Semarang, BISKOM – Sering terjadi, hari ini lepas dari jabatan publiknya, besok pagi ia sudah “ngember” tentang kelemahan lembaga yang ia pernah menjabat di situ, entah beberapa lamanya. Namun banyak juga, begitu seseorang turun dari jabatan publiknya atas alasan apa pun, hari-hari selanjutnya ia tidak mau memberikan komentar apa pun atas instansi atau pun jabatan yang pernah diembannya; bahkan sekedar untuk menyambangi kantor itu pun diusahakan untuk tidak dilakukan. Inilah adalah fakta yang diungkapkan oleh Akademisi Unika Soegijapranata Semarang, JC Tukiman Taruna Sayoga, Ph.D.
Memang, terutama dari para mantan pejabat publik, bisa diamati satu-dua hal titik terlemah birokrasi kita, yaitu pertama, sejauhmana para pejabat itu benar-benar memegang kendali etika komunikasi ketika masih menjabat maupun setelah tidak menjabat lagi. Kedua, seperti apa cara para pejabat dan mantan pejabat publik itu memegang rahasia. “Mantan pejabat publik yang suka “ngember” misalnya, semulia apa pun motivasi ia melakukan ngember itu, namun ditimbang dari sudut etika, ia bukanlah mantan pejabat yang etis. Apalagi kalau yang di-ember-kan itu “rahasia perusahaan,” kata Taruna.
Pertanyaannya: Adakah (mantan) pejabat publik yang seolah-olah tidak mengenal etika komunikasi, serta merta “ngember” seraya membongkar rahasia, atau minimal mengancam-ancam untuk membuka rahasia? Dengan penuh rasa prihatin pertanyaan itu harus dijawab “Ada,” bahkan tidak mengada-ada kalau disebutkan jumlahnya tidak hanya satu, dua, atau tiga. Mengapa ada orang-orang seperti itu? Dugaan umum sering memberikan jawaban: Ohhh pasti orang atau sikap semacam itu karena dia kecewa, tersinggung, tidak mau menerima (karena diberhentikan misalnya).
Menurut Taruna, kalau dugaan umum itu benar adanya, cukup masuk akal-lah respon orang kecewa memang cenderung “balas dendam,” namun rasanya menyakitkan sekali kalau ternyata orang atau perilaku/sikap seperti itu muncul disebabkan oleh ketidaktahuan bahwa ada etika yang dilanggar. Naif benar kalau seperti itu adanya.
Menurut Shaw & Barry (seperti dikutip oleh Wayne Pace dan Don F. Faules, 2006) menyebutkan ada lima pedoman etika komunikasi, yakni pertama: siapa pun yang berada dalam suatu organisasi atau instansi, -apalagi dia itu pejabat-, otomatis harus memberikan andil terbaik bagi orang/pihak lain, dan menghindarkan akibat-akibat buruk yang mungkin bisa terjadi. “Semakin tinggi jabatannya, andil terbaiknya seharusnya semakin banyak, dan upayanya menghindarkan dari hal-hal jelek juga harus lebih nyata,” ungkap Taruna.
Kedua, sikap patuh terhadap kesepakatan atau perjanjian harus lebih terasa bila dibandingkan dengan sikap sopan terhadap orang atau pun aturan. Ketiga, komunikasi disebut etis jika tindakan atau kata-kata pejabat itu terjadi tidak karena ancaman sanksi, aturan, atau hokum, melainkan karena atas dasar ketulusan dan kejujuran. Keempat, keputusan yang diambil sesuai dengan tuntutan moral dasar, seperti adil, jujur, terbuka, dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan; dan kelima, komunikasi pejabat benar-benar sangat etis kalau ia memelihara dan menjunjung tinggi reputasi dan nama baik siapa pun, termasuk reputasi dan nama baik dirinya sendiri.
“Pedoman etika yang kelima inlah yang paling dilupakan oleh (mantan) pejabat yang suka ngember, menjelekkan orang/pihak tertentu, kurang control dalam mengkritisi sesuatu: Dia lupa bahwa apa yang dia lakukan itu berarti merendahkan reputasi dan nama baik dirinya sendiri. Dia lupa bahwa reputasi dan nama baik dirinya harus terus dipelihara, dijunjung tinggi; bukannya dilecehkan sendiri meskipun mungkin dia mendapatkan tepuk tangan gemuruh dari orang-orang yang mendengarkannya ketika ia sedang ngember itu,” pungkas Taruna. (red)