Tegal, BISKOM – Walikota Tegal, Dedy Yon Supriyono mengeluarkan kebijakan yang kontroversial. Pasalnya, Dedy menerapkan local lockdown. Untuk memaksimalkan kebijakan yang diambil tersebut, seluruh akses keluar masuk kota akan ditutup menggunakan beton. Dedy memerintahkan blokade 49 titik akses jalan protokol dalam kota dan penghubung jalan antarkampung. Hal tersebut ia sampaikan Kamis (26/3/2020) di Pendopo Balai Kota Tegal.
Sebelumnya, salah seorang warga Tegal dinyatakn positif terjangkit virus corona. Dengan temuan tersebut, Kota Tegal sudah masuk zona merah darurat corona. Penutupan akses masuk dilakukan untuk mencegah penyebaran virus corona di Kota Tegal.
“Warga harus bisa memahami kebijakan yang saya ambil. Kalau saya bisa memilih, lebih baik saya dibenci warga daripada maut menjemput mereka,” ujar Dedy.
Dedy menyatakan pemasangan beton pembatas itu sebagai untuk mencegah akses warga keluar masuk, baik dari maupun menuju kota Tegal. Namun demikian, dirinya menjamin bahwa penutupan jalan itu tidak meliputi akses jalan provinsi dan jalan nasional.
Menanggapi kebijakan yang diambil oleh Walikota Tegal tersebut, pengamat hukum tata negara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Dr. Umbu Rauta, SH., M.Hum., mengatakan kebijakan khusus berupa local lockdown yang ditempuh oleh Pemkot Tegal dapat disoroti dari beberapa optik.
“Dari optik hukum hubungan pusat – daerah, Pemda diberi kewenangan oleh Pusat untuk menangani urusan kesehatan warganya. Pada saat yang sama perlu melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan kebijakan pemerintah pusat. Secara nasional pemerintah pusat lebih memilih physical distancing ketimbang lockdown, namun memberi peluang adanya kebijakan khusus di daerah sejauh mempertimbangkan secara mendalam dan menyeluruh dampak ikutan dari kebijakan khusus tersebut,” terang Umbu.
Umbu berpendapat, manakala Pemda telah lakukan cost and benefit analysis secara cermat, dan kebijakan khusus tersebut lebih besar manfaatnya bagi masyarakat di daerah dan masyarkat sekitarnya, maka boleh saja menempuh kebijakan tersebut sambil terus melakukan evaluasi secara periodik.
Menurut Umbu, kebijakan ini harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan pemerintah pusat. “Kemudian dari optik tanggung jawab dan kewajiban pemerintah untuk selalu dan cepat hadir bagi warganya, kebijakan khusus tersebut dapat ditempuh lebih dahulu, dan selanjutnya diinformasikan ke Pemerintah Pusat. Hal ini dikakukan manakala Pemda diperhadapkan pada situasi yang genting dan memaksa, sejauh pengutamaan kepentingan rakyat atau warganya. Di sinilah adagium salus populi suprema lex esto menjadi relevan. Kesehatan warga dijadikan hukum tertinggi,” kata Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi ini.
“Namun demikian, kalau perhatikan pemberitahuan yang ada, kebijakan local lockdown di Kota Tegal tidak berlaku mutlak, karena beberapa akses atau jalur propinsi dan nasional tetap dibuka,” pungkas Umbu. (red)