Akademisi Unika Soegijapranata Semarang, JC Tukiman Taruno Sayoga Ph.D

Semarang, BISKOM – Imbauan stay at home (SAH), dan di beberapa daerah ditingkatkan  menjadi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tidak menyurutkan munculnnya tanggapan-tanggapan lucu atau protes atasnya. Ada yang menulis komen “pura-pura sedih” di tengah-tengah  kejenuhannya di rumah: “Aku menguatkan diri bertahan di dalam rumah, tetapi uangku maunya keluar rumah terus.”  Ada juga komen: “Seumur-umur baru karena COVID 19 sekarang ini, makan-tidur-main HP-tidur lagi, disebut berjasa untuk bangsa dan negara.”  Berikutnya, baru saja kemarin SAH ditingkatkan ke PSBB di beberapa daerah, kelakar orang-orang jenuh sudah berseliweran, antara lain: “Pasti Sedang Bobuk-bobuk,” ada lagi: “Pagi Siang Bangun Bebas.” Tetap saja ada yang bernada protes: “Pergi Susah, Bikin Bete,” namun lalu dijawab tidak kurang menghibur: “Pasrah Saja Beres Bro…..”

Tinggal (baca: betah) di rumah ternyata tidak gampang, apalagi hampir sepanjang 24 jam setiap harinya, dan untuk kurun waktu berhari-hari lagi ke depan. JC Tukiman Taruno Sayoga, Ph.D. menjelaskan, makna rumah semakin disadari bukan lagi sekedar tempat berteduh, tidur, makan (kadang-kadang), dan bercengkerama (kadang-kadang juga); melainkan di tengah-tengah kejenuhan karena SAH ini, semua anggota keluarga merasakan hal yang sama, yakni: RUMAH ITU KOMUNITAS. Ada beberapa kondisi yang menentukan kebersamaan dua-tiga orang atau lebih dapat disebut sebagai komunitas.

Pertama, seperasaan senasib sepenanggungan. Tidak ada lagi (dan harus tidak ada) menang-menangan dalam semua hal, apakah soal makanan, berbagi kamar mandi, menempatkan handuk atau pakaian kotor, dan sebagainya. “Semakin semua anggota rumah itu merasa sepenanggungan, di saat itulah tinggal di rumah menjadi betah,” ungkap Taruno.

Kedua, rumah menjadi komunitas yang membuat betah tinggal di dalamnya jikalau “rumah bukan sebuah sangkar, melainkan tiang utama sebuah kapal layar,” (Kahlil Gibran, Sang Nabi. 1981).

Dan ketiga, rumah menjadi tiang utama kapal layar jikalau kapal itu tidak pernah berhenti. Lebih lanjut Taruno menerangkan, artinya tinggal di rumah saja (SAH) tidak akan menjadi beban berat bagi siapa pun kalau terus ada kehidupan di dalam rumah itu, bagaikan kapal yang terus berlayar, bukannya kapal layar namun berlabuh. “Ketika rumah “berhenti berlayar,” apalagi semua anggota rumah dituntut untuk SAH karena PSBB, sumpeklah semuanya dan membuat tidak kerasan/betah tinggal (terus) di rumah,” jelas Taruno yang juga merupakan dosen di Unika Soegijapranata Semarang ini.

Selengkapnya puisi Kahlil Gibran berikut semoga menguatkan kita semua yang harus SAH, apalagi bagi yang terkena aturan PSBB:

“Tetapi kau, putera-puteri ruang semesta alam/ kau yang gelisah dalam peristirahatan/ Tak bakal kaumasuk perangkapnya, ataupun dijinakkannya./

Rumahmu tak akan menjadi sebuah sangkar,/melainkan tiang utama sebuah kapal layar/

Tiada pula ia sebagai selaput kulit ari/yang menutupi kerawanan sebuah luka/ namun jadilah ia kelopak mata/yang memberi perlindungan kepada netra./ Kau tidak akan melipat sayapmu bila kau masuk pintu, /tiada pula kau tundukkan kepala karena takut terantuk kayu./

Tak pula kau harus bernafas dengan cemas,/mengkhawatirkan nafaS membuat dinding retak atau retas/

Tiada kau akan mendiami peti-peti mati,/perninggalan arwah bagi yang belum saatnya mati./

Rumahmu bukanlah wadah kerahasiaan,/maupun wadah penganan keinginan./ Oleh sebab segala yang tanpa muara di dalam diri manusia,/adalah penghuni angkasa semesta raya, yang berpintukan kabut embun pagi/ dan berjendelakan lagu-lagu malam serta kebisuan malam.”

“Penggalan puisi Kahlil Gibran di atas adalah bagian tengah sampai akhir dari puisi panjangnya tentang Rumah. Pada bagian awal, Gibran menyindir betapa banyak orang mendirikan rumah itu berdasarkan angan-angannya, padahal rumah itu sebuah kenyataan hidup, bukan sekedar angan-angan,” pungkas Taruno. (red)