Jakarta, BISKOM – Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya (Ombudsman Jakarta Raya) meminta Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Covid-19 dan Surat Edaran Gugus Tugas Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Bandara Soekarno Hatta pasca peristiwa penumpukan penumpang pada Kamis, 14 Mei 2020.
Permintaan itu ditujukan pada Ketua Pelaksana Gugus Tugas sebagaimana kewenangannya di dalam Pasal 6 poin b dan c Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang bertindak selaku koordinator, pengendali, dan pengawas pelaksanaan percepatan kegiatan penanganan Covid 19.
“Evaluasi ini penting jika kebijakan kita terkait penanganan Covid-19 masih berfokus pada pemutusan rantai penyebaran virus dan belum berubah menjadi pendekatan herd immunity,” tutur Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho, pada Senin (18/05/2020) dalam keterangan tertulisnya kepada Media.
Saran tersebut disampaikan oleh Ombudsman Jakarta Raya setelah melakukan permintaan keterangan dan sidak ke Bandara Soetta pada hari Sabtu, 16 Mei 2020. Permintaan keterangan dan sidak ini untuk melihat pelayanan publik atas pencegahan Covid-19 di Bandara Soetta selama pelaksanaan kedua kebijakan tersebut di atas yaitu sejak mulai diberlakukannya pada hari Kamis (15/05/2020) sampai saat Ombudsman Jakarta Raya melakukan pemeriksaan.
“Kami menemukan, ada potensi besar Bandara Soetta menjadi wahana cluster penyebaran Covid-19 baik pada tanggal 14 Mei 2020 maupun di hari-hari berikutnya,” ujar Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya lagi. Potensi tersebut didasarkan pada hasil temuan Ombudsman Jakarta Raya terkait kesiapsiagaan otoritas Bandara Soetta dan para pihak lainnya dalam melaksanakan kedua kebijakan tersebut.
Ombudsman Jakarta Raya menemukan bahwa seluruh dokumen perjalanan dalam peristiwa 14 Mei 2020 dan sampai hari saat proses pemeriksaan dilakukan tidak ada yang divalidasi keabsahannya. ”Jangankan untuk melakukan validasi dokumen-dokumen perjalanan tersebut, untuk melakukan pengecekan kelengkapan dokumen saja otoritas bandara dan para pihak lainnya di bandara tidak mampu,” lanjut Teguh.
Khusus pada tanggal 14 Mei 2020, berdasarkan keterangan dan dokumen yang diperoleh tim Pemeriksa Ombudsman, saat itu hanya ada satu check point untuk 13 penerbangan. Sementara jangka waktu antara satu penerbangan dengan yang lain tak lebih dari 20-30 menit saja. Dengan asumsi penerbangan tersebut mempergunakan pesawat tipe Boeing 737-900ER atau yang sekelas dengan kapasitas tempat duduk 215 tempat duduk, dan izin penerbangan tersebut hanya boleh di isi 50% nya, maka ada sekitar ± 1.300 calon penumpang yang harus diverifikasi oleh seluruh petugas di lapangan.
“Jadi dengan situasi ini bisa dipastikan, tidak ada proses check and re-check oleh petugas di lapangan terhadap keabsahan dokumen tersebut, bahkan untuk sekedar memastikan bahwa para penumpang memiliki seluruh dokumen yang diperlukan. Dan hal tersebut terkonfirmasi dari keterangan Otoritas Bandara yang menyatakan bahwa tidak ada proses validasi dokumen” kata Teguh.
Hal tersebut tidak hanya terjadi pada tanggal 14 Mei 2020 saja, Tim Ombudsman pada saat melakukan pemeriksaan di tanggal 16 Mei 2020 menemukan penumpang tetap bisa berangkat sekalipun dari daftar check list dokumen yang bersangkutan tidak memenuhi syarat. Pihak Otoritas Bandara mengaku telah melakukan perbaikan dan evaluasi dengan memecah check point dari hanya dipusatkan di 1 (satu) titik menjadi dibagi ke dalam 4 lapis/layer.
Namun hal tersebut tidak lantas memperbaiki sistem pengecekan keabsahan dokumen yang dimiliki penumpang. Jumlah personil dan kewenangan yang terbatas serta jeda waktu antar penerbangan menyebabkan proses pengecekan keabsahan dokumen kepada pihak yang memberikan izin termasuk para pejabat Eselon II bagi PNS yang melakukan perjalanan dinas, pimpinan perusahaan, dan atau aparat pemerintah yang mengeluarkan izin perjalanan atau rumah sakit yang menjalankan tescovid tidak mungkin dilakukan.
“Jadi perbaikan yang dilakukan hanya untuk menapis penumpang dari sisi kelengkapan administrasi bukan pada validasi dokumen, dan di level pemeriksaan kelengkapan saja masih bolong,” lanjut Teguh. Hal ini masih terjadi, karena pemeriksaan awal di check point 1 dan pemeriksaan akhir di check point 4 dilakukan oleh pihak maskapai.
Aspek lain yang menjadi temuan oleh Ombudsman adalah tidak adanya proses strerilisasi kawasan pemeriksaan. Sehingga banyak pihak yang tidak berkepentingan termasuk terduga calo yang “membantu” para calon penumpang untuk lolos proses pemeriksaan. Potensi tersebut sangat mungkin terjadi, karena Ombudsman menemukan pihak-pihak tersebut juga menawarkan jasa “perbantuan” di Drop Zone Area. Mereka menawarkan jasa membantu penumpang untuk berangkat atau jika pesawat telah memenuhi batas kuota, tawaran berikutnya berangkat dengan travel plat hitam ke daerah-daerah tujuan penumpang.
“Kami sampai pada kesimpulan bahwa pelaksanaan mudik dengan pembatasan yang pemeriksaan dokumennya dilaksanakan langsung di bandara adalah sebagai mission impossible bagi para operator di lapangan,” ujar Teguh. Ombudsman mengkhawatirkan hal tersebut juga akan terjadi di stasiun kereta untuk para calon penumpang kereta luar biasa dan terminal-terminal. “Bandara yang proses pemeriksaannya jauh lebih baik dan ketat di banding stasiun dan terminal saja tidak mampu melakukan verifikasi keabsahan dokumen, apalagi di stasiun dan terminal.”
Permasalahan tersebut sebenarnya telah diwanti-wanti sejak dari awal oleh Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie. Sejak dari awal, Alvin mengingatkan bahwa potensi Maladminitrasi dalam pelaksanaan Permenhub 25/2020 di Bandara dapat memicu kekacauan. “Lemahnya pengawasan dan koordinasi oleh Otorita Bandara dengan AirNav Indonesia (pengaturan Slot), PT. Angkasa Pura II (pengaturan fasilitas, SDM, dan alur antrean), airlines (jumlah penumpang dan jadwal pemberangkatan), KKP (verifikasi kesehatan), serta Gugus Tugas (verifikasi persyaratan administrasi) akan berdampak pada kekacauan saat pelaksaannya nanti,” papar Alvin.
Penyebab lain yang telah diingatkan Alvin Lie yaitu buruknya proses perencanaan penyelengaraan pelayanan tersebut. “Pemerintah tidak menyiapakan sistem layanan yang sudah melaui proses quality assurance yang memadai seperti simulasi dan evaluasi dari hasil simulasi tersebut,” lanjut Alvin lagi.
Untuk itu, Ombudsman Jakarta Raya sebagai lembaga pengawas pelayanan publik di Jakarta dan wilayah penyangga memberikan saran korektif kepada para pihak termasuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. “Benar bahwa kebijakan ini merupakan kebijakan di tingkat pusat, tapi dampak kebijakan tersebut berpengaruh terhadap layanan publik di wilayah pengawasan kami,” terang Teguh.
Adapun saran korektif dari Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya adalah:
Pertama, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melakukan tracking kepada para penumpang yang berangkat pada tanggal 14 Mei 2020 dan setelahnya karena ada potensi para penumpang tersebut memberikan keterangan palsu terkait status kesehatan mereka dan adanya proses pelanggaran batas maksimal jumlah penumpang yang pastinya melanggar ketentuan physical distancing di dalam pesawat. Hal ini harus dilakukan mengingat tidak ada proses verifikasi keabsahan data oleh para pihak dalam peristiwa tersebut.
Kedua, menghentikan seluruh proses kegiatan penerbangan, perjalanan kereta kereta api, maupun angkutan transportasi mudik lainnya sebelum dilakukan proses evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan yang telah ada selama ini termasuk perlunya simulasi sistem dan uji coba mekansime pengecekan keabsahan dokumen.
Ketiga, bahwa proses verifikasi dan pemeriksaan dokumen tidak mungkin dilaksanakan di tingkat operator baik di bandara, stasiun maupun para petugas kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya di lapangan baik karena keterbatasan personil, kewenangan, kapasitas, potensi conflict of interest, dan keterbatasan waktu untuk melakukan pengecekan. Perlu adanya peninjauan kebijakan di dalam Permenhub 25/2020 agar proses pemeriksaan keabsahan dokumen dilakukan melalui satu pintu di Gugus Tugas baik di tingkat pusat maupun provinsi melalui proses screening dan wawancara kepada pemberi izin perjalanan setingkat Eselon II di PNS, Direktur di perusahaan swasta, dan atau surat jalan dari aparat pemerintah desa/kelurahan. Termasuk di dalamnya adalah kesiapan para pemberi izin tersebut menghadapi konsekuensi hukum pemalsuan dokumen jika memberikan izin perjalanan yang tidak sesuai.
Keempat, sebagai pelaksana teknis pemeriksaan dokumen penerbangan, Kepala Otoritas Bandara Soekarno Hatta harus menempatkan petugasnya dan petugas Polri pada Check Point 1 untuk menggantikan petugas dari maskapai dan melakukan filter potensi kecurangan yang dilakukan oleh calon penumpang serta mencegah penyalahgunaan berkas yang tidak sesuai ketentuan dan tujuan perjalanan atau tidak berkaitan dengan penanganan Covid-19.
Kelima, Kepala Otoritas Bandara Soekarno Hatta memerintahkan Inspektur Penerbangan untuk meningkatkan pengawasan serta melakukan tindakan tegas kepada setiap pelanggar termasuk maskapai dengan mengacu kepada kewenangan serta ketentuan yang berlaku.
Keenam, Direktur Utama Angkasa Pura II untuk melakukan analisis dan evaluasi tata ruang serta sarana prasarana agar tidak terjadi penumpukan penumpang pada saat pemeriksaan di setiap check point terkait pelaksanaan kebijakan physical distancing.
Terakhir, Kapolres Bandara Soekarno Hatta melakukan pengamanan serta sterilisasi calo atau orang yang tidak berkepentingan di area Bandara Soekarno Hatta untuk memutus tindakan kecurangan dengan tujuan meloloskan calon penumpang yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana Surat Edaran Gugus Tugas Nomor 4 Tahun 2020. (Hoky)