, inilah pentingnya haluan itu,” tandasnya.

Kemudian usul materi amandemen selanjutnya terkait kedudukan MPR. Desain konstitusional pada Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar, menjadi indikasi bahwa semua lembaga negara utama (main state organ), seperti DPR, DPD, MA, MK, BPK, Presiden dan Wakil Presiden memiliki kedudukan yang setara karena secara konkuren menerima kedaulatan dari rakyat melalui agihan atau alokasi tugas dan wewenang dalam konstitusi. Sehingga, menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, merupakan usulan yang kurang kompatibel dengan sumber wewenang lembaga negara lainnya. “Agenda yang justru perlu penegasan yaitu apakah Indonesia benar-benar menganut bicameral system atau tricameral system dengan eksistensi MPR yang mempunyai alat kelengkapan tersendiri,” terang Umbu Rauta yang juga Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi UKSW.

Ketiga adalah penguatan DPD. Syarat ideal sistem perwakilan dua kamar (strong bicameralism) yaitu kesetaraan atau keseimbangan kedudukan dan jangkauan kewenangan.  Penguatan DPD lebih diarahkan pada bidang legislasi, baik DPR dan DPD seharusnya memiliki kewenangan setara dalam mengajukan, membahas dan menyetujui rancangan undang-undang menjadi undang-undang.

“Pertimbangannya, selain karena anggota DPR dan DPD memiliki basis dan kadar legitimasi yang sama dari rakyat, juga karena hampir seluruh materi muatan undang-undang akan selalu bersinggungan dengan kepentingan daerah. Faktor pendorong lain penguatan peran DPD yaitu adanya Putusan MK: No. 92/PUU-X/2012 dan No. 79/PUU-XII/2014 yang memberikan penguatan peran legislasi DPD dan DPRD bersama Presiden,” papar Umbu Rauta.

Keempat adalah purifikasi sistem presidensil. Konsensus sebelum amandemen UUD 1945 yaitu penegasan sistem pemerintahan presidensil. Anasir utama sistem ini yaitu presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat dan masa jabatannya tetap (fix term), dengan kata lain tidak dapat dimakzulkan dalam masa jabatan hanya karena alasan politik, seperti praktik yang dialami mantan Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Namun, beberapa pengaturan dalam UUD NRI 1945 maupun desain sistem kepartaian belum sepenuhnya kompatibel dengan konsensus tersebut.

Lebih lanjut Umbu menerangkan, “Beberapa “peran” DPR tampaknya memasuki ranah kekuasaan Presiden, seperti dalam pembuatan perjanjian internasional, pengangkatan dan penempatan duta dan konsul, serta pemberian amnesti dan abolisi, menjadi indikasi adanya legislative heavy sehingga kekuasaan Presiden seakan-akan terbelah. Fragmentasi dan polarisasi politik di DPR akibat dianutnya multi partai juga mempengaruhi langgam kerja Presiden karena partai penyokongnya tidak menguasai mayoritas kursi. Dampaknya, Presiden dan Wakil Presiden terpilih mesti “berkompromi” dengan partai politik di DPR dalam wujud pemberian kesempatan menduduki jabatan di kementerian atau lembaga pemerintahan non kementerian,” pungkasnya. (Vincent)