Jakarta, BISKOM – Kemajuan penelitian tenaga nuklir di Cina memasuki babak baru. Pada Jumat (4/12/2020) China berhasil menyalakan reaktor fusi nuklir yang disebut sebagai “matahari buatan”. Reaktor yang disebut HL-2M Tokamak itu merupakan perangkat penelitian eksperimental fusi terbesar dan tercanggih di Cina.
Para ilmuwan mengungkapkan bahwa reaktor fusi nuklir tersebut menggunakan medan magnet yang kuat untuk memadukan plasma panas yang dapat mencapai suhu hingga lebih dari 150 juta derajat Celcius, seperti dikabarkan surat kabar People’s Daily.
Seperti tokamak–akronim dari Rusia yang dalam bahasa Inggris bermakna ‘toroidal chamber with magnetic coils’–lainnya yang ada di beberapa negara tertentu, HL-2M yang berlokasi di Chengdu, Provinsi Sichuan, didesain untuk mereplikasi reaksi alami yang terjadi pada Matahari. Energi listrik dibangkitkan dari reaksi gas hidrogen dan deuterium. Dari reaksi fusi nuklir yang terkontrol tersebut diharapkan tersedia sumber energi bersih baru. Tokamak HL-2M tercatat sebagai pemilik paramater tertinggi dan terbesar di antara tiga unit tokamak domestik besar yang saat ini telah ada di Cina.
Menyikapi hal tersebut, Kepala Pusat Teknologi dan Keselamatan Reaktor Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Dhandang Purwadhi mengungkapkan kendala Indonesia dalam meniru penelitian matahari buatan Cina yang memanfaatkan tenaga nuklir.
Menurut Dhandang, kendala pertama adalah masalah pendanaan. Sebabnya, dana yang dibutuhkan untuk melakukan riset reaktor fusi nuklir sangat besar. Diketahui, untuk melakukan riset reaktor fusi nuklir, yang dilakukan China menggunakan Tokamak menghabiskan sekitar US$ 22,5 miliar, atau setara dengan Rp310 triliun.
Disamping kendala dana, Indonesia juga dihadapkan dengan kendala lain, seperti ketersediaan SDM peneliti dan komponen untuk membuat fusi nuklir. Untuk SDM sendiri, Dhandang menjelaskan Indonesia memiliki peneliti dengan kompetensi utama di bidang tenaga nuklir, namun masih dinilai kurang untuk melakukan riset penelitian reaktor fusi.
Hal itu menurut Dhandang, bisa teratasi dengan melakukan pendidikan dan pelatihan reaktor fusi. Selain itu, pihaknya juga bisa meminta Badan Tenaga Atom Internasional untuk mendongkrak level kompetensi peneliti di Indonesia.
Selain itu, kendala yang harus dihadapi Indonesia untuk membuat reaksi fusi yaitu ketersediaan komponennya yang harus didatangkan dari luar negeri karena belum tersedia di Indonesia.
Lebih lanjut Dhandang menjelaskan, BATAN tidak memiliki topik untuk mengembangkan atau meneliti reaktor fusi karena tidak ada dalam Prioritas Riset Nasional (PRN). Meski demikian, hal itu tidak menutup penelitian reaktor fusi oleh individu atau lembaga di Indonesia.
“Dalam Renstra terbaru BATAN tidak ada program yang mengarah ke litbang reaktor fusi, karena tidak ada topik dalam Prioritas Riset Nasional (PRN) kita. Tetapi mungkin saja ada mahasiswa postgraduate atau postdoctoral yang sedang belajar atau riset di luar negeri, mengerjakan riset terkait dengan reaktor fusi,” ucapnya.
Rencananya, matahari buatan Cina tersebut akan dikomersialkan pada tahun 2050. Namun, rencana Negeri Tiongkok itu diragukan banyak fisikawan nuklir dunia yang memandang rencana tersebut terlalu mahal, berisiko, dan bisa dibilang tidak ada harapan. (red)