Zainal Bintang, Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya bersama PemRed BISKOM, Soegiharto Santoso alias Hoky.

Jakarta, BISKOM – Hari Minggu pagi, 02 Agustus pukul 10.13, saya menerima postingan dari Ilham Bintang (Ketua Dewan Kehormatan PWI) yang berjudul “Caligula”. Dimulai dengan tulisan begini : “…barusan nonton lagi film cerita jadul yang mengisahkan kiprah Caligula, Kaisar Romawi (Tahun 37 – 41 M). Kaisar paling buruk dan kacau dalam sejarah Romawi. Demi melanggengkan kekuasaan ia labrak seluruh tatanan masyarakat Rowawi masa itu…dst..dst..

Mendengar kata “Caligula” ingatan melayang ke tahun 1970. Ketika itu di TIM (Taman Ismail Marzuki), Cikini Jakarta, sedang dipentaskan drama “Caligula” dari 13 – 15 Januari 1970. Saya sempat menontonnya. Dimainkan oleh grup “Teater Kecil” pimpinan sutradara dan sastrawan papan atas Indonesia, Arifin. C.Noer. Saya mengenal dekat Arifien C. Noer. Pada tahun 70an dia bolak balik ke Makassar melakukan riset mengenai adat istiadat orang Bugis Makassar. Dia yang menulis skenario film “Sanrego” produksi Alam Film Makassar. Film yang berlatar belakang kultur Bugis Makassar yang berprofesi bajak laut itu. Dibintangi WD. Mochtar dan Rakhmat Hidayat.

“Caligula” adalah sebuah reportoar (lakon drama) kelas dunia karya Alber Camus. Diterjemahkan Asrul Sani. Tokoh sastrawan Indonesia pendiri ATNI (Akademi Teater Indonesia) itu, telah melahikran banyak aktor besar Indonesia, baik di pentas teater maupun di perfilman. Sebutlah aktor Soekarno M.Noer dan adiknya Ismet Noer. Ada nama Pietradjaya Burnama, Wahab Abdi. Kalangan sutradara teater dan film ada Wahyu Sihombing dan Teguh Karya dan lain-lainnya.

“Caligula” bercerita tentang seorang kaisar muda yang memerintah Roma dengan ambisi dan obsesi di luar akal manusia. Karena ambisinya, ia mengorbankan semua yang dimilikinya, termasuk orang-orang Roma, bahkan kekasihnya sendiri, Drusilla yang juga adalah saudara perempuannya yang diperisterikannya.

“Caligula” adalah kaisar ketiga Roma. Dinobatkan pada musim semi tahun 37. Pada masa tujuh bulan pertama pemerintahannya, dia merupakan teladan dari hidup sederhana. Dia meyakinkan senat bahwa akan mematuhi nasehat mereka; bahwa dirinya adalah hamba mereka. Seringkali mengadakan perjamuan-perjamuan besar bagi umum. Bersikap akomodatif terhadap para penentangnya.

Pada waktu akhir musim gugur, tiba-tiba dia terserang penyakit “aneh”. Dan ketika telah sembuh sifatnya berubah total. Sebagian besar kerabatnya di Istana maupun rakyatnya menganggapnya sudah “gila”. Tanda-tanda kegilaan “Caligula” misalnya, ketika memutuskan mengawini Drusilla adik kandungnya sendiri tanpa merasa berdosa. Sang kaisar bejat ini, suka mengambil paksa pengantin-pengantin wanita dari suaminya dan menidurinya.

Memerintahkan orang-orang untuk mengangkat kuda kesayangannya yang bernama Incitatus untuk menjadi imam di kuil. Gemar menyebar terror, tiba-tiba di dalam suatu jamuan makan di Istana, “Caligula” beteriak lantang: “aku sedang berpikir bahwa hanya dengan satu anggukan kepala, aku dapat menitahkan leher kalian digorok.” Hadirin langsung senyap.

Sipir penjara diperintahkan mengeksekusi tahanan yang botak, kemudian dicincang-cincang sebagai makanan hewan-hewan yang ada di kebun binatang, ketika sejumlah kebun binatang kehabisan persediaan daging lantaran pemerintah kesulitan keuangan akibat “Caligula” berfoya-foya. Sampai suatu hari, ada pemberontakan yang tidak tahan dengan kekejamannya. Mereka merencanakan untuk melenyapkan sang kaisar. Di akhir cerita, “Caligula” meninggal di tangan pemberontak.

Albert Camus lahir di Mondovi (sekarang Deraan), Aljazair, 7 November 1913. Meninggal dunia pada umur 46 tahun dalam sebuah kecelakaan mobil di Villeblevin pada 5 Januari 1960. Camus adalah penulis dan filsuf Perancis yang terkenal dengan karya-kayanya yang absurd. Perkenalan saya yang lebih intens dengan jalan fikiran Albert Camus serta beberapa sastrawan dunia seperti Ionesco, Sartre, Anton Chekov dan Bertold Brecht atau Sophocles yang terkenal dengan trilogi Oedipus Rex dan lain-lain, bersumber dari pergaulan saya bertahun-tahun dengan tokoh-tokoh sastrawan Indonesia.

Termasuk dengan Umar Kayam, WS Rendra, Putu Wijaya, Taufik Ismail dan Salim Said untuk menyebut beberapa nama. Umar Kayam pernah bertugas beberapa tahun di Makassar. Setiap hari kami bertemu dan berdiskusi di TIM siang dan malam. Dan didukung dengan tersedianya buku-buku dan literatur berkelas dunia di Perpustakaan HB. Jassin di komplek kesenian itu.

Berbagai analisis dan ulasan tentang Camus yang bertebaran di media mainstream Indonesia menyebutkan, bahwa menurut Camus, hidup manusia itu absurd. Absurd adalah sesuatu yang dianggap yang tidak masuk akal. Bahkan konyol. Letak absurditasnya adalah, karena di satu sisi manusia hidup mengarah atau menuju pada masa depan, sementara di sisi lain masa depan itu makin mendekatkan manusia pada kematian. Karena menghadapi absurditas itu, manusia sering kali melakukan kompensasi mencoba melarikan diri, dengan jalan memusatkan perhatian pada agama tertentu atau ideologi tertentu atau bahkan bunuh diri.

Namun demikian, tindakan menyibukkan diri ke dalam agama atau ideologi maupun melakukan bunuh diri ditolak oleh Camus sebagai jalan keluar dari absurditas hidup manusia. Jalan keluar yang tegas baginya, adalah dengan melakukan pemberontakan atas hidup (revolt). Maksudnya, ketika menghadapi hidup manusia harus berani. Manusia tidak boleh lari dari konflik. Tapi harus berani hidup bersama konflik! Tidak perlu takut pada bahaya kematian yang bisa datang setiap saat tanpa diketahui.

Melalui karyanya “Caligula” Camus menggambarkan bahwa manusia mati tidak bahagia dan hidup mereka tidak berarti. “Caligula” memberontak menentang ide ini. Dia memilih tindakan pembunuhan dan kekejaman untuk menegakkan ketertiban dan kontrol atas hidupnya. Camus menerbitkan karyanya ini pada tahun 1944.

Namun diceritakan, dalam salah satu karyanya, Camus mengajukan sebuah epilog di ujung lakon ini dengan mengatakan: “Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu; jika engkau memiliki hati; jika engkau mencintai kehidupan, kau akan mendapati kekuasaan itu tidak terkendali, monster atau malaikat yang kau bawa itu akan masuk ke dalam dirimu. Waktu kita sangat ingin percaya pada nilai dan benda bisa menjadi indah dan berhenti menjadi tidak masuk akal. Selamat tinggal, saya akan kembali ke sejarah dan di sana saya sudah dikurung begitu lama sehingga mereka takut untuk terlalu mencintai. “

“…Alangkah berat, alangkah pedihnya upacara untuk menjadi manusia ini”., kata “Caligula.” Dengan luapan marahnya dia berucap lirih: “Aku mau menyemarakkan kejahatan dengan kebaikan, aku mau memeras tawa dari kesakitan.”

Selain menciptakan maha karya “Caligula”, Camus juga melahirkan beberapa novel yang sangat kesohor ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Paling tidak ada empat yang bisa disebutkan. seperti: Ke Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus), L’Etranger (Orang Asing), Le Malentendu (Kesalahpahaman) dan Novelnya berjudul (Prancis: La Peste) dikarang 1947 dan memperoleh hadiah nobel pada tahun 1957. Dalam bahasa Inggris novel La Peste dikenal dengan nama ”The Plague”. Diterjemahkan oleh NH Dini pada 1985 dengan judul “Sampar”. Diterbitkan Yayasan Obor Jakarta.

Tentu masih ada lagi karya-karya hebat lainnya. Seperti kumpulan esainya yang berjudul “Perlawanan, Pemberontakan, dan Kematian” atau Resistance, Rebellion, and Death. Tema utama dari cerita-cerita tersebut adalah kesendirian manusia dan perasaan asing dan terisolasi dalam masyarakatnya sendiri.

“Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu….” Kata Camus.

Akhirnya, sayapun sulit menjawab menjawab pesan WhatsApp dari teman-teman yang bergerak di luar lingkar kekuasaan yang menulis :

“Dan Albert Camus pun senantiasa ada dan hidup di dalam nafas atas kita, setiap kali aroma ketidakadilan menyebarkan bau yang tidak sedap. Bersumber dari kekuasaan yang menghalau kontrol; menyingkirkan sikap kritis dan merampas sumber mata air demokrasi dari tangan alam ini. Alam kemerdekaan berpendapat beda dan berbeda pendapat”. (Hoky)