BISKOM, Jakarta – Selepas sholat Subuh menjelang jam 05.00 pagi, saya mendapat kiriman video lewat WhatsApp dari teman lama saya. Isinya rekaman seorang perempuan muda sedang membawakan lagu Ebiet. G. Ade. “Titip Rindu Untuk Ayah”. Namanya Tami Aulia, lengkapnya Aulia Pramesti Rizki Utami. Tempat dan tanggal Lahir: Praya, Lombok Tengah, NTB, 1998. Sambil memetik sebuah gitar dia mengalunkan dengan sendu syair ciptaan Ebiet itu:
“Di matamu masih tersimpan, Selaksa peristiwa, Benturan dan hempasan, Terpahat di keningmu. Kau nampak tua dan lelah, Keringat mengucur deras, Namun kau tetap tabah, hm-hm, Meski nafasmu kadang tersengal, Memikul beban yang makin sarat, Kau tetap bertahan….”. Tanpa disadari kesenduan lagu dan suara itu ikut merasuk hati. Merasakan seakan-akan lelaki tua yang nampak lelah itu, adalah: rakyat Indonesia!
Mata saya melotot membaca berbagai berita di layar komputer yang menyoal keparahan kondisi masyararakat hari-hari ini akibat serangan Pandemi Covid 19 di Indonesia. Kebijakan penanggulangan awal bernama PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah 31 Maret 2020 tidak mempan. Berganti berkali-kali istilah dalam siklus satu tahun ini. Kini bernama PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dibumbui istilah “darurat”. Lalu diubah lagi menjadi “level 4 an 3” dalam bulan Juni, Juli dan Agustus ini.
Dalam dua pekan ke depan akumulasi kasus Covid 19 di dunia tercatat akan berada pada angka 200 juta kasus. Invasi varian Delta yang agresif itu menggerus harapan pemulihan secepatnya yang semula menyala disulut oleh api harapan keberhasilan metode vaksin masal pada awal 2021. Mari kita tengok peta penularan global sebagai perbandingan hari-hari ini. Tercatat angka kasus kumulatif tertinggi di Amerika Serikat (35,74 juta), menyusul India (31,66 juta) lalu Brasil (19,92 juta). Dan Indonesia adanya diperingkat ke-14 dengan 3,44 juta kasus. Namun menurut catatan Worldometers pada 01 Agustus 2021, Indonesia mencatat angka tertinggi: 30,738 kasus. Menjadi terdepan di sektor penambahan kasus harian.
Sambil membaca dalam cemas, sayup-sayup terdengar Tami sudah mengulang dua kali syair Ebiet yang meninggi pada lirik: “Ayah, dalam hening sepi kurindu, Untuk menuai padi milik kita, Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan, Anakmu sekarang banyak menanggung beban”. Syair melo itu menyeret fikiran saya untuk menempatkan si anak yang rindu tapi tidak berdaya adalah: pemerintah! Maka terjadilah interaksi imajiner yang tragis dan ironis antara pemerintah dengan rakyatnya yang sedang gelagapan dipapar pandemi Covid 19 sejak Maret 2020, yang ternyata punya banyak “sanak saudara” pula bernama varian ini, varian itu.
Mengapa kondisi bangsa Indonesia hari ini benar-benar sangat terpukul dan terpuruk oleh serangan Pandemi Covid 19 dengan segala pengikutnya itu? Rakyat bersama pemerintah terjebak di tikungan gelap tak berujung yang antara kubangan ekonomi dan pandemi. Dua-duanya maha penting, dua-duanya maha menentukan. Jokowi menyebutnya memainkan gas dan rem. Di tengah sejumlah instrumen dan tebaran regulasi yang diubah-ubahpun ternyata, negara belum berhasil mengendalikan sang wabah misterius.
Pagi itu saya membaca artikel sosiolog pedesaan IPB University, Sofyan Sjaf (Kompas,02/08/21), yang menulis: “Masalah tertib sosial kesehatan masyarakat serta ketidaksetaraan produksi dan distribusi vaksin di seluruh dunia mengakibatkan virus Covid-19 varian Delta menjadi ancaman. Virus ini tidak hanya menyentuh warga perkotaan, tetapi juga warga pedesaan. Di Indonesia tidak sedikit rumah sakit yang berada di pusat dan pinggiran kota dipenuhi warga yang berasal pedesaan”. “Mereka berkompetisi dengan warga kota untuk memperoleh ranjang di rumah sakit. Ini dikarenakan fasilitas isolasi mandiri (isoman) poliklinik desa (polindes), pembantu puskesmas (pustu) dan puskesmas tidak mampu menampung warga pedesaan yang terinfeksi varian baru korona ini. Alasannya sangat jelas, fasilitas kesehatan tidak melindungi! Situasi di atas adalah catatan singkat dampak virus Covid-19 terhadap aspek kesehatan masyarakat. Lalu bagaimana dampak terkini Covid-19 terhadap aspek sosial dan ekonomi bagi warga masyarakat di pedesaan”.
Saya teringat tanah kelahiran Tami di Kecamatan Praya ibukota Kabupaten Lombok Tengah. Tergolong kategori Kabupaten Tertinggal di Provinsi Nusa Tenggara Barat berdasarkan RPJMN tahun 2010-2014. Tetapi, sang penyanyi berhasil keluar dari perangkap kemiskinan dengan mengadu nasib dan mengasah bakatnya di Yogyakarta. Dengan potensi diri yang dimiliki dia berhasil mematahkan tangan keras kemiskinan di kampung kelahirannya. Bermusik dengan gitar tunggal sambil kuliah musik di Institut Seni Indonesia, di kota gudeg itu.
Hari ini korban Covid-19 di seluruh Indonesia tersaksikan dalam fakta, tersajikan dalam berita tiap menit berjatuhan: Seakan-akan mereka berjuang sendiri-sendiri mengatasi kesulitan ganda, keuangan dan kesehatan. Dua-duanya menawar-nawarkan maut. Setiap saat merenggut nyawa yang dikehendakinya. Terutama, mereka yang tidak tertangani secara maksimal oleh fasilitas kesehatan yang sangat minim. Mulai dari minimnya oksigen, ranjang rumah sakit dan kawan-kawannya hingga lahan pemakaman. Apa jalan keluar?
Tami datang menggugah, seakan memegang bahu saya sambil mengalunkan Ebiet: “Engkau telah mengerti, hitam dan merah jalan ini, keriput tulang pipimu, gambaran perjuangan”. Yaa, harus ada keputusan besar politik. Persoalan hidup mati sebuah bangsa ditentukan sebuah keputusan besar politik! Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah keputusan besar politik.
Dengan segala keterbatasan, dengan segala keminimalan sarana fisik, bermodalkan aksi penculikan pemuda pejuang Chairul Saleh dan kawan-kawan, Soekarno-Hatta mengambil keputusan besar politik: Proklamasi! Sekarang, dimana para wakil rakyat itu? Kantor DPR RI di Senayan yang serba berfasilitas moderen, yang disebut kantor parlemen, tapi tidak ada bunyi. Padahal parlemen adalah pusat konsentrasi saluran aspirasi rakyat yang telah dihibahkan melalui kotak suara hajatan pemilu setiap lima tahun .
Di tengah prahara Pandemi Covid-19, wakil rakyat yang ikut terpapar korona, bermanja ria dan malah memantik kritik publik. Mereka mempersiapkan hotel mewah atas biaya negara untuk isolasi mandiri (isoman). Sejatinya parlemen di Senayan wajib hukumnya melahirkan keputusan besar politik dalam bentuk regulasi berdaya lenting jumbo. Sebagai penopang pondasi kekuatan hukum kebijakan negara untuk mendorongnya melakukan mobilisasi seluruh dana dan daya untuk berperang melawan korona sampai titik darah penghabisan.
Lembaga wakil rakyat dengan kewenangan besar yang dimandatkan konstitusi, seyogyanya memproduksi suatu UU yang memberi energi kepada negara untuk menanggulangi bencana dan musibah korona yang melanda rakyat. Tapi yang terjadi, potensi besar wakil rakyat itu tercecer habis mengurus Nopol mobil khusus untuk anggota DPR; menuntut pelayanan ekslusif perawatan Covid-19; dan isu yang paling mutakhir, isoman di hotel mewah. Akumulasi perilaku yang tidak senonoph tersebut, tentu tidak semua wakil rakyat melakukannya, telah membuat rakyat kecewa berat. Dengan mata terbuka rakyat menyaksikan penghianatan, sebahagian, tingkah laku wakilnya yang nihil moralitas personal.
Yang kini banyak terlihat, masing-masing parpol berjalan sendiri-sendiri. Bersaing tajam antar parpol. Mengusung tema agenda “kemanusiaan”. Bersibuk ria menanggulangi kesehatan korban Pandemi Covid-19. Namun, dibalik itu semua, rakyat mampu menangkap, tapi mereka tidak mampu menyembunyikan, agenda yang terselubung sejujurnya adalah “investasi” penjaringan simpati konstituen untuk pemilu 20214, Pilpres dan Pilkada. Penyanyi bersuara merdu itu sudah pula untuk kedua kalinya mengulang alunan suara melantunkan lirik Ebiet yang ini: “Bahumu yang dulu kekar, Legam terbakar matahari, Kini kurus dan terbungkuk, hm-hm, Namun semangat tak pernah pudar, Meski langkahmu kadang gemetar, Kau tetap setia…..!!!”
Dan, kumandang lirik yang sayhdu itu, kini tersangkut di dalam kepala. Terasa seperti menggiling hati dan jiwa, ketika Tami mengulang syair ini dengan nada tinggi terkontrol: “Ayah, dalam hening sepi kurindu, Untuk menuai padi milik kita, Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan, Anakmu sekarang banyak menanggung beban…..!!” Dan……!! Beban itu….!!!
Untung saja lagu tersebut berakhir ketika seluruh daya tahan tubuh saya untuk tidak bersedih dan tidak cemas sudah keburu luluh dan mencair sudah. Tidak disadari, saya tertidur di sofa panjang, di ruang tamu depan. Di rumah. Ternyata bersedih dan cemas banyak juga gunanya: Menumbuhkan imunitas. Bisa membuat tersenyum yang seperti mengejek diri sendiri yang mendadak cengeng dan sendu.
Pesan WhatsApp teman lama yang lain mendadak masuk ke Hp, menyusulkan lagi ulangan sindiran yang itu-itu lagi: Senyumlah terus, meskipun senyum itu sekedar menunda tangis..!!! (Hoky)