BISKOM, Jakarta – Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak ‘denial’ dengan kondisi Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) di wilayah Jakarta Raya. “Situasi rumah sakit di Jakarta Raya bukan hanya over capacity, tapi over capacity yang tidak tertangani dan menyebabkan kolapsnya pelayanan penanganan kesehatan baik bagi pasien kritis Covid maupun pasien kritis non- Covid,” ujar Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho kepada media, 7 Juli 2021.
Pernyataan ini disampaikan Ombudsman Jakarta Raya setelah melakukan pemantauan terhadap pelayanan Rumah Sakit di Jakarta dari akhir Juni 2021 sampai dengan awal Juli 2021. Selain menindaklanjuti laporan permintaan untuk mendapatkan ruang isolasi dan layanan ICU, Ombudsman juga meminta keterangan kepada rumah sakit terkait dan cross checking ketersediaan rumah sakit melalui aplikasi Sistem Informasi Rawat Inap (Siranap versi 2.0).
Sejak tanggal 21 Juni 2021, Ombudsman sudah menerima laporan dan konsultasi dari keluarga pasien Covid-19 kritis yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan layanan ruang isolasi baik di Bogor, Bekasi, Depok dan Jakarta. “Kondisi over capacity seperti yang disampaikan Kemenkes benar adanya, BOR dan ICU di semua daerah sudah mencapai angka 90%, jauh diatas standar WHO 60%,” lanjut Teguh. Sementara antrian untuk masuk ruang IGD sebelum masuk ruang Isolasi dan ICU setiap minggu meningkat dari 10-15 antrian di akhir bulan Juni menjadi rata-rata 20-40 antrian di awal bulan Juli.
Hal itu terkonfirmasi lebih lanjut saat Ombudsman meminta keterangan tertulis kepada beberapa Dinas Kesehatan (Dinkes) di wilayah Jakarta Raya dan cross checking data di Siranap versi 2.0. Wilayah Kabupaten dan Kota Bogor termasuk wilayah yang antrian IGD nya paling panjang namun daerah lain sama antrinya. Sementara di Siranap, walaupun masih ada rumah sakit yang memiliki tempat tidur di IGD tapi saat di cek data tersebut tidak valid, tempat tidur IGD penuh dan diikuti dengan antrian panjang pasien.
Sementara data kematian akibat Covid-19 dari tanggal 21 Juni 2021, sejumlah 7.184 hanya untuk Jakarta saja. Jumlah ini terus meningkat mencapai angka 8.861 di tanggal 6 Juli 2021 atau bertambah 1.677 orang. “Angka tersebut fenomena puncak gunung es, karena banyak pasien positif (Covid-19) kritis yang tidak tertangani di rumah sakit dan pasien non-Covid yang juga tidak tertangani akibat penuhnya rumah sakit untuk penanganan Covid,” ujar Teguh lagi. Pasien non-Covid-19 juga menghadapi masalah ketersedian ruang rawat inap. Pasien non-Covid-19 harus seringkali mencari 3-4 rumah sakit sampai akhirnya menyerah dan merawat keluarganya di rumah dengan meningkatnya risiko kematian akibat tidak adanya penanganan.
Ombudsman mengapresiasi upaya Kemenkes untuk menjadikan Wisma Haji Pondok Gede sebagai rumah sakit cadangan dan rencana redistribusi nakes dari beberapa daerah yang masuk zona hijau seperi dari Sumatera dan Kalimantan. “Program tersebut harus segera diakselerasikan mengingat kebutuhan kamar dan nakes di beberapa wilayah sudah sangat tinggi karena dengan konversi tempat tidur 30-40 % justru berpotensi mengurangi pelayanan pasien non-Covid yang jumlahnya juga tidak sedikit,” lanjut Teguh.
Teguh mencontohkan Kota Bogor sudah memiliki rumah sakit darurat sementara, jumlah nakesnya berkurang 30% karena positif Covid-19. Akibatnya layanan di rumah sakit darurat tersebut juga tidak dapat optimal. Sama halnya dengan penambahan tenda di beberapa rumah sakit di Bekasi yang tidak diimbangi dengan rasio penambahan nakes, perawatan terhadap pasien menjadi tidak optimal karena rasionya bisa 1 nakes untuk 20 pasien.
Selain menjadikan Wisma Haji Pondok Gede dan akselerasi redistribusi nakes dari daerah untuk pemenuhan tenaga nakes di daerah-daerah yang nakesnya terhantam gelombang Covid-19 seperti Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, Ombudsman Jakarta Raya meminta Kemenkes dan Pemprov DKI Jakarta untuk mengubah peruntukan wisma-wisma layanan isolasi seperti Wisma Atlet Kemayoran, Pademangan, Rusun Nagrak dan Pasar Rumput menjadi rumah sakit darurat bagi pasien Covid-19 kritis di wilayah Jabodetabek tanpa harus terlalu banyak mengorbankan tempat tidur rumah sakit untuk pasien Covid-19 agar tidak mempengaruhi pelayan pasien non-Covid-19.
“Dengan PPKM Darurat yang melakukan pengawasan hingga di tingkat RW, seharusnya para suspect Covid-19 dengan gejala ringan dan sedang diarahkan untuk melakukan isolasi mandiri dan memperbanyak tenaga tracer dari mahasiswa kedokteran tingkat akhir di puskesmas-puskesmas terdekat,” lanjutnya lagi. “Sementara tenaga kesehatan berizin dan sarana prasarana di wisma-wisma tersebut dapat fokus dipergunakan untuk menangani para pasien kritis yang lebih membutuhkan dengan tambahan sapras,” lanjut Teguh.
Penggunaan sebagian wisma untuk isolasi menurut Ombudsman Jakarta Raya seharusnya hanya diperuntukan bagi suspect Covid-19 yang tidak mungkin melakukan isolasi mandiri karena tinggal di rumah yang sempit, daerah permukiman yang padat atau tidak memiliki keluarga yang membantu selama proses isolasi serta bagi buruh migran yang baru tiba dari luar negeri.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) juga dapat membantu dengan mengkoordinasikan kebutuhan rumah sakit darurat tersebut dengan para duta besar negara sahabat yang mungkin mampu memberikan perbantuan bagi penyediaan fasilitas IGD, isolasi dan ICU di wisma-wisma tersebut sehingga dapat dikonversi menjadi pusat layanan bagi pasien kritis di tengah minimnya ketersediaan alat-alat tersebut di dalam negeri. “Penanganan pasien kritis di Jabodetabek harus terintegrasi sebagai satu kesatuan wilayah megapolitan,” tutup Teguh.
Penurunan Harga Swab Antigen Untuk Meningkatkan 3T
Ombudsman juga menyoroti masih tingginya harga Swab Antigen yang ditentukan oleh Kemenkes. Saat ini konsentrasi para nakes terpecah, antara penangan isolasi, penanganan pasien kritis baik Covid-19 dan non-Covid-19, vaksinasi dan 3T (Tracing, Tracking dan Treatment). “Dengan kondisi seperti itu, tugas para nakes menjadi sangat berat. Dengan SDM terbatas, sarpras terbatas, banyak masyarakat yang melakukan kontak erat dengan suspect covid tidak di-swab sebagai alat deteksi awal tracing dan tracking untuk mendapatkan treatment,” ujar Teguh.
Untuk mengurangi beban para nakes, Ombudsman kembali meminta Kemenkes untuk menurunkan harga Swab Antigen.”Banyak masyarakat di wilayah Jakarta Raya yang tidak ter-tracing setelah melakukan kontak erat dan juga tidak melakukan swab mandiri karena tingginya harga Swab Antigen di tengah ekonomi yang terus merosot,” terang Teguh.
Untuk itu, Ombudsman Jakarta Raya meminta Kemenkes untuk menurunkan harga tes swab di level yang mampu diakses oleh masyarakat menengah bawah. Idealnya, Swab Antigen bisa dilakukan di Faskes Pratama BPJS dimanapun setelah warga masyarakat melakukan kontak erat dengan suspect Covid-19 dengan prosedur yang lebih sederhana tanpa harus menunggu jadwal di puskesmas atau rumah sakit rujukan. Cukup rekomendasi puskesmas sebagai syarat administrasi dan masyarakat sudah bisa tes Swab Antigen di semua Faskes Pratama BPJS. Namun untuk yang belum melakukan kontak erat tapi khawatir dengan penularan Covid-19 dan bermaksud melakukan deteksi dini, fasilitas yang diberikan negara salah satunya dengan menurunkan harga alat deteksi tersebut. “Jika hal ini juga dilakukan secara bussines as usual, dikhawatirkan penurunan angka suspect tidak dengan mudah terjadi karena potensi penyebaran covid menjadi lebih besar akibat keterlambatan proses deteksi,” tutup Teguh. (Hoky)