Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS mengungkapkan bahwa chips (semikonduktor) kini menjadi penentu persaingan antarnegara. Chips (semikonduktor) terbuat dari campuran: silikon, tembaga, nikel, rare earths, dan mineral lainnya.

“Chips yang terbuat dari material semikonduktor menjadi penentu persaingan antar bangsa (maju-mundurnya bangsa) di Era Industry 4.0, Abad-21 ini,” ujar Prof Rokhmin saat menjadi narasumber Focus Group Discussion (FGD) Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Jakarta, Senin (24/1).

Chips, jelasnya, dibutuhkan untuk memproduksi hampir semua produk di zaman post-modern (Abad-21) ini, mulai dari jam tangan, mesin otomotif, microwave, lemari es, mesin cuci, komputer hingga peluru kendali.

Bahkan, ungkapnya, China menyerap (menggunakan) 60 persen total semikonduktor dunia. Sementara, Taiwan memegang kendali dalam rantai pasok global semikonduktor. Sedangkan, Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, tembaga ke-10, dan rare earth.

“Mestinya, Indonesia (Provinsi Sulteng) menjadi bangsa yang paling kompetitif (maju, sejahtera, dan berdaulat,” kata Menteri Kelauatan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong itu.

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin memaparkan, perlu dilakukan secara terpadu dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), pesisir dan laut. Karena, katanya, di dalam suatu unit (satuan) wilayah pembangunan (wilayah pesisir) pada umumnya karakteristik biogeofisik (ekologi) nya tidak homogen, dan terdiri dari lebih dari dua jenis ekosistem: estuari, mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan lainnya.

“Suatu wilayah pesisir merupakan suatu wilayah multi-fungsi dan multi-sektor pembangunan, seperti perikanan budidaya, perikanan tangkap, pariwisata, pertambangan, energi, industri manufakturing, dan lainnya,” sebut Prof Rokhmin Dahuri yang membawakan makalah berjudul “Resolusi Pengelolaan Wilayah Laut, Pesisir dan DAS Terpadu untuk Mendukung Program Terobosan KKP 2021-2024”.

Suatu wilayah pesisir, kata Prof Rokhmin, merupakan suatu wilayah multi-fungsi dan multi-sektor pembangunan, seperti perikanan budidaya, perikanan tangkap, pariwisata, pertambangan, energi, industri manufakturing, dan lainnya.

Prof Rokhmin mengingatkan bahwa suatu wilayah pesisir dipengaruhi oleh proses-proses alamiah dan dampak (externalities) dari beragam kegiatan manusia di wilayah daratan (upland areas) maupun laut lepas.

“Intinya Sifat (struktur, karakteristik, dan dinamika) ekosistem pesisir dan laut memerlukan pendekatan pengelolaan terpadu (berbasis ekosistem) untuk pembangunan berkelanjutan,” sebut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.

Dalam kesempatan tersebut, Prof Rokhmin memaparkan konsep ICM (Integrated Coastal Management), yakni sistem pengelolaan pesisir untuk mengatur perilaku manusia dan melestarikan integritas fungsional ekosistem darat dan laut untuk mencapai pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir.

“ICM adalah adalah penerapan pendekatan lintas disiplin, lintas sektor, dan antar ruang dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan pemanfaatan (pengembangan) ekosistem pesisir dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya secara berkelanjutan untuk kepentingan umat manusia,” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) tersebut.

Oleh karena itu, lanjutnya, ICM merupakan teknik manajemen untuk mengatasi masalah dan, pada saat yang sama, memanfaatkan semua potensi pengembangan wilayah pesisir untuk menghasilkan manfaat maksimal bagi umat manusia secara adil dan berkelanjutan. “Ini merupakan tupoksi ditjen Pengelolaan Ruang Laut,” tegas Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong itu.

Dalam kebanyakan kasus, jelasnya, ICM tidak akan menggantikan pengelolaan sektor pembangunan yang terjadi di wilayah pesisir (misalnya perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata, industri, transportasi, dan konservasi) tetapi malah akan melengkapi, menyelaraskan, dan mengawasi mereka.

“Misalnya, pengelola perikanan akan terus memperhatikan alokasi perikanan dan sejenisnya, sementara ICM akan mengambil tanggung jawab utama atas efek sumber polusi berbasis lahan pada habitat perikanan (misalnya area pembibitan dan tempat pemijahan) serta hubungan antara perikanan dan sektor lainnya,” paparnya.

Adapun Pedoman Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Pesisir, dan Laut Terpadu untuk Pembangunan Berkelanjutan diantaranya adalah; pertama, Laju (intensitas) pembangunan (total kebutuhan manusia akan sumber daya alam dan jasa lingkungan) tidak boleh melebihi daya dukung suatu unit pembangunan tata ruang (ekosistem alam atau unit administratif) untuk menghasilkan sumber daya alam dan jasa lingkungan tersebut.

Kedua, Permintaan sama dengan f (jumlah penduduk, kebutuhan ruang per kapita, konsumsi sumber daya alam per kapita, limbah dan emisi per kapita, dan ekspor).

Ketiga, Daya dukung sama dengan f (ukuran satuan pengembangan ruang, potensi sumber daya alam terbarukan, sumber daya alam tak terbarukan, kapasitas asimilasi sampah, fungsi penunjang kehidupan, teknologi, dan impor).

“Daya dukung didefinisikan sebagai tingkat maksimum pemanfaatan sumber daya alam (konsumsi) dan pembuangan limbah yang dapat dipertahankan tanpa batas di suatu wilayah tanpa merusak produktivitas dan integritas ekologi,” tandasnya mengutip definisi Postel dan Ryan, 1991.

“Daya dukung suatu daerah dapat ditingkatkan melalui penerapan teknologi dan impor barang dan jasa,” tambah Duta Besar Kehormatan Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, Korea Selatan itu.

Menurut Rokhmin, pedoman Teknis IWCOM (Integrated Watershed, Coastal, and Ocean Management) atau Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Pesisir, dan Laut Terpadu untuk Pembangunan Berkelanjutan meliputi Ekologi, Ekonomi, Sosial, dan Kelembagaan.

“Perencanaan tata ruang adalah alat penting untuk mengelola penggunaan lahan di seluruh dunia. Perencanaan tata ruang (lahan) muncul sebagai tanggapan terhadap masalah ekonomi dan sosial tertentu – dan kemudian masalah lingkungan yang dipicu oleh peningkatan populasi manusia dan Revolusi Industri Pertama pada tahun 1750-an,” ungkapmya.

Secara prinsip proses penyusunan MSP (Marine Spatial Planning) atau perencanaan tata ruang laut mirip dengan Tata Ruang Darat. Namun, karena sifat 3 dimensi dari laut; liquidity dari perairan laut (arus, passut, dan gelombang); dan keterkaitan antara ekosistem daratan-pesisir-lautan melalui aliran air sungai, aliran air permukaan tanah (run off), dan aliran air tanah dalam (ground water).

“Intinya, dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Pesisir, dan Laut Terpadu, segenap kegiatan pembangunan (aktivitas manusia) di wilayah daratan (hulu) di sepanjang DAS harus mengikuti persyaratan ekologis dan ekonomis dari segenap sektor pembangunan di wilayah pesisir kurang dari 12 mil laut, hal ini menunjukan integrasi RZWP3K dengan RTRW Darat,” katanya.

Selanjutnya. Prof Rokhmin memaparkan transformasi struktural ekonomi Indonesia. Yakni, dari dominasi eksploitasi sumberdaya alam (SDA) dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, menyejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable); modernisasi dan hilirisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan; dan revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orba: (1) makanan dan minuman (mamin), (2) TPT (tekstil dan produk tekstil), (3) elektronik, (4) otomotif, dan lainnya.

Kemudian, paparnya, pengembangan industri manufakturing baru: maritim (kelautan), EBT, semikonduktor, baterai nikel, bioteknologi, nanoteknologi, Industry 4.0, dan lainnya. “Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 4) mesti berbasis pada Ekonomi Hijau (Green Economy) dan digital (Industry 4.0),” terang Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu.

Sumber : https://www.askara.co/read/2022/01/25/25418/prof-rokhmin-dahuri:-sebagai-produsen-chips-terbesar-di-dunia-indonesia-jadi-bangsa-paling-kompetitif