BISKOM, Jakarta – Jumat (11/2/2022) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim meluncurkan Merdeka Belajar Episode Kelima belas: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar. Nadiem mengatakan, merujuk berbagai studi nasional maupun internasional, krisis pembelajaran di Indonesia telah berlangsung lama dan belum membaik dari tahun ke tahun. Krisis pembelajaran semakin bertambah karena pandemi Covid-19 yang menyebabkan hilangnya pembelajaran (learning loss) dan meningkatnya kesenjangan pembelajaran.
“Untuk literasi, learning loss ini setara dengan 6 bulan belajar. Untuk numerasi, learning loss tersebut setara dengan 5 bulan belajar,” ucap Menteri Nadiem. Namun, penyederhanaan kurikulum dalam bentuk kurikulum dalam kondisi khusus (kurikulum darurat) efektif memitigasi ketertinggalan pembelajaran pada masa pademi Covid-19.
“Efektivitas kurikulum dalam kondisi khusus semakin menguatkan pentingnya perubahan rancangan dan strategi implementasi kurikulum secara lebih komprehensif,” paparnya.
Kurikulum Merdeka ini merupakan pengganti nama dari Kurikulum Prototipe. Menurut Nadiem, Kurikulum Merdeka ini sudah diuji coba di 2.500 sekolah penggerak. Selain itu, kurikulum ini juga diluncurkan di sekolah lain.
“Kami memberikan fleksibilitas, Kurikulum Merdeka ini sudah kita tes di 2.500 sekolah penggerak, namanya dulu Kurikulum Prototipe,” kata Nadiem.
Nadiem menjelaskan beberapa keunggulan Kurikulum Merdeka. Pertama, lebih sederhana dan mendalam karena kurikulum ini akan fokus pada materi yang esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik pada fasenya. Kemudian, tenaga pendidik dan peserta didik akan lebih merdeka karena bagi peserta didik, tidak ada program peminatan di SMA, peserta didik memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasinya. Sedangkan bagi guru, mereka akan mengajar sesuai tahapan capaian dan perkembangan peserta didik. Lalu sekolah memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik.
Keunggulan lain dari penerapan Kurikulum Merdeka ini adalah lebih relevan dan interaktif di mana pembelajaran melalui kegiatan proyek akan memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual, misalnya isu lingkungan, kesehatan, dan lainnya untuk mendukung pengembangan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila.
Menanggapi hal tersebut, pemerhati pendidikan, FX. Aris Wahyu Prasetyo, M.Ed., mengatakan bahwa terinspirasi dari pendidik ternama, Peter Hans Kolvenbach, yang terurai dalam The Service of Faith and the Promotion of Justice in American Jesuit Higher Education, Bila hati disentuh oleh pengalaman langsung, pikiran kemungkinan akan ditantang untuk berubah. Keterlibatan langsung dengan penderitaan, dengan ketidakadilan yang dialami orang lain, akan mendorong seseorang untuk melakukan penelitian intelektual dan refleksi moral.
“Kutipan itu menjadi sebuah refleksi sekaligus komitmen diri untuk terus memanusiakan manusia lewat pendidikan yang menghargai harkat dan martabat manusia. Berangkat dari pengalaman dan pemikiran Kolvenbach tersebut, serasa memantik percikan untuk pendidikan bahwa para pendidik di sekolah/kampus atau dunia pendidikan sudah bukan waktunya lagi menjadi “pengendali silabus” yang sangat normatif dan terkesan formalitas yang tak jarang begitu dipaksakan demi mengejar target akademis dengan pencapaian standar ketuntasan tertentu yang sekadar mengarah pada kecerdasan kognitif, yang masih jauh dari kecerdasan hati dan sosial yang menjadi pilar kehidupan sesungguhnya,” papar Alumnus Instructional Leadership (Master of Education), Loyola University Chicago, USA ini.
Aris mengatakan, menjadi sebuah tragedi yang sesungguhnya sudah berjalan begitu lama dalam dinamika pendidikan, yakni pengalaman belajar yang begitu panjang hanya berakhir pada ujian pilihan ganda yang bertaraf regional ataupun nasional. Celakanya lagi, ujian-ujian ini menjadi sebuah standar kualitas atau predikat pendidikan yang tidak jarang menumbuhkan gengsi semu dalam dunia pendidikan dengan label sekolah atau kampus berkualitas, sekolah atau kampus terbaik, sekolah atau kampus favorit dan sejenisnya.
“Akibatnya, dunia pendidikan berkompetisi dalam ranah akademik dan melupakan nilai-nilai kehidupan yang sesungguhnya menjadi tujuan primer dari sebuah proses pendidikan, memanusiakan manusia menuju taraf insani. Pendidikan menjadi sebuah obsesi industri untuk mendapatkan murid yang banyak setiap tahunnya lewat berbagai label-label bombastis sebagai media promosi,” terang Aris.
Menurutnya, dunia pendidikan sudah seharusnya melihat konteks global yang terus berkembang dalam segala dinamika dan perubahan yang terjadi setiap waktu. Menjadi nomor satu dalam hal akademis (skor) sejatinya sudah tidak relevan lagi dengan dunia yang sudah multikultural dan multifungsional. Sejalan dengan pemikiran Covey bahwa tugas pendidikan adalah membantu setiap anak agar berhasil mengoptimalkan potensinya, maka sudah seharusnya pendidikan menjadi kesempatan dan peluang bagi siapapun di dalamnya mengembangkan humanisme, bukan robotisasi manusia yang begitu kejam.
“Pendidikan sejatinya mengarah pada keragaman, bukan keseragaman, sehingga segala proses pendidikan memberikan kesempatan sinergis bagi siapapun di dalamnya untuk berkembang dalam semangat dan kebahagiaan, bukan dalam beban dan kesedihan yang membelenggu,” jelas penulis buku The Educatorship, Seni Memanusiakan Wajah Pendidikan ini.
Lebih lanjut Aris membeberkan, setidaknya belajar dari Muriel Summers dengan A.B. Combs Elementary School di Carolina Utara dan Richard Esparza dengan Granger High School di Yakima Valley (Washington), mereka dengan tenang dan sinergis mengubah kehidupan anak-anak dan lingkungan sekolah dengan memunculkan “The Leader in Me”. Sekolah berkembang pesat dalam segala aspek dan bangkit dari keterpurukan, terlebih berkembang dalam karakter kepemimpinan diri dan komunitas yang menjadikan setiap pribadi menjadi manusia yang utuh dan humanis. Sekolah menjadi sebuah kesempatan yang memunculkan sifat kepemimpinan dalam setiap anak muda, membebaskan potensi tak terbatas pada setiap anak untuk mengubah hidup mereka sendiri, hidup keluarga, hidup komunitas, dan dunia pada umumnya.
“Setiap stakeholder pendidikan senantiasa dengan semangat dan gembira menjadikan kehidupan ini sebagai peluang membangun kepemimpinan ala Summers dan Esparza dengan model “The Leader in Me”. Setiap mata pelajaran di sekolah senantiasa mengolah kepemimpinan diri dan sosial lewat pemahaman, analisis, aplikasi, evaluasi, refleksi, dan komitmen dalam ruang lingkup realita kehidupan sehingga memunculkan inspirasi dan sumbangsih pada paradigma pendidikan yang terwujud dalam cara berpikir, cara berasa, cara bersikap, dan cara berkomitmen yang benar dan bermanfaat bagi sesama dan lingkungan. Belajar sinergis senantiasa menjadi kemerdekaan dalam belajar yang memerdekakan dirinya, orang lain, lingkungan, dan dunia global,” ujar pria yang aktif menulis di berbagai media ini.
Selain itu, belajar dari metode Stenden yang inovatif dengan model engangement learning menjadi sebuah kekaguman tersendiri atas olah pikir dan olah rasa yang menyentuh humanisme nyata dalam proses pendidikan yang memanusiakan manusia seutuhnya. Engangement learning mencoba menghubungkan sumber daya pendidikan di universitas pada masalah sosial, sipil, dan etika yang mendesak pada anak-anak, dosen, administrator, stakeholder, orang tua, dan lingkungan dengan tujuan, misi, dan arah yang lebih besar dalam kehidupan bangsa dan dunia. Model Stenden ini berhasil mengangkat harkat dan martabat masyarakat NeMaTo, Kota Nelson Mandela, yang didera penganguran, kemiskinan, buta huruf, dan kejahatan menjadi kota yang produktif, humanis, dan maju dalam peradaban baru lewat sinergi paradigma dan dinamika universitas pada masyarakat yang berlangsung secara berkesinambungan dan penuh refleksi pada nilai-nilai kehidupan yang luhur. Komitmen pada pendidikan yang memerdekakan menghantarkan pendidikan pada kolaborasi dan sinergi yang mendalam dalam memerdekakan setiap orang yang terpenjara dalam kehampaan kehidupan yang jauh dari makna dan nilai yang luhur.
“Pendidikan kerap berarti menyebarkan informasi pada pikiran kosong, lalu menanyakannya dalam bentuk ujian. Inilah awal sesatnya paradigma pendidikan selama ini sehingga pendidikan menjadi sebuah rutinitas rumit dan membosankan bahkan menyebalkan. Sudah waktunya proses pendidikan tidak hanya berkutat pada teori di buku teks, obsesi skor, dan berujung pada ujian yang menghakimi dan mengkerdilkan esensi pendidikan sesungguhnya. Belajar sinergis menjadi titik tolak pengembangan pendidikan yang merdeka lewat desain pendidikan yang memberikan peran penting pada nilai-nilai kepemimpinan dalam pembelajaran primer yang mampu menembus tembok kelas sehingga kontekstual dalam kehidupan nyata dan bermanfaat bagi masyarakat luas,” lanjut Aris.
“Kurikulum Hidup” menjadi sebuah alternatif sinergis dalam pengembangan pendidikan. Belajar bukan lagi tentang teori dan memperoleh skor dalam ujian, namun belajar sungguh-sungguh tentang nilai-nilai kehidupan dalam kehidupan nyata dengan segala konteks dan masalah yang ada. Bukan lagi waktu yang tepat untuk mengeluh tentang apapun terkait pendidikan, namun waktunya untuk berpikir dan mengembangkan pendidikan yang memampukan setiap pribadi berkembang dan maju sesuai dengan potensinya. Orang menjadi merdeka dalam belajar, merdeka dalam mengusahakan martabat dalam kehidupan ini.
“Lewat segala bidang kajian, bidang studi, dinamika pendidikan, dan segala daya upaya edukatif dalam dunia pendidikan, sudah waktunya mendesain “Kurikulum Hidup” dalam kerangka pikir “Membangun Kepemimpinan yang Memerdekakan” di mana mampu menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan sebagai pembentukan karakter diri. Kedisipilinan, ketekunan, nurani, kepedulian, komitmen, humamanisme, kepekaan, empati, simpati, sinergis, kolaborasi, dan masih banyak lagi nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi materi primer dalam mendesain pembelajaran yang menghidupi hidup setiap pribadi dalam komunitas dan masyarakat. Sebuah harapan besar, kepemimpinan diri menghantarkan setiap pribadi pada keteguhan karakter dalam menjalani hidup demi peradaban yang beradab dan beretika. Ubiquitous, di mana-mana dan setiap saat, kepemimpinan menjadi tujuan primer dalam pendidikan yang benar-benar memerdekakan. Salam Merdeka!” pungkasnya. (red)