Akademisi Unika Soegijapranata Semarang, JC Tukiman Taruno Sayoga Ph.D

Semarang, BISKOM – Intinya, saya mau mengatakan betapa bekerja di/dalam/dengan teknologi informasi (TI) itu “diam-diam menghanyutkan;” namun sebagai judul rasanya kurang menarik kalau saya tulis begitu; karena itu biar keren, saya tulis saja “SBD ………..…” Singkatan SBD saya pinjam dari ranah kesehatan, terutama terkait dengan kesehatan pencernaan manusia, tetapi maaf seribu maaf karena SBD (silent but deadly) ini, membahas tentang kentut. Ahli kesehatan pencernaan (tolong diluruskan bila saya salah) konon mengklasifikasi kentut manusia ke dalam beberapa jenis dan salah satu jenis yang disebutkan ialah kentut SBD. Yah…..intinya jenis kentut SBD ini “diam-diam menghanyutkan” betul, bukan karena suaranya (justru nyaris tiada suara, penuh kesenyapan) namun baunyalah yang  benar-benar “mematikan.” Ahli itu mengatakan, berbahagialah Anda yang kehilangan kentut jenis SBD ini (heran ya, kehilangan tetapi bahagia), karena pencernaan Anda justru bagus, meski orang yang ada di dekat Anda saat itu pasti klenger. Tetapi kalau saat kehilangan itu tidak seorang pun ada di sekitarmu, yah nikmatilah sendiri apa yang dikaruniakan itu.

Benarkah bekerja di/dalam/dengan TI itu SBD?  Di masa pandemi COVID 19 ini kerja TI sangat terbukti SBD-nya. Mulai anak-anak PAUD sampai mahasiswa brewokan selama harus tinggal di rumah saat ini, tetap tidak kehilangan kesempatan belajar dan belajar berkat kerja TI yang SBD. Jumlah orang yang terlibat langsung secara teknis di model pembelajaran daring mungkin sangat sedikit/terbatas; namun berapa juta orang yang memanfaatkannya, sulit menghitungnya. SBD-nya terletak dalam sejumlah aspek, sebutlah persiapan dan perancangannya, curah waktu yang dipergunakan, konsep dan kontennya, serta tehnik penayangannya. Semua itu dilaksanakan tanpa ribut-ribut (karena sedikit orang dan secara teknologik?); dan menjadi semakin menghanyutkan ketika hasilnya dipakai secara daring oleh siapa pun yang memerlukannya.

SBD-nya kerja TI merambah ke orang/pihak yang dulu-dulunya tergolong “buta,”  -seperti sebutlah sebagian besar orangtua siswa- , kini mereka mampu mendampingi anak atau cucunya belajar secara daring. Awalnya banyak yang protes, berontak bahkan, karena benar-benar gagap teknologi; namun dalam keterpaksaan, bagaikan orang sebelah yang terdampak kentut SBD, meski klenger yahhh mau tidak mau harus mengikuti arus zaman TI.  Setelah mengawali tertatih-tatih, kini banyak orang mulai menikmati manfaatnya, termasuk orang-orang yang kini keasyikan belanja secara on line, ongkang-ongkang nunggu tukang ojek antar makanan, dan sebagainya.

Kalau pemilik kentut jenis SBD justru bahagia kehilangan, SBD karena kerja TI memang ada sejumlah hal yang hilang namun bukan membahagiakan, melainkan bisa menyedihkan ke depannya. Berlama-lama berada dalam kondisi wabah corona seperti sekarang, meskipun kita sangat dibantu secara luarbiasa oleh hasil kerja TI, hidup dan relasi sosial kita akan semakin membuat kita blangkemen, maksudnya semakin tidak pandai berkata-kata. Ada bahaya relasi sosial kita bisa terganggu secara permanen, diambil alih oleh semakin asyik dan pandainya kita menggerakkan jari dan jempol untuk berelasi sosial. Jangan-jangan kita nanti pangling secara sosial, seperti burung yang dikandang terus dalam piaraan dan semakin menikmati kondisinya, menjadi kebingungan ketika dilepas lagi di alam bebas: Mau terbang jauh/tinggi semakin takut, mau berkicau bebas juga malu bersaing dengan burung lainnya di alam bebas, jangan-jangan diperangkap orang, dan seterusnya.

Seperti saya katakan kemarin, sehebat dan seasyik apa pun buah kerja TI, hendaklah jangan membuat kehidupan sehari-hari menjadi semakin a-sosial. Seperti dalam dunia para burung piaraan tadi, meskipun dilepas bebas di alam raya, karena kehidupannya semakin a-sosial, ia cumbu, artinya lebih senang balik lagi ke sangkarnya dengan berbagai alasan.

Jangan sampai seperti itulah!

Oleh: JC Tukiman Taruna Sayoga, Ph.D. (Akademisi Unika Soegijapranata Semarang)