Zainal Bintang, Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya bersama PemRed BISKOM, Soegiharto Santoso alias Hoky.

Jakarta, BISKOM – Istilah “Magic If” atau “keajaiban jika”, itu saya kutip dari salah satu cukilan teori ilmu seni peran atau teori teater yang ditemukan dedengkot teater dunia dari Rusia, Constantin Stanislavsky (1863 – 1938). Salah satu system akting yang digagas oleh Stanislavsky adalah “magic if” atau “keajaiban jika”. Sebuah upaya membangun ruang-ruang imajinasi seorang aktor untuk dapat mendalami karakter tokoh.

Pertanyaan kunci dari metode “Keajaiban Jika” adalah, “Apa yang saya lakukan jika saya adalah tokoh”, “Apa yang saya pikirkan jika saya adalah tokoh”, dan “Apa yang saya rasakan jika saya adalah tokoh”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membantu aktor untuk lebih jauh mengenal tokoh yang akan diperankannya. Teori itu punya korelasi dengan adagium klasik: “Politics is the art of the possible.” (Politik adalah seni dari kemungkinan). Diucapkan Pangeran Otto von Bismarck, kelahiran Schönhausen, Germany (1815 – 1898). Otto adalah seorang pembangun kekaisaran Jerman yang ultra-konservatif dan manipulator ahli.

Berbicara tentang seni dan teater, tentu analog dengan panggung pentas yang memantulkan fragmen arus besar kehidupan manusia sehari-hari. Dari atas panggung sejumlah seniman teater mencoba merefleksikan kembali “daun-daun kecil” kehidupan yang tercecer dari pohon-pohon besar yang kadangkala luput ditangkap mata biasa. Daripadanya potret tumpukan catatan kehidupan manusia yang sendu, hipokit, psikopat dan riang gembira tersimpan.

Adagium “politik adalah seni dari kemungkinan” yang dimainkan dengan cara berseni membuka sejuta kemungkinan. Itu yang menjelaskan mengapa Stanislavsky menyebutnya “magic if” (keajaiban jika). Bayangan tokoh teater dunia itu berkelebat, ketika terjadi kegaduhan mendadak dunia politik akibat kasus isu “kudeta” Demokrat.

Ketua Umum Partai Demokrat AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) menyampaikan pidato resmi di sebuah panggung yang dirancang, Senin siang (01/02/2021). Mewartakan partainya sedang dalam keadaan bahaya. Ada gerakan gelap menggagas pergantian pengurus partai berlambang mercy itu. Melibatkan elemen negara, meminjam istilah Andi Mallarangeng, mantan Menpora kader ideologis SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) presiden dua priode (2004 – 2014).

Moeldoko, Jenderal bintang empat purnawirawan TNI – AD yang kini menjabat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) sedang menjadi “tertuduh” selaku aktor utama yang disebut dalam rancangan “kudeta”. Mantan Panglima TNI itu menjadi repot membantah semua “tembakan” yang diarahkan kepadanya. Kasus ini terangkat ke ranah publik. Menjadi santapan menu utama “premium time” media elektronik. Mendongkrak nama Demokrat yang selama ini sepi pemberitaan. Jika dirunut seluruh rangkaian tuduhan dan digabung dengan potongan demi potongan bantahan, tidak bisa dipungkiri tersajilah sebuah “teater politik” yang dramatis terkait “politik adalah seni dari kemungkinan”. Jika jeli mencermatinya: Stanislavskypun hadir disitu.

AHY memaparkan kegundahannya melalui panggung terbuka yang sangat teateral. Frasa “kudeta” yang seksi dibumbui narasi merangsang: “telah mengirim surat kepada presiden Jokowi mempertanyakan langkah Moeldoko”. Mesin giling tersembunyi “magic if” bekerja cepat. Apakah surat itu ditanggapi atau tidak oleh Jokowi bukan soal. Isu kudeta Demokrat berhasil melampaui jumlah berita semrawutnya penanganan Covid 19. Tudingan budaya “playing victim” oleh nitizen bermunculan ditujukan kepada AHY. Dianggap penerus “warisan” budaya itu.

Sejatinya bagi Moeldoko tembakan isu kudeta menguntungkan dirinya. Sesungguhnya dia sadar bisa menangguk manfaat sebagai “plying victim” di luar rencana. Sejumlah tokoh pendiri Demokrat merapat kepadanya. Membeberkan adanya timbunan keresahan terhadap Demokrat. Terkait ketidakpuasan atas kinerja pengurus lama dibawah komando SBY selaku ketua umum yang kemudian berkelin dan kegalauan atas proses keterpilihan AHY sebagai Ketua Umum baru pada Kongres V Demokrat 15 Maret 2020.

“Politik itu memang seni dari kemungkinan”. Sesuatu yang tidak mungkin dapat diubah menjadi mungkin. Sebaliknya sesuatu yang mungkin dapat diubah menjadi menjadi tidak mungkin. Dalam politik, strategi dan taktik poco poco sangat penting. Mendadak berubah itu bukan aib. Bukan kinistaaan tapi keniscayaan. Kegesitan “merubah haluan mendadak” dimaknai publik sebagai kecerdasan “buatan” khusus yang dimiliki para ketua umum. Semacam bakat alam dan diklaim sebagai karya seni yang bermutu tinggi.

Tarik ulur revisi UU Pemilu adalah bagian tak terpisahkan dari dramatisasi teater politik yang sarat dengan “magi if”. Politik sebagai seni dari kemungkinan yang digunakan penguasa, termasuk penguasa partai politik untuk bermain-main dengan kewenangannya.
Panggung besar teater politik menampilkan tampang parpol yang terlihat telanjang kehilangan busana idealisme. Telanjang dari perilaku tidak satunya kata dan perbuatan. Tanpa rasa berdosa. Molornya proses Prolegnas (program legislasi nasional) adalah bagian dari inkonsistensi elit politik. Polemik seputar RUU Pemilu dinilai terlalu berkutat pada ambisi kepentingan politik praktis dan kalkulasi parpol dalam menghadapi kontestasi Pemilu 2024.

Menurut sementara pengamat, partai yang bersikeras melaksanakan Pilkada Serentak 2024 memiliki kepentingan tersendiri. Inkonsistensi verbal sikap dari partai yang menolak Pilkada pada 2022 dengan alasan Indonesia masih menghadapi pandemi Covid 19 berbanding terbalik ketika penuh sukacita mendukung Pilkada 2020 tetap diadakan 09 Desember 2020.

Yang menarik, nyaris semua perubahan haluan politik yang mendadak-mendadak itu, oleh sebuah parpol atau lebih, dibungkus dengan cover apologis: demi kepentingan nusa dan bangsa! Atau harus menyesuaikan diri dengan haluan pembangunan presiden! Politik sebagai seni dari kemungkinan. Bergabung bersama lawan politik sebelumnyapun bukan masalah. Perburuan kekuasaan seakan memberi kartu “kekebalan” moralitas kepada elit politik untuk berubah-ubah seenaknya. Menukarnya dengan opsi lain yang murahan. Dan karenanya berakibat pupusnya integritas.

Mengapa begitu? Bayangan tokoh teater dunia itu Stanislavsky berkelebat kembali: “magic if” itu lagi. Seorang teman mengirim pesan WhatsApp tepat jam tiga subuh saat sholat tahajud. Isinya mengutip sepotong nyanyian: “dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah……”. Potongan syair lagu Si Kribo Ahmad Albar itu membuat saya sempat tersenyum. Tapi, mendadak berubah getir. Getir lantaran benarnya!! (Hoky)