Mendagri Tito Karnavian

Jakarta, BISKOM – Senin (9/3/2020) bertempat di Hotel Dharmawangsa, Jakarta diselenggarakan Diskusi Publik bertema “Urgensi Mewujudkan Pilkada Demokratis dan Berkualitas: Tantangan dan Harapan”. Hadir sebagai narasumber yakni Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Peneliti LIPI Prof. Siti Zuhro, dan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.

Dalam kesempatan ini Mendagri mengusulkan transformasi digital dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024. Transformasi ini diwujudkan melalui sistem pemungutan suara secara elektronik (e-voting). Menurut Tito, e-voting bisa menjadi solusi untuk menekan biaya politik yang tinggi. Pasalnya, dengan sistem tersebut, kebutuhan terhadap logistik pemilu yang membutuhkan dana besar bisa tergantikan. Mulai dari surat suara, formulir, hingga tinta bisa pindahkan ke digitalisasi.

“Jadi ke TPS ga perlu pake surat suara, ga perlu lagi pakai yang dicelup itu, nah, karena apa? sudah ada finger print,” ungkap Mendagri.

Menurut Tito, selain aspek positif, aneka aspek negatif muncul di pesta demokrasi. Efek negatif itu antara lain ‘keterbelahan’ masyarakat yang mengancam integrasi bangsa dan mengganggu kerukunan, langgengnya politik identitas, dan munculnya konflik yang mengandung kekerasan.

”Kemudian, high cost politics atau biaya tinggi yang harus dikeluarkan oleh kontestan pilkada dan oleh pemerintah adalah beberapa contoh empirik dari sistem pemilihan kita, baik pilpres ataupun pilkada,” terang Tito.

Diskusi Publik Urgensi Mewujudkan Pilkada Demokratis dan Berkualitas: Tantangan dan Harapan di Hotel Dharmawangsa, Jakarta (Sumber: inews.id)

Lebih lanjut Mendagri mengatakan, sistem KTP elektronik di Dukcapil Kemendagri teah menjangkau 98 persen warga Indonesia yang juga sebenarnya “idem ditto” dengan pemilih. Sistem akurasi data KTP elektronik juga sudah double filter, yaitu dengan identifikasi irisan mata dan sidik jari, sehingga tingkat akurasi sangat tinggi untuk mencegah penduduk untuk memiliki KTP ganda.

Siti Zuhro menyambut baik usulan itu. Menurut dia, setiap sistem yang dipandang bisa meningkatkan kemudahan dan memperhatikan “keunikan” Indonesia layak dipertimbangkan. Inti pemilu, kata Siti, pada prinsipnya yaitu upaya mengonversi suara pemilih menjadi dukungan elektoral ke kontestaan atau partai. Bila makna ini dipegang, maka semua harus terbuka ke dalam metode-metode yang menjamin efisiensi dan mengurangi dampak buruk yang bisa merusak demokrasi itu sendiri.

”Kemajuan teknologi seperti e-voting dapat diadopsi karena hal ini tidak mengurangi hak konstitusional masyarakat” ujar Siti.

Di lain sisi, Titi Anggraini mengatakan, sebelum menuju e-voting, sebaiknya dioptimalkan dulu rencana penggunaan rekapitulasi elektronik atau e-rekap. Sebab, e-voting membutuhkan kajian yang matang dan mendalam.

Titi menambahkan, jika e-rekap saja sudah dapat digunakan, maka sistem kepemiluan di Indonesia sudah jauh lebih efisien. “Jadi kalau bisa memotong mata rantai pergerakan suara dari TPS ke tingkat yang lebih tingi akan bisa menekan; satu biaya, dua konflik, ketiga manipulasi,” ungkapnya. (red)