Zainal Bintang, Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya bersama PemRed BISKOM, Soegiharto Santoso alias Hoky.

BISKOM, Jakarta – Jalan tol demokrasi yang diberikan reformasi dua puluh dua tahun yang lalu, membawa banyak kemajuan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Namun disayangkan, pembebasan negeri ini dari cengkeraman represif kekuasaan era Orba (Orde Baru) dirayakan dengan penuh eforia dan suka cita yang cenderung overdosis. Menyebabkan bablasnya beberapa pasal yang sangat prinsipil di dalam UUD 1945. Nyaris merubah arah perjalanan idealisme dan cita-cita para “The Founding Father”, akibat luapan nafsu emosi reformasi mendorong amandemen UUD 1945 empat kali.

Jalan tol yang dibuka itu melahirkan sistem pemilihan umum langsung dengan kepesertaan multi partai. Sistem itu melembagakan pola pemilihan yang mengantar politisi langsung “membeli” suara rakyat dipasar bebas terbuka. Sebuah festival lima tahunan yang dirayakan pemain politik sambil berlomba-lomba menggunakan berbagai kiat pengumpulan suara rakyat sebanyak-banyaknya, sebagai tiket politik yang sahih memasuki mesin kekuasaan. Tapi pada saat yang sama membuka pintu siapa saja yang mau menjadi politisi yang memudahkan munculnya kontestan nir kompetensi, abai kualitas: yang penting punya uang!

Yang disuburkannya kemudian, budaya-budaya transaksionalisasi di lapangan, antara rakyat selaku konstituen (kumpulan satuan suara penentu sebuah tiket kekuasaan) versus konsumen calon politisi pengguna pekat politik uang (money politics), sebagai penanda eksisnya budaya transaksionalisasi. Demokrasi olehnya diseret masuk ke sebuah dunia kelam budaya pragmatisme: penggampangan-penggampangan. Semua dapat diperoleh lewat praktik jual beli alias wani piro.

Sebuah era penghancuran kompetensi, kapabilitas dan kualitas, yang dipertukarkan dengan harga murah. Tidak mengherankan hasilnya sebagian adalah politisi berkualitas rendah. Tidak peka dengan rintihan derita rakyat yang tiap hari dilewatinya, ketika berkendara mobil mewah dengan nomer polisi khusus. Mereka  mempertontonkan ketegaan sebagai agen kehidupan konsumerisme di hadapan rakyat yang sebagian besar masih menderita kelaparan. Keterhanyutan yang mendewakan kebendaan, membuatnya alpa menghormati ranjau hukum. Peminggiran moralitas dan kapabilitas tersebut, tidak mengherankan jika akhirnya berujung pada penangkapan tanpa henti oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Tiap hari terberitakan. Menjadi tontonan di media. Berturut-turut adanya penangkapan pejabat publik tanpa henti. Tanpa tanda-tanda surut apalagi jera. Mereka seakan konsisten melakukan penyalahgunaan kekuasaan alias korupsi. Hal ini yang mendorong meluasnya tekanan masyarakat saat ini, untuk menggunakan frasa prampok uang rakyat!! Masyarakat luas menuntut penggantian diksi koruptor menjadi perampok kepada mereka, karena terkesan penamaan ‘koruptor” itu malah mereka nikmati, seakan itu musibah rutin. Bahkan sepertinya membanggakan, karena daripadanya tetap tersungging senyum sumringah pada saat antri di KPK dengan rompi oranye dan tangan terborgol!!

Bermunculan pula agen penyedia jasa pemulusan mimpi politik ditandai menjamurnya lembaga survey sebagai arsitek atau penata strategi “pedagang mimpi”. Menyediakan paket racikan metodologi berbasis akademik, untuk menjerat suara konstituen dengan serentetan kemasan opini publik rekayasa produk perusahaan penyedia jasa multi media.

Festival politik yang paradoks ini menjelaskan, mengapa begitu banyak sosok tiba-tiba merasa diri pantas menjadi pemimpin bangsa. Sosok calon pemimpin bangsa dadakan itu didandani agen penata laku (lembaga survey) supaya tampil sebagai “pedagang mimpi” yang prima. Wajah-wajah mereka menghiasi pusat perkotaan dan tikungan-tikungan strategis di kota-kota besar. Berpose di atas baliho berukuran jumbo. Terpampang foto diri sebagai kader parpol yang pantas sebagai wakil rakyat. Tanpa sadar baliho propaganda itu, sesungguhnya malah membuka belang sosok haus kuasa yang memainkan paket rekayasa “pedagang mimpi”.

Pernyataan polos dan “lugu” yang “dilantunkan” artis nyanyi Krisdayanti anggota DPR dari fraksi PDIP lewat sebuah podcast yang viral di dunia nyata beberapa waktu yang lalu, membuka ruang-ruang gelap di Senayan yang selama ini steril dari publikasi. Menguak fakta besaran perolehan dana tahunan wakil rakyat itu. Mencengangkan karena jumlahnya tidak sebanding dengan output yang diterima rakyat. Hasilnya tidak terkristalisasi dalam bentuk regulasi keberpihakan. Banyak RUU yang memihak rakyat tidak tersentuh di tangan mereka. Dibiarkan beku tanpa getaran. Jejaknya dapat ditemukan dalam berbagai pemberitaan media mainstream maupun online dan medsos.

Berbicara tentang “pedagang mimpi” mengingatkan pada cerita “The Dream Merchants”, sebuah miniseri televisi tahun 1980 berdasarkan novel tahun 1949 dengan judul yang sama karya pengarang Amerika yang terkenal, Harold Robbins. “The Dream Merchants”, semula adalah sebuah novel berlatar awal abad ke-20. Bercerita tentang gairah, intrik, kekuatan, dan uang. Miniseri “The Dream Merchants” memberikan tampilan yang menarik pada hari-hari awal industri paling glamor di dunia (Hollywood). Itu adalah “demam emas” terbaru ketika pria dan wanita yang ambisius, jika tidak bermoral, membanjiri California untuk mengubah mimpi sinematik menjadi kenyataan, terlepas dari biaya moral.

Tentu saja, apa yang terjadi Amerika seperti digambarkan dalam novel itu, tidak persis sama dan sebangun dengan penggambaran gonjang ganjing dunia politik Indonesia paska reformasi. Akan tetapi setidaknya, secara substansial ada kemiripan pesan yang mengecam keras perilaku “tujuan menghalalkan segala cara”. Kasus serentetan penangkapan pejabat publik yang mayoritas berlatar belakang kader partai politik, yang terjadi setiap hari, terus terang nyaris telah menguras habis simpanan rasa sedih dan pedih di hulu hati rakyat. Yang membedakan dengan novel Harold Robins itu, karena latar belakangnya adalah dunia kesenian dan hiburan. Tetapi tetap saja ada persamaan pesan tentang “sucinya” wilayah moralitas yang harus terus dirawat dan dihormati terus menerus.

Namun demikian, bukan berarti harapan telah padam sama sekali. Sebagian besar politisi, pejabat publik dan mereka, wakil rakyat itu, sesungguhnya diyakini masih banyak yang punya harga diri, moralitas dan tekad yang kuat untuk membuat bangsa ini menjadi lebih baik, lebih maju dan lebih mandiri serta lebih berharga diri. Saya banyak berkomunikasi dengan mereka. Baik yang senior maupun kalangan generasi muda.

Hanya saja, kesan saya mereka pun sedang terjebak di dalam suatu sirkus politik kontemporer, yang menempatkan dimensi moralitas bukan prioritas. Kekuasaanlah yang mereka “pertuhankan”. Dan oleh karenanya tidak perlu diratapi manakala Senayan menjadi tempat pemakaman ideologi kebangsaan yang sarat marwah moralitas itu, akibat pembunuhan hati nurani secara perlahan-lahan melalui komitmen politik transaksional berbasis koalisi.

Dimana mereka selama ini? Wakil rakyat yang masih menggenggam erat-erat fatsun moralitas sebagai mercu suar suci penyuluh kegelapan?  

Sebuah pesan WhatsApp melesat dalam HP saya, menuliskan kalimat : Insyaflah wahai manusia/ Jika dirimu bernoda/ Dunia hanya naungan/ ‘Tuk makhluk ciptaan Tuhan. Penggalan syair lagu “Keagungan Tuhan”, ciptaan almarhum Malik Bz tahun 1964 yang dipopulerkan Band D’Lloyd awal 70an. (Hoky)