Jakarta, Biskom– Sepanjang tahun 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 2.500 bencana terjadi di Indonesia. Mulai dari bencana geologi, hidrometeorologi, antropogenik (kebakaran hutan dan lahan) dan bencana non-alam (pandemi) melanda Indonesia.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai lembaga riset dan inovasi mempunyai kapasitas untuk terus meningkatkan pemahaman fisis sumber dan proses terjadinya bencana tersebut. Hasil riset diharapkan bisa dimanfaatkan untuk mitigasi dan adaptasi menghadapi ancaman bencana.
Untuk itu, BRIN melalui Majelis Profesor Riset menggelar webinar Prof Talk bertema “Refleksi Akhir Tahun: Membaca Secara Ilmiah Kebencanaan 2021 di Indonesia,” pada Senin, 27 Desember 2021. Webinar ini menghadirkan sejumlah profesor riset BRIN di bidang kebencanaan.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko mengatakan berbicara mengenai bencana akan melibatkan banyak spectrum riset kebencanaan seperti bagaimana memahami fenomena dan mekanisme terjadinya bencana. Karena itu, perlu pakar dan ilmu yang mumpuni untuk bisa memahami hal-hal terkait kebencanaan.
“Jika kita sudah bisa memahami kita perlu memitigasi. Tidak mungkin kita bisa melakukan mitigasi tanpa pemahaman atas fenomena bencana itu,” tutur Handoko.
Profesor Riset bidang Geologi Gempa dan Kebencanaan pada Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Kebumian – BRIN, Danny Hilman Natawidjaja mengungkapkan bahwa wilayah Indonesia berada di Cincin-Api Pacific dan pertemuan tiga Lempeng benua, gempa bumi dan letusan gunung api yang tidak bisa dihindari.
“Kadang gempa juga disertai tsunami. Kondisi itu harus dihadapi dengan ilmu pengetahuan yang mumpuni, serta sikap bijak, dan tindakan mitigasi yang cerdas,” tegasnya.
Profesor Riset bidang Teknologi dan Penginderaan Jauh Geomatika pada Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa – BRIN, Muhammad Rokhis Khomarudin mengatakan, citra satelit penginderaan jauh dapat memberikan gambaran kondisi bencana yang terjadi di Indonesia.
Rokhis menyebutkan ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, kejadian kebakaran lahan dan hutan di Indonesia terjadi pada musim kemarau dan semakin meningkat jika ada fenomena global El Nino. Kedua, bencana banjir dan longsor terutama disebabkan cuaca ekstrim.
“Namun seringkali perubahan tutupan lahan bisa jadi pemicu bencana berkurangnya daya dukung lingkungan. Untuk mengantisipasi bencana hidrometeorologi diperlukan pemantauan berjenjang skala waktu musiman, bulanan, mingguan, harian, hingga realtime,” tambahnya.
Hal ketiga, penggunaan data satelit penginderaan jauh dapat menghitung secara cepat tingkat kerusakan akibat bencana untuk tindakan evaluasi dan rehabilitasi wilayah.
Webinar ini sebagai upaya membangkitkan kesadaran bersama akan pentingnya pemahaman kebencanaan di Indonesia. Webinar ini juga membahas proses fisis yang memicu berbagai bencana serta pemantauan sebelum, saat, dan sesudah bencana dari satelit untuk upaya mitigasi, adaptasi, evakuasi, dan rehabilitasi. (red)