Jakarta, BISKOM – Beberapa waktu belakangan ini semakin marak diberitakan adanya pembentukan badan/lembaga baru untuk mengurusi persoalan regulasi. Badan/lembaga baru ini akan menjadi salah satu materi revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Badan/lembaga yang rencananya akan diberi nama Pusat Legislasi Nasional ini berfungsi untuk melakukan sinkronisasi aturan agar tidak tumpang tindih.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa selain melakukan sinkronisasi aturan, badan ini bakal memeriksa relevansi kebijakan yang sudah ada. Lalu menentukan apakah aturan ini masih layak dipakai atau tidak. “Tugasnya memastikan mana aturan yang mana berlaku atau tidak ini yang harus ditata dulu. Setelah itu dari yang ada, mana yang masih relevan  dan mana yang tidak. Kemudian untuk regulasi baru harus dilakukan semacam clearing dulu apakah sudah ada aturan di tempat lain atau aturan ini tumpang tindih dengan aturan yang lain,” ujarnya.

Kehadiran lembaga tersebut, lanjut Bambang akan memberikan sinyal positif bagi dunia usaha. Dengan demikian dapat mendorong naiknya investasi. “Saya rasa lima tahun ke depan kita bisa melakukan penataan itu meskipun dampaknya baru terasa setelah lima tahun, tetapi lima tahun ini kita harapkan sinyal ini bisa dibaca,” katanya.

Menanggapi wacana pembentukan Pusat Legislasi Nasional, Vincent Suriadinata, SH, MH. mengatakan bahwa fungsi untuk melakukan harmonisasi regulasi tidak memerlukan badan/lembaga baru. “Cukup mengoptimalkan lembaga yang sudah ada antara lain BPHN dan Ditjen Perundang-undangan. Ini akan lebih efisien dan efektif,” ungkapnya.

Vincent mengatakan bahwa ada alternatif lain untuk melakukan harmonisasi regulasi yakni dengan menerapkan omnibus law. Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa omnibus law atau omnibus bill adalah satu undang-undang yang bisa mengubah banyak undang-undang. Berkaitan dengan harmonisasi regulasi yang diklaim dapat mendorong naiknya investasi, dirinya mengungkapkan, “pemerintah telah berusaha untuk menciptakan iklim investasi yang baik di Indonesia lewat berbagai instrumen pengaturan baik itu Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden maupun Peraturan Daerah. Tersebarnya berbagai pengaturan tersebut menjadikannya tidak sederhana dan tidak adanya kesatuan hukum. Selain itu, tidak menutup kemungkinan akan timbul ketidakharmonisan hukum baik secara vertikal maupun horizontal. Hal ini perlu menjadi kesadaran pemerintah maupun pembentuk undang-undang agar menciptakan suatu undang-undang penanaman modal yang lengkap, sederhana, efisien dan efektif dalam menciptakan iklim investasi yang baik di Indonesia,” terang Kabid Hukum Asosiasi Pengusaha Teknologi, Informasi, dan Komunikasi Nasional (APTIKNAS) DKI Jakarta ini.

Omnibus law sendiri memiliki karakteristik yakni mengakselerasi proses legislasi dan kompleksitas permasalahan yang diatur di dalamnya. Tantangan penerapan omnibus law yang sesungguhnya adalah memberikan pemahaman kepada semua pihak baik pemerintah maupun anggota DPR serta masyarakat luas tentang apa itu omnibus law. “Omnibus law bukanlah sesuatu hal yang baru dan asing di Indonesia. Ini adalah sebuah teknik untuk menyusun sebuah undang-undang yang lebih efisien dan efektif. Justru teknik ini dapat membentuk konsensus antara pemerintah dan parlemen ketika terjadi deadlock. Diperlukan pula komitmen politik yang kuat di dalam parlemen karena parlemen menjadi kunci utama untuk mewujudkan omnibus law. Selama masih ada ego sektoral maka akan sulit untuk mewujudkan omnibus law,”pungkas Vincent yang mengkaji omnibus law dalam tesis S2-nya di Universitas Indonesia. (Red)