Dr. Maruarar Siahaan, SH saat memberikan keterangan sebagai ahli pada Senin (22/02/2021)

Jakarta, BISKOM – Dr. Maruarar Siahaan, SH., dihadirkan sebagai ahli pihak Pemohon dalam sidang perkara Nomor 19/PHP.BUP-XIX/2021 yang digelar pada Senin (22/2/2021) di Ruang Sidang Panel III Gedung MK, Jakarta. Maruarar hadir secara daring (online) bersama dengan kuasa hukum Pemohon dan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Nomor Urut 3 Agustinus Niga Dapawole dan Gregorius H.B.L. Pandango selaku Pemohon.

Dalam statement pembuka keterangannya, Maruarar menyampaikan kesan umum penyelenggaraan Pilkada. Dirinya berpendapat bahwa cita-cita untuk bisa mewujudkan suatu demokrasi yang benar-benar dikawal oleh nomokrasi atau hukum tampaknya belum berlangsung dengan sempurna dan meskipun demikian ada pula kemajuan-kemajuan.

“Khususnya untuk pilkada Sumba Barat, menurut hemat saya ada beberapa indikator yang sangat penting untuk dikemukakan yaitu secara umum kita lihat bahwa Bawaslu telah menjatuhkan suatu sanksi terhadap penyelenggara dan kemudian ditindaklanjuti oleh KPU, tetapi tidak ada satu langkah yang relevan dengan suatu koneksitas antara proses dengan hasil sehingga tidak membawa  suatu dampak apa yang dikatakan bahwa hasil yang diperoleh itu adalah hasil yang benar-benar terlaksana sebagai hasil dari daulat rakyat,” kata Maruarar.

Ia menjelaskan, secara umum ini menjadi sebuah kelemahan. “Terbukti ada pelanggaran tetapi pelanggaran itu seolah-olah tidak berkorelasi dengan hasil yaitu hasil penghitungan suara yang sebenarnya ini adalah suatu isu pokok dalam pemilihan yaitu daulat rakyat sebagai kehendak rakyat akan terwujud dalam hasil perolehan suara yang dihitung secara tepat. Karena proses pasti berdampak pada hasil,” terangnya.

“Proses yang buruk atau melanggar ketentuan yang ada pasti akan berdampak pada hasil. Artinya kalau proses buruk, maka hasil menjadi tidak seperti yang diharapkan. Setiap pelanggaran yang menafikkan demokrasi, dalam arti hak rakyat, daulat rakyat untuk menentukan siapa yang akan duduk di kursi pimpinan daerah itu pastilah akan berdampak pada jumlah yang diukur dari suara setiap pemilih. Oleh karena itu, proses yang buruk, hasilnya pasti buruk dalam arti tidak menggambarkan demokrasi yang diharapkan atau ditegaskan secara konstitusional,” tegas hakim konstitusi periode 2003-2008 ini.

Menanggapi pertanyaan kuasa hukum Pemohon soal adanya penyelenggara yang sudah melakukan pelanggaran dan terbukti oleh Bawaslu dan ditindaklanjuti oleh KPU, apakah ketika pelanggaran tersebut sudah dikenakan sanksi terhadap penyelenggara juga serta merta menghilangkan semua pelanggaran proses yang terjadi dalam pilkada, Maruarar berpendapat bahwa MK tidak akan pernah memperkenankan keadilan prosedural mengenyampingkan keadilan substantif.

“Indikator rekomendasi Bawaslu sudah menjadi bukti yang otentik bahwa memang ada pelanggaran. Tetapi pelanggaran itu sanksinya terhadap penyelenggara bukanlah menjadi tujuan utama, tetapi bagaimana meluruskan proses itu sehinggga hasil yang akan menjadi tujuan untuk menjadi ukuran menentukan seorang kepala daerah itu adalah akan terpusat pada suara yang diperoleh. Oleh karena itu proses harus diluruskan, sehingga hasil yang diperoleh menggambarkan daulat rakyat,” tuturnya.

Maruarar menegaskan bahwa saat bukti-bukti itu dapat ditunjukkan, maka MK sebagai benteng terakhir peradilan harus meluruskan. “Apakah dengan proses pemungutan suara ulang atau perhitungan suara ulang atau diskualifikasi pasangan calon yang melanggar tergantung kepada bobot yang ditemukan dan diukur oleh MK,” pungkasnya. (Vincent)

Artikel Terkait:

Terungkap di Mahkamah Konstitusi, KPU Sumba Barat Buka Kotak Suara Tanpa Dihadiri Bawaslu

KPU Sumba Barat Diduga Tidak Netral, Pemohon Lapor ke Mahkamah Konstitusi

Komisioner KPU dan Bawaslu Sumba Barat Dilaporkan ke DKPP