Akademisi Unika Soegijapranata, JC Tukiman Taruna Sayoga, Ph.D.

Semarang, BISKOM – Adakah nawaitu orang yang secara sengaja melakukan komunikasi “acak-kadut?” Jawabannya: Ada! Dalam paribasan bahasa Jawa (peribahasa), ada ungkapan “Dhandhang diunekake kontul; kontul diunekake dhandhang.” Dhandhang itu burung gagak, dan kita tahu warnanya (pasti) hitam; sedangkan kontul (ingat jargon holopis kontul baris…..) itu juga jenis burung, berkaki relatif panjang, berwarna putih; dan ada yang menyebut kontul ini belibis. Sejatinya antara burung gagak dan belibis, antara yang satu berwarna hitam dengan kaki relatif pendek, dan yang satu warnanya putih, sangatlah jelas perbedaannya. Meskipun begitu, lagi-lagi karena nawaitunya memang mau melakukan acak-kadut- , si dhandhang mati-matian disebutnya kontul, dan si kontul dipanggil-panggil dhandhang.

Ada maksud apa kesengajaan itu dilakukan? Sekurangnya terdapat empat alasan dapat dipetakan untuk mencari tahu atas tindakan kesengajaan itu. Pertama dan yang utama ialah kesengajaan seperti itu pasti sebuah strategi yang dipilih secara sadar penuh perhitungan. Dhandhang diunekake kontul, kontul diunekake dhandhang, sebuah kekeliruan disengaja, bahkan dia siap untuk ditertawakan khalayak atas perilakunya; karena ia menduga bahkan berhitung secara yakin bahwa pasti ada saja orang belum tahu mana si dhandhang dan mana si kontul. Kalau ia berulangkali mengatakan kepada orang yang belum tahu: Ohhh … yang berwarna hitam itu kontul, sedang yang berwarna putih itu dhandhang; pasti “masuklah” apa yang salah itu sebagai suatu kebenaran di benak orang yang belum tahu.

Model dan strategi komunikasi menganut ngelmu “kelirumologi” semacam ini sebenarnya bukan barang baru; namun akan terasa amat baru kalau kemampuan mengemasnya sesuai dengan arah angin.  Sampai-sampai saat ini, -utamanya orang-orang yang betul-betul tidak paham- , terpecah pengetahuan kesejarahannya: Siapa atau pihak mana saja yang selama ini mati-matian menegakkan Pancasila, dan siapa pula yang sengaja mengaku diri seraya menyebut pihak lain  sebagai kontul padahal sebenarnya dhandhang atau sebaliknya. Ruwet memang bagi yang pengetahuan kesejaharannya cekak/pendek, meski seperti telah dikatakan di atas, sejatinya dari warnanya saja sudah jelas, mana yang hitam (gagak) dan mana yang putih (belibis).

Kedua, komunikasi “acak-kadut” dengan mengutamakan “kelirumologi” ditempuh karena sudah selalu menemui jalan buntu atau jalan sangat panjang ketika harus wajar-wajar saja. Dengan kata lain, memengaruhi persepsi masyarakat dengan cara dhandhang diunekake kontul, kontul diunekake dhandhang berarti berani membuat jalan pintas baru.  Namanya jalan pintas, pasti sempit dan apa adanya; namun kalau jalan itu dirasa akan mempercepat dan memperpendek jarak tempuh, mengapa tidak. Begitu kira-kira cara berfikir yang harus kita petakan. Ketiga, berani penuh kesengajaan menyebut gagak sebagai belibis dan sebaliknya belibis sebagai gagak, berarti berani memutar-balikkan fakta dengan segala resiko yang menyertainya. Kalau sekedar ditertawakan orang, pasti itu dianggapnya resiko enteng-enteng saja. Kalau pun, taruhlah, ada orang atau pihak yang membodoh-bodohkan, mungkin dia sudah siap bersikap EGP, emang gue pikirin. Tegasnya, ia sudah tekad bulat dan karena itu (pikirnya) harus nekad.

Dan keempat, jangan-jangan, ia sendiri yang menyebut burung gagak sebagai belibis, dan menyebut belibis sebagai burung gagak benar-benar tidak tahu kalau ia tidak tahu. Mungkinkah terjadi seperti itu, yaitu orang sebenarnya tidak tahu tetapi mengaku dirinya (paling) tahu; bahkan menyatakan orang lain sama sekali tidak tahu (apa-apa) seperti yang ia ketahui? Sangat-sangat mungkin. Kondisi acak-kadut justru akan semakin kacau apabila orang yang sebenarnya tidak tahu ini menguasai media komunikasi.

Hati-hati terhadap komunikasi yang sengaja  “diacak-kadut” seperti ini, karena yang benar dapat menjadi sama sekali salah, dan yang faktanya salah bisa dibenarkan.

Penulis: JC Tukiman Taruna Sayoga Ph.D., Akademisi Unika Soegijapranata Semarang (red)