Jakarta, Biskom- Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memperoleh  bantuan teknis dari Daicel Corporation, sebuah perusahaan kimia Jepang yang mengembangkan teknologi analisa senyawa khiral.

Bantuan teknis tersebut  meliputi hibah alat HPLC berserta kolom analisanya, serta pelatihan analisa cemaran senyawa khiral dalam obat. Bantuan tersebut diserahkan  Presdir Daicel Corporation, Misao Fudaba, kepada Kepala BPPT Hammam Riza, di Kantor BPPT, Jakarta, (2/10).

Misao Fudaba mengatakan HPLC tersebut dikembangkan pada sejak tahun 70-an di perusahaannya. Ide awal dari universitas di Jepang, kemudian dari Daicel dikomersialisasikan. Saat itu setelah dikembangkan di Jepang, teknologi diaplikasikan ke Amerika, Eropa, China, India dan  Indonesia, terutama negara kawasan yang memiliki penduduk terbanyak.

Kepala BPPT menyatakan bahwa BPPT terus berinovasi untuk memberikan layanan teknologi yang diperlukan oleh bangsa Indonesia untuk kemandirian bahan baku obat nasional. “Kerjasama ini merupakan bagian dari upaya BPPT dalam penguatan program flagship nasional bidang bahan baku obat periode 2020-2024,” katanya.

Selain itu, Hammam juga berharap layanan teknologi ini dapat menjadi referensi bagi BPOM dalam menentukan kebijakan pengawasan obat di Indonesia agar keamanan obat generik lebih terjamin. Hal ini sekaligus dapat mendukung program pemerintah untuk mewujudkan kemandirian bahan baku obat.

Data menyebut, hingga  kini impor bahan baku obat masih tinggi. Saat ini Indonesia masih mengimpor lebih dari 95% bahan baku obat, termasuk obat generik. Komponen aktif obat generik dibuat melalui proses sintesis kimia, yang terkadang mengandung cemaran senyawa khiral.

Kepala Balai Bioteknologi BPPT Agung Eru Wibowo mengatakan bahwa cemaran senyawan khiral yaitu komponen aktif yang lain struktur kimianya sama namun struktur optisnya berbeda.

“Di beberapa obat, cemaran senyawa khiral memiliki efek samping yang membahayakan kesehatan. Seperti efek samping yang ditunjukkan pada obat rasa mual thalidomide. Obat ini pada era 1950 an dikonsumsi oleh ibu-ibu hamil untuk meredakan mual. Efeknya menyebabkan deformasi anggota tubuh bayi yang dilahirkan,” kata Agung Eru Wibowo.

Sejak kejadian itu, lanjut Agung,  banyak negara di dunia yang menerapkan regulasi terhadap kandungan senyawa khiral dalam produk obat. Di Indonesia, Badan POM belum menerapkan pengawasan terhadap kandungan cemaran khiral ini. Salah satu penyebabnya adalah analisanya tidak mudah karena memiliki sifat kimia dan fisika identik dengan senyawa aktifnya. Untuk menjamin keamanan obat di Indonesia, khususnya obat generik, BPPT mengembangkan sistem analisa cemaran khiral dalam produk obat.

Sementara itu, Deputi Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT,  Soni Solistia Wirawan,  menjelaskan sistem yang dikembangkan akan mengacu pada standar pengujian obat US Pharmacopeia yang juga banyak diacu oleh BPOM dalam menentukan regulasi pengawasan obat.

“Agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya industri farmasi, sistem analisa ini akan menjadi salah satu layanan teknologi BPPT. Khususnya kepada industri farmasi yang terakreditasi dengan SNI,” tambahnya. (red/ju)