Jakarta, BISKOM – Presiden Jokowi telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Virus Corona, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat pada Selasa (31/3/2020).
“Karena yang kita hadapi saat ini situasi yang memaksa, maka saya baru saja menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan,” ungkap Jokowi.
Jokowi mengklaim Perppu baru tersebut memberikan pondasi bagi pemerintah, otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk melakukan langkah-langkah yang luar biasa dalam upaya menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional serta stabilitas sistem keuangan.
Kemudian, dengan terbitnya PP dan Keppres, Jokowi meminta semua pimpinan daerah mengikuti pemerintah pusat. “Para kepala daerah saya minta tidak membuat kebijakan sendiri-sendiri. semua kebijakan di daerah harus sesuai dengan peraturan, berada dalam koridor Undang-undang, PP, serta Keppres tersebut,” tegas Jokowi.
Pemilihan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB berarti pemerintah memutuskan tidak ada kebijakan lockdown atau isolasi penuh. Menurut Jokowi, Indonesia sudah belajar dari pengalaman negara lain dan memiliki ciri khas berbeda.
Menanggapi upaya pemerintah untuk mengatasi pandemik virus corona dengan menerbitkan 3 aturan tersebut mendapat apresiasi dan tanggapan positif dari pengamat hukum tata negara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Dr. Umbu Rauta, SH., M.Hum.
“Secara pribadi saya menghargai upaya yang dilakukan Pemerintah melalui penerbitan PP 21/2020. Semangat dari PP aquo yaitu memberikan kejelasan atas kegamangan Pemda selama kurang lebih dua minggu dalam penanganan Covid 19. Artinya, dengan PP itu Pemda punya kejelasan langkah yang akan ditempuh,”kata Umbu.
Namun demikian, perlu juga dipikirkan agar dalam membentuk PP aquo memperhatikan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011. Oleh karena fungsi utama PP adalah melaksanakan UU, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945, maka seharusnya pada bagian Menimbang disebutkan ketentuan dalam UU No 6/2018 sebagai sumber delegasi.
“Selain itu, baik judul maupun materi PP tersebut terlalu bersifat spesifik dan konkrit yaitu mana kurang sejalan dengan sifat PP yang seharusnya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan abstrak. Mestinya judul dan materinya hanya menyebut Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Penanganan Penyakit Menular,” ujar Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi UKSW ini.
Umbu berpendapat, selanjutnya untuk penanganan khusus terkait materi yang bersifat konkrit dan spesifik yaitu Covid 19, bisa saja didelegasikan kepada Menteri atau Pejabat setingkat Menteri.
Mengenai Perppu 1/2020, Umbu menjelaskan bahwa ini adalah instrumen legislasi yang dimungkinkan oleh konstitusi, sejauh Presiden dapat memberikan kausa halal bahwa telah terjadi “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Tahap selanjutnya yaitu meminta persetujuan dari DPR terkait kebenaran dan ketepatan alasan yang digunakan Presiden dalam menerbitkan Perppu tersebut. Manakala DPR bersetuju maka akan menjadi UU, sebaliknya jika tidak disetujui maka Perppu itu dicabut.
“Jika dicermati, Perppu 1/2020 menggunakan metode omnibus law karena mengatur beragam materi yang sebelumnya menyebar di beberapa UU, seperti UU APBN, UU Perpajakan, UU Bank Indonesia, UU Pemda, dan lain-lain,” pungkasnya. (red)