Ilustrasi (Sumber: digination.id)

Semarang, BISKOM – Judul di atas sebenarnya sudah sebuah kesimpulan atas tesis saya, yakni orang semakin bergantung bahkan “kawin” dengan teknologi informasi, manakala jarak (pergaulan) sosial semakin dibatasi. Dalam konteks wabah COVID 19 ini, tesis ini sangat didukung kuat: Saat harus tinggal di rumah seperti sekarang ini, siapa bisa melepaskan diri dari HP? Tak satu orang pun, asal orang itu memiliki HP. Tahun lalu (Oktober 2019) dalam sebuah seminar, seorang pakar IT dari kantor staf presiden (KSP) mengatakan bahwa rata-rata setiap tujuh menit orang pasti akan memegang, membuka, atau menengok HP-nya. Nah, selama ada pandemi corona sekarang ini, setiap menit berapa kali saja orang pegang, buka, tengok HP-nya? Inilah kenyataan yang diungkapkan Akademisi Unika Soegijapranata Semarang, JC Tukiman Taruna Sayoga, Ph.D.

Atas dasar fakta seperti ini, bisakah ditarik semacam analisis baru tentang teknologi (dan informasi), yaitu TI itu asosial dalam arti anti kemapanan sosial. “Semakin mapan atau wajar-wajar saja kehidupan sosial, TI kurang digubris orang; tetapi sebaliknya, begitu ada/terjadi anomali dalam kehidupan sosial, ketergantungan terhadap TI semakin menggila. Benar begitu? Kalau banyak orang mengiyakan, saya justru semakin was-was nih, karena jangan-jangan doanya orang-orang yang bergelut di TI akan mengatakan: “Semoga sering-sering saja terjadi keadaan anomaly,” kata Taruna,

Menurut Taruna, TI bukan asosial, tetapi seiring sejalan dengan kehidupan sosial manusia karena TI dikendalikan oleh manusia itu juga. Memang, dalam keadaan anomali, ketergantungan manusia terhadap TI terasa sangat tinggi karena orang tidak mau kehilangan sedetik pun atau terputus dari kontak sosialnya.

“Di saat-saat wajar tanpa anomali, kontak sosial lebih leluasa, sedangkan pada saat terjadi ketidakwajaran, satu-satunya cara terbaik ialah orang lari atau menggantungkan diri  ke teknologi. Barangkali akan menjadi “kiamat” ketika di saat terjadi anomali sosial saat itu juga  teknologi kolaps,” jelasnya.

Tekologi informasi mungkin bisa bersikap asosial, -sebutlah ekslusif- , ketika bagaikan dalam dunia bisnis perdagangan, ada monopoli-monopoli tertentu oleh orang/pihak tertentu untuk tujuan tertentu. “Masuk ke kompleks kedutaan besar misalnya, atau lembaga internasional lainnya, ada penerapan TI yang dapat dikategorikan ekslusif untuk maksud-maksud pengamanan dan maksud lain. Di situ ada sedikit anomali kondisi sosial serta merta tidak bisa menggantungkan diri kepada teknologi berhubung memang sedang dibatasi,” papar Taruna.

“Sekedar masukan bagi Anda yang sehari-hari bergelut di TI, catatlah semua bentuk ketergantungan orang terhadap teknologi selama pandemi corona ini, dan kelak ketika kondisi sosial kembali normal lagi, bandingkanlah bentuk ketergantungan yang konstan dan berubah. Rasanya pengamatan seperti ini akan menarik sekali dalam rangka berpikir tentang pengembangan TI ke depan,” ungkap Ketua Dewan Penyantun Unika Soegijapranata ini.

Di samping melihat bentuk ketergantungan, catatan Anda juga harus sampai ke temuan tentang konten-konten sampah yang berseliweran. “Batasan konten sampah bagi saya sederhana saja, yakni muatan dalam TI yang sebetulnya “sisa” dan sudah dibuang namun ada saja yang mendaur ulang. Termasuk konten sampah jika muatan itu tidak mengedukasi dan memberikan andil positif bagi kehidupan social,” pungkas Taruna. (red)